Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2007

Vincentius Amin Sutanto: I am not a repeat offender

THE West Jakarta District Court sentenced Vincentius Amin Sutanto to be jailed at Salemba Prison on August 9. The panel of judges, led by Sutarto K.S. declared Vincent, found the former financial controller of the Asian Agri Group (AAG), a subsidiary of the Raja Garuda Mas (RGM) group, guilty of money laundering and forgery. Vincent tried to steal US$3.1 million belonging to PT Asian Agri Oil & Fats in Singapore by forging the signature of the company’s executives. The crime was exposed and Vincent asked his boss, Sukanto Tanoto, CEO of RGM, that he be forgiven. Failing to do so, the Singkawang-born Vincent, 44, fled to Singapore. But he was not happy being on the run, so Vincent headed home to Indonesia. As a financial controller, Vincent was well aware of the accounting tricks practiced by the company he worked for to avoid paying the necessary taxes. This fact, along with a pile of documents and other evidence, he submitted to the police and the Corruption Eradication Committee

Pencemaran Lewat Surat Pembaca

Seorang penulis surat pembaca mengadukan PT Era Graha ke polisi karena tuduhan pencemaran nama baik. Sebelumnya, PT Era yang melapor. MENULIS surat pembaca bisa berurusan dengan polisi. Ini dialami Lim Ping Kiat, mantan direktur perusahaan yang bergerak di bidang saham. Pria 44 tahun ini diadukan ke polisi dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. ”Padahal saya hanya menyampaikan unek-unek,” kata warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, ini. Kasusnya berawal sekitar delapan tahun lalu, saat Lim membeli sebuah rumah di Perumahan Taman Ratu, Jakarta Barat, melalui agen perumahan Era Graha. Masalah datang pada 2005 ketika ia bermaksud menjual kembali rumah senilai Rp 400 juta itu. Ternyata ada perbedaan alamat antara dokumen izin mendirikan bangunan (IMB) dan sertifikat rumah. Karena calon pembeli mempersoalkan perbedaan itu, Lim lantas menghubungi PT Era Graha, yang kemudian merujuknya untuk menghubungi kantor pusat, PT Era Indonesia. Jawaban yang diterima membuatnya terenyak. Era justru m

Vincentius Amin Sutanto: Saya Bukan Residivis

VONIS Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 9 Agustus lalu telah mengantar Vincentius Amin Sutanto menjadi terpidana di penjara Salemba. Majelis hakim yang diketuai Sutarto K.S. menyatakan mantan Financial Controller Asian Agri Group, salah satu anak perusahaan Grup Raja Garuda Mas, ini terbukti melakukan kejahatan pencucian uang dan pemalsuan. Vincent membobol duit PT Asian Agri Oil and Fats di Singapura US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) dengan cara memalsukan tanda tangan petinggi perusahaan tersebut. Perbuatan ini terbongkar dan Vincent sempat meminta maaf kepada Sukanto Tanoto, bos Raja Garuda Mas. Tak mendapat maaf dari sang taipan, pria kelahiran Singkawang 21 Januari 1963 ini memilih kabur ke Singapura. Tak betah jadi buron, Vincent pulang ke Indonesia. Sebagai financial controller, Vincent sangat tahu adanya praktek kecurangan yang dilakukan perusahaannya agar terhindar dari kewajiban membayar pajak yang semestinya. Penyelewengan tersebut, berikut dengan setumpuk dokumen dan b

Blueprint in a Gray Book

The AGO has a ‘work regulation,’ the Supreme Court has a blueprint. But implementations are hard. NOT only in the Department of Finance, bureaucratic reforms are also taking place in a number of departments and state supreme institutions. One of them is the Attorney General’s Office (AGO). At the law enforcement institution, on July 23, Attorney General Hendarman Supandji launched a “renewing the AGO” program. The renewal package is written in the six District Attorney regulations. “The regulations are to improve the culture, work discipline, and professional ethics of the attorneys,” said Hendarman at the launching ceremony. This new package is relatively comprehensive, regulating among others recruitment of civil servants and attorneys in AGO offices, education and training, minimum standards of the attorney profession, and career development. In addition—this is extremely important—code of attorney behavior, supervision, and penalties. The reforms package is actually a “legacy” from

Victim of Martial Law

PT Inaco claims compensation from the government for two ships taken over by the navy 50 years ago. The court maintains that the decision on insolvency was invalid. THERE was no name board. The singlestory building in Pasar Minggu, South Jakarta, gave no impression of being a shipping company’s office. At the entrance was a notice reading that an Englishlanguage course was being run there. “The office of PT Inaco is right here,” said Director of Indonesian Navigation Co Ltd (Inaco), Agus Salim, last Thursday. The shipping firm, set up on October 28, 1950, was once in possession of two large vessels linking Indonesia with several countries. But the company’s heyday ended when it was declared insolvent and the government confiscated both ships. On Friday two weeks ago, the firm again sent a letter to President Susilo Bambang Yudhoyono. Inaco demanded that the government pay compensation for the confiscation of its vessels. Its judicial journey began in 1957, when the Department of Commun

