Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 1998

Jurnalis Melawan "Teroris"

Di era reformasi, para insan pers justru harus berhadapan dengan para "teroris", yang mengancam akan melakukan tindakan kekerasan, bahkan siap membunuh. JEMBER dan Banyuwangi di Jawa Timur bukanlah daerah bergolak seperti Bosnia-Herzegovina atau Lebanon Selatan. Tapi, bagi para jurnalis, risikonya sekarang sama saja. Sewaktu-waktu, jika lengah dan bernasib nahas, mereka bisa saja kehilangan nyawa. Itulah risiko profesi yang dihadapi para jurnalis sekarang. Sesudah aksi pembantaian di Jawa Timur terhadap kiai Nahdlatul Ulama, aktivis Partai Persatuan Pembangunan, dan kalangan masyarakat kecil dengan tuduhan "dukun santet"-yang terkesan sistematis, terorganisasi rapi, dan dilakukan orang-orang terlatih kini giliran para jurnalis diteror dan diancam dibunuh. Lebih buruk lagi, meski dengan latar belakang kasus yang berbeda-beda, aksi kekerasan terhadap jurnalis juga muncul di Ujungpandang, Manado, dan Tanjungbalai (Sumatra Utara). Kelompok antireformasi pelaku pembantai

Pers di Kibar Panji-Panji Partai

Sejumlah media corong partai terbit. Bos kelompok Jawa Pos, Dahlan Iskan, menjadi investornya. PANJI-panji partai politik telah dikibarkan. Genderang perang sudah mulai terdengar. Wajar saja karena toh pemilihan umum berlangsung tahun depan. Banyak cara yang dilakukan para calon kontestan untuk sounding alias siar. Mulai dari memasang spanduk di mana-mana, mengiklankan diri di media massa, hingga mengadakan tablig akbar. Kini muncul modus baru: menerbitkan media massa. Partai Amanat Rakyat (PAN) meluncurkan tabloid Amanat. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)-Perjuangan menghadirkan tabloid Demokrat. Adapun Partai Kebangkitan Bangsa sedang membidani Duta Masyarakat. Partai-pautai lain kemungkinan besar bakal menyusul. Dengan demikian, bukan hanya koran Suara Karya (Golkar) lagi yang menjadi organ atau media yang diterbitkan partai. Media is the power. Moto itu disadari betul oleh mereka yang menggagas partai baru, sebagai terobosan terhadap sistem politik Orde Baru. Untuk memperkenalkan pa

Ninja Palsu pun Dibantai

Masyarakat Jawa Timur melakukan aksi balas dendam terhadap pasukan ninja. Tapi, yang jadi korban kebanyakan orang tak bersalah. BANJIR darah di Jawa Timur sepertinya tak hendak berhenti. Korbannya juga masih sama: orang-orang tak bersalah. Yang berbeda cuma label yang dilekatkan kepada mereka: jika dulu "dukun santet", kini "pasukan ninja". Pelakunya-ini yang menyedihkan tak lain masyarakat setempat yang memang tengah dicekam rasa saling curiga. "Apa salahnya masyarakat lebih dulu bertindak, daripada kedahuluan? Soalnya, sekarang ini, siapa yang bisa menjamin keselamatan kami?" kata seorang warga Kecamatan Jenggawah. Suatu hari pada pekan lalu, ia ikut mengeroyok seorang yang dicurigai sebagai anggota pasukan ninja-istilah populer untuk gerombolan yang membantai sejumlah ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU). Ada nada cemas, bahkan ketakutan, dari pernyataan itu. Dari sana kemudian muncul sisi hitam manusia: gampang bertindak di luar batas perikemanusiaan.

Konspirasi Menggoyang NU?

SEJAK isu pembantaiaan di Banyuwagi marak, banyak pihak membentuk tim pencari fakta untuk mengusut perkara ini. Berbagai kesimpulan dan temuan pun dikemukakan: Namun, tak satu pun yang berhasil mengungkap jelas duduk perkaranya. Malah, berseliwerannya berbagai pernyataan tim pencari fakta itu makin membingungkan khalayak. Namun, ada yang disepakati mereka: gerakan gerombolan" pembantai itu terlatih dan terorganisasi. Yang paling gencar mengusut soal pembantaian tentunya Tim Investigasi Pengurus Wilayah NU Jawa Timur. Tim itu dibentuk setelah banyak kaum nahdliyin menjadi sasaran pembantaian. Sampai saat ini, tim yang dipimpin Timbul Wijaya, Wakil. Ketua Pagar Nusa NU Jawa Timur, itu mencatat 132 kasus pembantaian. Sebagian korban penganiayaan itu adalah kaum nahdliyin.Apa saja hasil temuan tim tersebut? Kepada koresnonden D&R, Timbul menuturkan cerita berikut. Semula, aksi pembantaian hanya menimpa orang-orang yang dicurigai berpraktik dukun santet. Pelakunya juga umumnya mass

Busung Lapar: Satu Generasi Bodoh

Jika derita busung lapar tak teratasi, satu generasi akan menjadi korban: tak berkualitas, alias bego. NYANYIAN mendayu-dayu memuja tanah air nan kaya raya dan subur makmur tak lagi terasa merdu di telinga. Di berbagai daerah, kini bermunculan para penderita busung lapar. Balita dengan tulang iga menonjol, perut buncit, wajah tua, kini kerap muncul di bangsal perawatan anak di beberapa rumah sakit. Masya Allah. Diawali kabar mengenai sejumlah anak penderita busung lapar atau buruk gizi yang dirawat di Rumah Sakit dr.Soetomo, Surabaya, selang beberapa waktu kemudian bermunculan kasus serupa di berbagai daerah, antara lain Irianjaya dan Ujungpandang. Padahal, penyakit yang di kalangan kedokterar dikenal dengan nama honger oedema atau marasmus Kwasiorkhor itu, sejak dua dekade silam tak pernah terdengar. Tapi, kini penyakit kurang gizi itu semakin kerap disebut-sebut, dari Sabang sampai Merauke. Menurut data kependudukan dan angka kepenyakitan, dari jumlah anak balita yang berjumlah sekit

Menunggu"Big Bang"

Sesudah "menyantap" 69 kerusuhan di berbagai daerah pada Mei-Agustus 1998, situasi tetap rawan. Aparat keamanan tampaknya makin tak mampu mengatasi. KERUSUHAN seolah-olah kini sudah menjadi santapan masyarakat Indonesia tiap hari. Berlebih lebihan? Tidak. Buktinya, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Letnan Jenderal Roesmanhadi sendiri mengakui dalam temu pers di Jakarta pekan lalu, 69 kasus kerusuhan terjadi pada Mei hingga Agustus 1998. Dalam kasus-kasus itu, aparat keamanan menangkap 4.828 orang. Menurut Roesmanhadi, 23 kasus kerusuhan itu dipicu isu etnik, 16 oleh faktor politik, 15 karena motivasi ekonomi, enam akibat bentuk penegakan hukum yang tidak tepat, dan sisanya yang sembilan kasus masih harus diidentifikasi. