Skip to main content

Posts

Showing posts from March, 1999

Merasa Aman dengan Satgas Sendiri

Banyak parpol memiliki satgas pengamanan sendiri. Bisakah mencegah bentrokan antar pendukung? BERSIAPLAH bersedih menerima kenyataan ini. Pemilihan umum (pemilu) ternyata juga membuat konflik di tingkat elite merebak ke akar rumput. Maka, semakin mendekati hari "H" pelaksanaan pemilu pada 7 Juni nanti kerap terbetik kabar adanya bentrokan antar pendukung partai politik (parpol). Yang paling anyar sekaligus paling menyedihkan adalah bentrokan antara pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru-baru ini di Jepara, Jawa Tengah, Jumat, 30 April. Bentrok antara massa PKB dan massa PPP di Desa Dongos, Kecamatan Kedung, 16 kilometer selatan Jepara, itu mengakibatkan tiga warga PKB dan seorang pendukung PPP tewas. Sebelumnya, 25 April, di Surabaya, sesama warga Nadhlatul Ulama yang tergabung dalam PKB dan Partai Nahdlatul Ummat saling tegang dan adu jotos. Awal April lalu, rombongan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung dihadang massa ber-atr

Setelah Saling Bantai Itu: Ditolak di Mana-Mana

Soal baru dalam sejarah konflik antar etnis di Kal-Bar: migran Madura ditolak di mana-mana. DIBURU di kampung, ditampung di pengungsian, tapi ditolak di mana-mapa bila hendak bermukim. Begitulah nasib sekitar 80.000 migran Madura di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kal-Bar). Inilah kasus bare dalam sejarah pertikaian antaretnis di Kal-Bar. Lazimnya, setelah saling bunuh dan upacara perdamaian dilakukan, migran Madura balik ke kampung migrasinya semula. Untuk beberapa lama, persoalan beres, hubungan antaremis pulih kembali. Tapi hingga pekan ini, konflik antara etn& Madura dan koalisi etnik Melayu, Dayak, Bugis, dan Cina Masih berlangsung. Kekuatan, pasukan ABRI (2,5, batalyon atau sekitar 2.000 lebih personel di Pontianak dan 2 satuan setingkat kompi di setiap kepolisian sektor) tampaknya belum mampu meredakan situasi. Alhasil, serangan-serangan sporadis terhadap orang-orang Madura yang meletus, di berbagai lokasi, sulit dibendung. "Suasana Kota Sambas masih mencekam bak ko

Yang "Kurang Pas" di Surabaya Post

Surabaya Post berhenti terbit akibat sengketa perburuhan. Toety Azis mengadukan lima karyawannya ke polisi, tetapi ada prospek damai. BAGI masyarakat Surabaya, membaca Surabaya Post mungkin seperti kebiasaan minum kopi. Terasa ada yang "kurang pas" ketika koran sore satu-satunya di Surabaya itu tidak terbit lagi, sesudah "panutan" di edisi terakhir, 14 Maret. Masih banyak konsumen menanyakan, kapan koran kesayangannya terbit lagi atau kenapa tidak terbit. "Saya tidak tahu masalahnya. Tapi banyak pembeli yang menanyakan," kata Suhadak, pengecer koran di Jalan Dharmahusada. Suhadak biasanya menjual Surabaya Post 20 eksemplar per, hari. Dengan harga agen Rp 750, ia menjual seharga Rp 1.000. Artinya, ia untung Rp 5.000 hanya dari penjualan Surabaya Post. Sejak koran itu berhenti terbit, penjualan Jawa Pos di kiosnya meningkat, dari 50 menjadi 60 eksemplar per hari. Mohammad Arif, pedagang Koran eceran di Jalan Karang Menjangan; menyatakan, kini tujuh pelanggan

Menggugat Big Boss, Nasabah Telantar

Aksi karyawan bank menuntut tambahan pesangon marak di sejumlah kota besar. Pemerintah bermain kucing-kucingan dengan pemilik bank. Nasabah telantar. RESAH dan panik. Itulah reaksi yang tampak di muka sebagian besar karyawan 38 bank yang dilikuidai pada 13 Maret lalu. Sejak Senin minggu lalu, 15 Maret, para pekerja itu menggelar demonstrasi, menuntut kejelasan hak mereka sebagai karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. Hari pertama aksi dilakukan di lingkungan bank mereka sendiri. Poster-poster berisi protes dipajang dan yel-yel menuntut pesangon yang layak mereka teriakkan. Tak puas sampai di itu? hari berikutnya, aksi menjalar hingga ke rumah pemilik bank tempat mereka bekerja. Karyawan Bank Asia Pasific (Apac), misalnya, mendatangi rumah Thomas Suyatno, komisaris utama bank itu. di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Demikian pula karyawan Bank Umum Servitia, yang mendatangi rumah bos mereka di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan. Tapi, jangankan memenuhi tuntutan karyawan, yakni

