Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2006

Ceasefire?

Conflict has erupted between the Supreme Court and the Judicial Commission. With neither side willing to back down, a team of mediators has been formed to resolve the dispute. LAST Tuesday, the Judicial Commission submitted the draft on Government Regulations Replacing Laws on the Amendments to the Judicial Commission Laws to the Minister of Justice & Human Rights, Hamid Awaludin. The document proposed amendments to certain provisions contained within the Judicial Commission Laws. One of the amendments gives the Commission the power to re-select Supreme Court (MA) justices who have already passed the stipulated retirement age. The draft has re-ignited conflict between the MA and the Judicial Commission. The conflict first erupted on December 19, 2005, when Supreme Court Chief Justice Bagir Manan ignored a summons from the Judicial Commission to undergo questioning regarding his involvement in the controversial Probosutedjo judicial bribery case. The Commission summoned Bagir as hea

A Revolutionary Move

NEW hope for mixed couples: their children could receive limited dual citizenship in Indonesia. This is one of the issues being discussed by the special committee deliberating the Citizenship Bill at the House of Representatives (DPR). "This bill is a breakthrough for the government and DPR special committee members in accommodating the interests of Indonesian women," said the Melati Mixed Marriage Families (KPC) Chairperson, Enggi Holt, last Monday. On February 2, head of the special committee deliberating the bill, Slamet Efendy Yusuf, announced that the committee had decided to include provisions regarding limited dual citizenship in the Citizenship Bill in an attempt to eliminate discrimination against children of mixed marriages. "This is a revolutionary decision," said Slamet. If the bill is approved, children from mixed marriages will be eligible to receive dual citizenship from both their father and mother, until they finally decide upon single citizenship.

Not a Magic Wand

The Anti-Discrimination Bill currently under deliberation still contains flaws. IF approved, the Anti-Discrimination Bill could become the basis for amending existing regulations which discriminate between people of different races and ethnic groups. Pursuant to the bill, any person found guilty of discriminating against another due to their racial or ethnic background could face prison. Containing 27 provisions arranged in 11 chapters, the bill defines discriminative behavior as, among others, "treating a person better or worse than other people because of their racial or ethnic background, or expressing racial hatred against another person". Violation of the bill carries a maximum penalty of three years in prison and a fine of Rp500 million. If the discriminative behavior results in the death of another person, the penalty is raised to seven years in prison and a Rp1 billion fine. The bill also appoints the National Human Rights Commission (Komnas HAM) responsible for monit

Di Selatan Mereka Bebas

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe divonis bebas. Jaksa menyebut hakim telah membelokkan pengertian unsur kerugian negara. EDUARD Cornelis William Neloe tak henti-hentinya menebar senyum saat digiring menuju ke r-uang tahanan Pengadilan Ne-geri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Wajahnya sumringah meski terimpit di tengah puluhan wartawan, keluarga, dan sejumlah koleganya. Handai taulan tampak serabutan menjulurkan ta-ngan, menyampaikan rasa ikut gembira setelah hakim memvonisnya bebas. ”Selama ini saya mencari keadil-an dan hari ini saya menerima keadilan itu, mesti belum selesai,” kata bekas Direktur Utama Bank Mandiri ini. Hari itu, majelis hakim yang dike-tuai Gatot Suharnoto memutuskan Neloe dan dua direktur Bank Mandiri, I Wayan Pugeg dan M. Sholeh Tasripan, tak bersalah sehingga harus dibebaskan. Bagi sebagian orang ramai, putusan ini sa-ngat mengejutkan mengingat sebelumnya jaksa menuntut ketiganya dengan pa-sal korupsi karena pemberian kredit bridging loan Rp 160