One Article, Two Interpretations

THE “battle” began on Thursday last week. At the Central Jakarta District Court, lawyer Mohammad Assegaf spoke loudly. “The prosecutor’s case review is baseless,” he said. Assegaf is the lawyer representing Pollycarpus Budihari Priyanto, the Garuda pilot whom the Supreme Court acquitted of having killed Munir. Wirawan Adnan, also Polly’s lawyer, questioned the step taken by the prosecutor, because the Criminal Code (KUHAP) only gives the right of a case review (PK) to the accused and their heirs. “The prosecutor has no right,” said Wirawan, citing Article 263 of the KUHAP. Adnan quoted the official explanation of Article 263, which stated that this regulation was restrictive. This means, only those specifically mentioned in the article have the right to a case review. “The prosecutor has already given three chances to press charges, starting from the district court, the high court, and to the Supreme Court. So, if he is acquitted, don’t keep on investigating,” he said. “If a prosecutor

Cetak Biru di Buku Abu-abu

Kejaksaan punya ”perja”, Mahkamah Agung punya cetak biru. Tapi tak mudah pelaksanaannya di lapangan. Tak hanya di Departemen Keuangan, reformasi birokrasi juga terjadi di sejumlah departemen dan lembaga tinggi negara. Salah satunya di Kejaksaan Agung. Di lembaga penegakan hukum ini, pada 23 Juli lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji meluncurkan program ”pembaruan kejaksaan”. Paket pembaruan itu tertuang dalam enam peraturan Jaksa Agung (perja). ”Peraturan ini dibuat untuk memperbaiki kultur, disiplin kinerja, dan etika profesi jaksa,” kata Hendarman saat meluncurkan Perja Pembaruan Kejaksaan tersebut. Paket pembaruan ini terhitung lengkap, mengatur antara lain soal rekrutmen pegawai negeri sipil dan jaksa di instansi kejaksaan, pendidikan dan pelatihannya, standar minimum profesi jaksa, serta pembinaan karier. Selain itu—ini yang terhitung sangat penting—soal kode perilaku jaksa berikut pengawasan dan sanksinya. Paket pembaruan kejaksaan ini sebenarnya ”warisan” Jaksa Agung Abdul Rahman

Korban Darurat Perang

PT Inaco menuntut pemerintah membayar ganti rugi atas dua kapal mereka yang diambil Angkatan Laut 50 tahun lalu. Pengadilan menyatakan keputusan pailit tak sah. Tak ada papan nama. Gedung satu lantai di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu sama sekali tak mengesankan kantor perusahaan pelayaran. Di salah satu pintu masuk tertempel tulisan yang menyebutkan di situ ada kursus bahasa Inggris. ”Ini memang kantor PT Inaco,” kata Direktur Indonesian Navigation Coy Ltd., Agus Salim, Kamis pekan lalu. Perusahaan pelayaran yang didirikan pada 28 Oktober 1950 ini pernah memiliki dua kapal besar yang ”menghubungkan” Indonesia dengan sejumlah negara. Tapi kejayaan perusahaan ini karam setelah dipailitkan dan dua kapalnya diambil alih pemerintah. Pada Jumat dua pekan lalu, perusahaan ini kembali berkirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka menuntut pemerintah membayar ganti rugi atas penyitaan kapal mereka. Kisah ”mencari keadilan” ini bermula pada 1957, tatkala Departemen Perh

Satu Pasal, Dua Tafsir

PERANG” itu sudah dimulai pada Kamis pekan lalu. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pengacara Mohammad Assegaf lantang bersuara. ”Peninjauan kembali oleh jaksa tidak berdasar,” katanya. Assegaf adalah pengacara Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak terbukti membunuh Munir. Wirawan Adnan, pengacara Polly lainnya, mempertanyakan langkah jaksa karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya memberikan hak peninjauan kembali (PK) kepada terdakwa dan ahli warisnya. ”Jaksa tidak berhak,” kata Wirawan sembari menyitir pasal 263 KUHAP. Adnan mengutip penjelasan pasal 263 yang menyebut aturan ini bersifat limitatif. Artinya, hanya yang disebut tegas dalam pasal itu yang memiliki hak PK. ”Jaksa kan sudah diberi hak tiga kali menuntut, dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, sampai Mahkamah Agung. Jadi, kalau bebas, jangan diperiksa lagi,” katanya. ”Kalau jaksa dibolehkan PK, terdakwa bisa diadili terus-menerus.” Kejaksaan Ag