Beras Jepang Tersandung Logo

Beras bantuan Jepang tak henti menimbulkan soal. Kali ini NU dicurigai menyalahgunakan bantuan itu. HEBOH beras bantuan pemerintah Jepang masih berlanjut. Dulu, pemerintah dituduh menghambat penyaluran beras itu ke tangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang dipercaya pemerintah Jepang menyalurkan 10 ribu ton beras hibah (grant). Ini misalnya terjadi di Jawa Timur ketika Depot Logistik Jawa Timur menolak mengeluarkan beras itu dari gudang kalau NU ak membayar jasa transportasi. Belakangan, haniaman itu malah berbalik menerpa NU, yang dituduh menggunakan beras Jepang itu untuk kepentingan politik Partai Kebangkian Bangsa (PKB). Soal ini berawal ketika Antara menulis bahwa di formulir pengambilan beras dan bahkan karung beras yang akan dibagikan itu tercantum logo PKB (13 Maret). Berita tersebut dikutip sinar Pagi edisi 14 Maret berjudul "Logo PKB Ditemukan di Kantung Beras Jepang". Tentu saja berita itu membuat PBNU kaget. Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Ma

Mari Mencatatkan Nikah

Isbat nikah diselenggarakan di Ja-Tim untuk membantu masyarakat yang tidak mencatatkan pernikahannya. JANGAN sekali-kali meremehkan pencatatan pernikahan. Lalai mencatatkan pernikahan, persoalan lain bisa muncul. Misalnya, pembuatan akta kelahiran sang anak akan ditolak kantor catatan sipil tanpa akta nikah. Padahal, akta kelahiran menjadi syarat mutlak masuk sekolah dan sebagainya. Upaya pencatatan pemikahan secara massal itu kini tengah berlangsung di seluruh kantor urusan agama (KUA) di Jawa Timur (Ja-Tim). Data yang masuk hingga akhir Februari lalu, temyata di Ja-Tim terdapat 13.222 pasangan yang tidak bersurat. Mengerikan. Daerah tertinggi adalah Jember, dengan 2.376 pasangan. Sementara itu, Kabupatan Pacitan selamat dari pemmohonan isbat. Kotamadya Surabaya hanya ada satu orang. Karena itu diperlukan cara pencatatan pemikahan yang kemudian disebut dengan isbat (penetapan) nikah itu. Melalui suatu rapat koordinasi dengan pemerintah daerah, dibuatlah aturan isbat tersebut. Untuk se

PKP Bukan Partai Kalah Perang

Muncul belakangan dengan modal tipis pula, PKP pun mencoba realistis. ADA satu hal yang tak disukai pengurus Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), di pusat maupun daerah, yaitu sebutan sebagai pecahan Golkar. Ismawan D.S., Sekretaris Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) PKP Jawa Tengah, misalnya memohon: "Tolong katakan ke semua orang bahwa PKP bukan pecahan Golkar. Itu tidak benar. Itu taktik lawan untuk memojokkan. Kami bukan partai kalah perang !" Baiklah. Tapi, masalahnya sulit untuk meluluskan permintaan Ismawan itu karena toh realitasnya tak termungkir. Lihatlah kenyataan di Medan berikut ini. Hari itu 3 Februari. Ball room Hotel Tiara Medan penuh sesak oleh orang berjaket merah. Badge artistik bergambar burung garuda ada di dada mereka. Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional PKP Edi Sudradjat kemudian hadir di sana untuk melantik DPP PKP Sumatra Utara (Sum-Ut) yang dipimpin Kol. Pol (Purn.) H. Abdul Manan. Sebagian besar hadirin itu adalah kader organisasi massa yang selama ini me

Pengawas Pers Independen

Untuk pertama kalinya di Indonesia dibentuk lembaga konsumen pers, yang ak memantau pemberitaan media massa dan melindungi kepentingan masyarakat. PARA Jurnalis di Tanah Air, yang sedang menikmati euforia kebebasan pers setelah Soeharto lengser, tampaknya kini ha rus lebih cermat dalam menulis berita. Ini bukan karena adanya ancaman pembredelan baru dari Departemen Penerangan, seperti gaya rezim Orde Baru dulu, tapi justru karena lahirnya sebuah lembaga pengawas pers (media watch). Di Eropa Barat dan Amerika, keberadaan lembaga independen yang memantau perilaku pers bukanlah hal baru. Tapi, di Indonesia, inilah pertama kalinya ada organisasi yang bertujuan melindungi kepentingan masyarakat konsumen pers. Yayasan Lembaga Konsumen Pers (YLKP) dideklarasikan di Surabaya, 5 Maret lalu. YLKP didirikan oleh sejumlah praktisi pers, Birokrat, pendidik, politisi, praktisi hukum, budayawan, dan pengusaha. Dalam deklarasi disebutkan, kebebasan menyampaikan pendapat saat ini belum diimbangi oleh k