Bukan Lampu Aladin

Draf RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang kini dibahas di DPR masih memiliki sejumlah kelemahan. Yang pasti, mereka yang melakukan tindakan diskriminasi bisa dikirim ke penjara. JIKA jadi disahkan, inilah undang-undang yang diharapkan bisa menjebol segala macam aturan yang se-lama ini membedakan orang lantaran ras dan sukunya. Namanya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dengan undang-undang ini, kelak siapa pun yang membedakan seseorang berdasarkan suku atau etnis, bisa diseret ke depan meja hijau. Jumlah pasal dalam rancangan undang-undang terbilang irit. Hanya 27 pa-sal yang dirangkum dalam 11 bab. Tindakan yang disebut diskriminatif, antara lain, memperlakukan orang l-ebih baik atau lebih buruk dibandingkan orang lain berdasarkan alasan ras atau etnis, atau menunjukkan kebencian kepada seseorang karena perbedaan ras. Ancaman hukuman untuk mereka yang melakukan perbuatan diskriminasi cukup berat. Bisa diganjar hukum-an hingga tiga tahun penjara

Tempo Menang di Mahkamah Agung

Ada kado penting dari Mahkamah Agung bagi pers nasional. Pekan lalu, MA mengabulkan permohonan kasasi Pemimpin Redaksi mingguan Tempo Bambang Harymurti melawan pengusaha Tomy Winata. Yang luar biasa adalah, dalam kasus ini, MA menggunakan undang-Undang Pers sebagai rujukan. Tim liputan KBR 68h melaporkan untuk Radio Nederland di Hilversum. Djoko Sarwoko: Selama ini UU Pers kurang berfungsi, kita ingin agar UU Pers memiliki peranan penting di dalam pemberitaan atau di dalam media massa. Ke depan, UU Pers harus menjadi lex specialist mudah-mudahan ini menjadi yurisprudensi dan diikuti oleh hakim yang lain. Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan, inilah salah satu ikhtiar MA untuk mendukung kebebasan pers. Tak pelak lagi, ini memang untuk pertama kalinya, MA menggunakan UU Pers sebagai rujukan hukum dalam memutus sebuah perkara. Perseteruan antara Bambang Harymurti, dalam hal ini Majalah Tempo, dengan konglomerat Tomy Winata berawal dari artikel berjudul Ada Tomy di Tenabang,

A Discord over Dogmas

Satiric cartoons of the Prophet Muhammad in a Danish newspaper triggered a wave of protests among Muslims worldwide. Is it a godsend for the far-right and radical Muslims? SHOUTS of "Allahu Akbar" rang out from the 2,000 or so followers of Hizbut Tahrir Indonesia who took to the streets last week. They were protesting the publication of cartoons of Prophet Muhammad in a Danish newspaper, the Jyllands-Posten. The Hizbut Tahrir supporters from Jakarta and surrounding areas, gathered at the Hotel Indonesia roundabout, near the Nusantara Building. There was a stage large enough to deliver orations, and loudspeakers were set up at various points. Meanwhile, in Copenhagen, five months after the Jyllands-Posten's inflammatory publication, the depiction of Prophet Muhammad as a terrorist figure is still making news. One of the unflattering cartoons depicted a head wrapped in a turban shaped like a bomb with a lit fuse. The Islamic declaration of faith was written on the bomb in A

Keputusan Revolusioner dari Senayan

ENGGI Holt tak bisa menutupi suka cita mendengar kabar dari Senayan. Apalagi kalau bukan soal diterimanya prinsip kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak hasil perkawinan campur warga negara Indonesia (WNI) dan asing. Itulah salah satu keputusan rapat panitia khusus RUU Kewarganegaraan. ”RUU ini suatu terobosan luar bisa bagi pemerintah dan anggota panitia khusus mengakomodasi kepen-ting-an perempuan WNI,” k-ata Ketua Keluarga Perkawinan Campur Melati ini, Senin pekan lalu. Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan Slamet Efendy Yusuf, seusai rapat 2 Februari lalu, mengatakan, Pansus sepakat mencantumkan aturan kewarganegaraan ganda terbatas dalam RUU Kewarganegaraan untuk menghapus diskriminasi atas mereka selama ini. ”Ini keputusan revolusioner,” kata politisi Partai Golkar itu. Dengan diterimanya prinsip ini, maka sang anak hasil perkawinan campur bisa memiliki dua kewarganegaraan, dari sisi ibu dan bapaknya, sampai akhirnya memutuskan satu kewarganegaraan. Kini yang masih dibahas DPR adala