Vonis Janggal untuk Vincent

Vincentius Amin Sutanto dihukum penjara 11 tahun. Mengapa hakim mengenakan pasal kejahatan pencucian uang? WAJAH Vincentius Amin Sutanto tampak tenang saat hakim mengetukkan palu menjatuhkan vonis terhadap dirinya. Pria 44 tahun yang duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu, sejenak, hanya menarik napas panjang. Padahal, Kamis pekan lalu itu, vonis yang ditimpakan hakim terbilang berat. Ia dihukum 11 tahun penjara karena, menurut hakim, terbukti melakukan kejahatan pencucian uang dan pemalsuan surat. Vincentius, yang akrab dipanggil Vincent, tampaknya sudah menduga ujung akhir sidangnya akan begini. Tak aneh jika ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Seusai pembacaan vonis, ia mendekati Petrus Balla Pattyona, kuasa hukumnya: ”Pak, seperti yang Bapak sampaikan, pengadilan ini tak lebih hanya skenario untuk menghukum saya. Ini suatu cara untuk membungkam saya.” Vincent diadili karena melakukan pembobolan uang milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, sal

Alms for the Not So Poor

There are many gaps in the report on campaign funds for the two gubernatorial candidates. Contributions are suspected to have been channelled through third parties. THE list of those contributing funds to the campaign for Jakarta Governor has been made public. The Adang Daradjatun-Dani Anwar ticket was recorded as having pocketed more then Rp31 billion, three times the “wealth” of the Fauzi Bowo-Prijanto candidacy. “But the campaign fund donations are actually larger than recorded,” said Indonesia Corruption Watch (ICW) Political Corruption Division Coordinator, Abraham Fahmi Badoh, on Friday last week. According to a rough calculation by ICW, at the very least Rp20 billion is needed to reach out to Jakarta’s 6 million voters. The cost could actually be five times this. In practice no candidate could run a campaign out of his or her own wallet. As of May 2007, Fauzi’s wealth stood at Rp38.347 billion while Adang had Rp17.34 billion. These amounts are far from adequate. An announcement

The World According to CSR

The government is working on a corporate social responsibility regulation. So far, corporate activities have often been taken for granted. THE rule will be introduced no later than the end of this year. Despite the relatively long time left, it still leaves the hearts of entrepreneurs pounding with wariness. That’s the government regulation (PP) on corporate social responsibility, more popularly known as CSR. “We are finalizing the rule as soon as possible,” said Director of Harmonization of Legislation, Department of Justice & Human Rights, Wicipto Setiadi. CSR is one of several new elements in the Limited Liability Company Law (UU PT), which was also newly endorsed by the House of Representatives (DPR) on July 20. The other new rules, for instance, concern the merger policy, which requires the approval of employees, and the simplified procedure for corporate license application. Compared with the old Law No. 1/1995, the new UU PT is “thicker.” While the former law had 129 article

Kotak Amal Sang Kandidat

Banyak bolong dalam laporan dana kampanye dua kandidat. Duit sponsor diduga masuk lewat orang lain. PARA penyumbang dana kampanye kandidat Gubernur DKI Jakarta sudah dibuka. Pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar tercatat mengantongi lebih dari Rp 31 miliar, tiga kali di atas ”kekayaan” Fauzi Bowo-Prijanto. ”Tapi dana kampanye sebenarnya juga lebih besar dari yang tercatat itu,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ibrahim Fahmy Badoh, Jumat pekan lalu. Menurut perhitungan kasar ICW, paling sedikit dibutuhkan Rp 20 miliar untuk bisa menjangkau 6 juta pemilih Jakarta. Biaya sebenarnya bisa sampai lima kalinya. Praktis tak ada kandidat yang bisa menggerakkan kampanye dari isi kocek sendiri. Sampai Mei 2007, kekayaan Fauzi Bowo tercatat Rp 38,347 miliar, Adang Daradjatun Rp 17,34 miliar. Jumlah itu jauh dari mencukupi. Pengumuman Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta tentang dana kampanye dua calon, 22 Juli lalu, memberikan sedikit gambaran siapa di belakang

Bukan untuk Sunatan Massal

Pemerintah sedang menggodok peraturan tentang tanggung jawab sosial korporasi. Selama ini kegiatannya sering salah kaprah. PALING lambat beleid ini bakal diluncurkan akhir tahun ini. Kendati relatif masih lama, toh tetap saja peraturan itu membuat jantung para pengusaha berdegup-degup. Itulah peraturan pemerintah (PP) tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan atau lebih ngetop disebut CSR (corporate social responsibi­lity). ”Kami sedang secepatnya menyelesaikan peraturan itu,” kata Direktur Harmonisasi Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wicipto Setiadi. CSR adalah satu dari sejumlah hal baru dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang juga baru, yang disahkan DPR 20 Juli lalu. Aturan baru lainnya, misalnya, kebijakan merger yang harus mendapat persetujuan karyawan serta prosedur pengajuan izin perseroan yang lebih dipersingkat. Dibanding undang-undang yang lawas, UU No. 1/1995, UU PT baru ini ”lebih tebal”. Jika yang lama 129 pasal, undang-undang baru terdir