Membisniskan Gelap di Madura

Gelap-gulitanya Pulau Madura akibat putusnya aliran listrik justru mendatangkan peluang bisnis baru bagi sebagian warga. PADAMNYA listrik di seluruh Madura akibat putusnya kabel listrik dasar laut Surabaya-Madura ternyata tidak cuma mengganggu kehidupan ekonomi di pulau penghasil garam itu. Gelapnya Madura bagi sebagian orang malah menjadi berkah. Khudori, misalnya, panen rezeki. Lelaki asal Bangkalan yang semula berprofesi sebagai pedagang kaset ini langsung alih profesi jadi penjual lampu minyak. Karena putusnya aliran listrik, tiap penduduk memang butuh penerangan altematif. Tak mengherankan jika Khudori tiba-tiba saja punya ide untuk menjual lampu teplok. Kios kaset miliknya terpaksa diistirahatkan sejenak. Alasannya sederhana: pembeli tak dapat mencoba kaset yang diminati selama listrik mati. Karena meningkatnya permintaan, harga lampu minyak ikut melonjak dan kenaikan harga pun dinikmati Khudori. Naiknya tak tanggung-tanggung, dua sampai tiga kali lipat. Untuk lampu ukuran kecil,

PKB Bersahaja tapi Bercahaya

KALAU banyaknya posko, spanduk, poster, atau stiker yang dipakai sebagai ukuran, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bukanlah apa-apa. Mereka tak sepadan untuk dibandingkan dengan para pendatang baru macam PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan, atau Partai Bulan Bintang. Atau Partai Golkar, yang selain membagi kaus, rompi, dan topi juga membagi-bagi uang agar orang mau datang ke deklarasi di Senayan pada Minggu, 7 Maret 1999. Penampakan PKB jauh dari gegap gempita. Sebaliknya kebersahajaanlah yang menggurat. Lihatlah di Bandung, misalnya. Atribut PDI Perjuangan-lah yang paling mencolok di sana. Disusul oleh PAN. Hampir di semua mulut gang menuju jalan besar berdiri posko partainya Megawati. Adapun PKB panji-panjinya hampir tak tampak, termasuk di pesantren sekalipun. Temu kader terbilang Jan saja mereka lakukan dan itu pun beberapa bulan silam. Kalaupun atribut partai resmi Nahdlatul Ulama (NU) ini masih tampak di Jawa Barat, itu hanyalah di daerah kabupaten, misaln

"Zaman Kegelapan" di Pulau Garam

Padamnya listrik di Madura menimbulkan dampak sosial-politik yang tak terduga. Termasuk isu, pemadaman ini "disengaja", sesudah aksi teror "ninja" tidak mampu menaklukkan ulama Madura. EMPAT bulan. Itulah "Zaman kegelapan" yang baru ditanggung sebagian besar dari empat juta penduduk Madura, sejak padamnya listrik di seluruh -- pulau penghasil garam itu, akibat putusnya kabel listrik dasar laut Surabaya Madura, 19 Februari lalu. Kegelapan bahkan bisa berlangsung enam bulan, jika kerusakan tergolong berat. Sementara itu, upaya perbaikan tergantung pada suku cadang luar negeri dan harganya yang mahal. Persoalannya: listrik merupakan bagian tak terpisahkan dan kehidupan masyarakat modern. Jadi bukan hanya 281.000 pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Madura yang terkena. Bisa dibilang, tidak ada satu pun aspek kehidupan masyarakat, di pulau yang luasnya 4.865 kilometer persegi itu, bisa terlepas dari listrik. Maka, padamnya listrik selama berbulan-bulan

Penantian Panjang Ashari

Padamnya listrik memengaruhi berbagai sektor ekonomi Madura dan menghambat roda pemerintahan. WAKTU terasa berjalan sangat lambat bagi Muh. Ashari. Pengusaha mebel di Sampang ini adalah korban langsung dari padamnya listrik di Madura. Ashari menuturkan kepada D&R, sejak listrik padam, banyak peralatan untuk membuat ranjang ukiran--istilah Maduranya adalah dipan palek--tak bisa berfungsi. seperti bor listrik, mesin bubut, dan mesin perata atau pasra. Akhirnya, Ashari harus kembali menggunakan alat lamanya: alat dengan tenaga tangan. Kalau dihitung-hitung hasilnya, ada perbedaan produktivitas cukup besar. Jumlah produk mesin dibandingkan tenaga tangan adalah tiga banding satu. Mau lak mau, itulah yang dilakukan Ashari dan dua buruhnya kini. Selain itu, usahanya belakangan ini sangat seret. Malah, menurut Ashari, usaha yang diwarisi dari orang tuanya itu sudut sekarat kondisinya. "Mau beli mesin diesel tak punya uang," ucapnya. Ashari menyatakan, masih akan menunggu dan teru