Menanti Komisi Yudisial dan MA Berdamai

Konflik Mahkamah AgungKomisi Yudisial terjadi karena masingmasing pihak ingin berada pada posisi yang nyaman. Sebuah tim mediator dibentuk untuk menyelesaikan kasus ini. DOKUMEN itu tebalnya cuma 15 halaman. Namanya draf Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tentang Perubahan UndangUndang Komisi Yudisial. Selasa pekan lalu, draf ini sudah diserahkan oleh Komisi Yudisial ke Menteri Hukum Hamid Awaludin. Isinya perbaikan sejumlah pasal yang tertera dalam UU Komisi Yudisial. Salah satunya memberi kewenangan komisi ini melakukan seleksi ulang terhadap hakim agung yang memasuki usia pensiun tapi akan diperpanjang masa kerjanya. Hadirnya draf perpu, tak pelak, semakin meregangkan konflik yang tengah berlangsung antara hakim agung dan anggota Komisi Yudisial yang dua bulan terakhir ini terus memanas. Ributribut itu sendiri bermula pada 19 Desember 2005. Saat itu Bagir Manan menolak datang ke kantor Komisi Yudisial untuk diperiksa dalam kasus suap Probosutedjo. Komisi memanggil Bagir dal

Tempo Menang di MA

Tim Liputan KBR 68h 16-02-2006 Ada kado penting dari Mahkamah Agung bagi pers nasional. Pekan lalu, MA mengabulkan permohonan kasasi Pemimpin Redaksi mingguan Tempo Bambang Harymurti melawan pengusaha Tomy Winata. Yang luar biasa adalah, dalam kasus ini, MA menggunakan undang-Undang Pers sebagai rujukan. UU Pers digunakan Djoko Sarwoko: "Selama ini UU Pers kurang berfungsi, kita ingin agar UU Pers memiliki peranan penting di dalam pemberitaan atau di dalam media massa. Ke depan, UU Pers harus menjadi lex specialist mudah-mudahan ini menjadi yurisprudensi dan diikuti oleh hakim yang lain." Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan, inilah salah satu ikhtiar MA untuk mendukung kebebasan pers. Tak pelak lagi, ini memang untuk pertama kalinya, MA menggunakan UU Pers sebagai rujukan hukum dalam memutus sebuah perkara. Berawal Maret 2003 Perseteruan antara Bambang Harymurti, dalam hal ini Majalah Tempo, dengan konglomerat Tomy Winata berawal dari artikel berjudul "A

Vonis Bebas pada Hari Pers

Mahkamah Agung memvonis bebas Bambang Harymurti. Dewan Pers berharap keputusan itu menjadi yurisprudensi. SEPANJANG siang hingga malam pada Kamis pekan lalu, telepon genggam Pemimpin Redaksi Tempo–majalah yang Anda pegang ini–Bambang Harymurti, tak henti-hentinya berdering. Sekitar 150 panggilan dan layanan pesan pendek (SMS) telah masuk. Isinya hampir seragam, memberikan ucapan selamat atas turunnya vonis Mahkamah Agung yang membebaskan Harymurti dari hukuman satu tahun penjara. “Saya sendiri baru tahu vonis itu saat ditelepon wartawan untuk dimintai komentar,” ujar dia. Pagi itu, majelis hakim yang beranggotakan Bagir Manan (ketua majelis), Djoko Sarwoko dan Harifin A. Tumpa, menggelar sidang kasus Tempo. Hasilnya, kata Djoko, "Majelis memutuskan untuk mengadili sendiri dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat." Majelis berpendapat, dakwaan penuntut umum tidak terbukti, membebaskan terdakwa dari segala tuntutan, dan memul

Atas Nama Administrasi

Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menunda eksekusi terhadap 33 anggota DPRD karena alasan administratif. Alasan yang dinilai tak masuk akal. KETUA Forum Peduli Sumatera Barat, Adi Surya, merasa geregetan dengan pihak kejaksaan di provinsi. Sampai Jumat pekan lalu, 33 mantan anggota DPRD Sumatera Barat yang sudah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung tak kunjung dieksekusi: masuk ke penjara Muaro, Padang. Padahal, salinan putusan kasasi Mahkamah Agung sudah diterima Kejaksaan Negeri Padang, 29 Desember 2005. Adi layak masygul. Forum Peduli Sumatera Barat adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat yang paling giat membongkar kasus dugaan korupsi anggaran pendapatan belanja dan daerah (APBD) 2002 yang dilakukan para anggota Dewan. Menurut Adi, pada 29 Januari lalu, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat Antasari Azhar pernah mengontaknya dan berjanji akan melakukan eksekusi secepatnya. Janji ternyata tinggal janji. Ada 43 mantan anggota DPRD yang dilaporkan telah menilap dana APBD itu. Tiga

Hizbut Tahrir Demo Pemuatan Kartun Nabi Muhammad

Sabtu, 11 Pebruari 2006 | 12:24 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta: Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Teriakan takbir itu bergema dari sekitar dua ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia yang menggelar aksi di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Sabtu (11/2) pagi. Mereka memprotes pemuatan kartun Nabi Muhammad di koran Jyllands-Posten Denmark pada September 2005. Aksi ini berlangsung sejak pukul 09.00 WIB. Sebuah panggung cukup besar didirikan untuk orasi. Speaker berkekuatan tinggi diarahkan ke berbagai penjuru. Peserta aksi datang dari berbagai daearah sekitar Jakarta. Sejumlah spanduk dibentangkan. Di antaranya bertuliskan: "Menghina nabi tidak selesai dengan meminta maaf. Kafir barat tidak akan berhenti menghina Nabi SAW dan Islam kecuali setelah ditundukkan khalifah Islam.” Mereka juga membawa bendera bertuliskan “Lailaha Illallah”. Dalam orasinya, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Kholil Ridwan, menyampaikan soal sayembara yang akan memberi hadiah 100 kilogram emas kepada si

New Hope for Corruption Fighters

The DPR has commenced deliberation over the Witness and Victim Protection Bill. But, the bill is said to have many flaws. THIS Monday, members of the Witness Protection Coalition will be directing their attention to the House of Representatives (DPR) as it commences deliberations over the long-awaited Witness and Victim Protection Bill. The bill is hoped to provide witnesses and informants legal protection in exchange for their help in exposing crime, particularly crimes of corruption. "Although the deliberations will be closed, we will continue to monitor them," said Coalition spokesperson, Supriyadi. Representing the organizations of Jakarta Legal Aid, Elsam, Komnas Perempuan and Walhi, the Coalition has promised to ensure that the DPR acts in accordance with the primary aims of the bill. The bill has caused problems from the beginning. The drafting process was complicated, a proposal from 40 DPR members submitted on May 19, 2002. The bill was slated for completion in 2005,

Memberangus Media Porno

RUU Antipornografi dan Pornoaksi juga membidik media-media ”lher”. Tapi, tanpa Undang-Undang Antipornografi pun media semacam ini sebenarnya bisa diberangus. ”Masalah pornografi dan pornoaksi sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak,” kata anggota De-wan Pers bidang pengaduan masyarakat, Leo Batubara. Setidaknya ada lima pasal dalam KUHP yang membe-ri-kan sanksi pidana penjara dan denda bagi media yang me-muat tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan. Pasal 533, misalnya, menyediakan hukuman maksimum dua bulan penjara dan denda Rp 3.000 bagi media yang memuat tulisan yang judul dan gambarnya bisa membangkitkan berahi. Memang, sanksi yang disediakan tak sebesar RUU Anti-pornografi dan Pornoaksi, yang saat ini dibahas DPR. Dalam RUU ini ancaman hukuman yang disediakan untuk media semacam itu lumayan cukup berat: pidana penjara minimum 1 tahun, maksimum 12 tahun, dan denda hingga Rp 2 miliar. Pornografi di media massa memang bukan barang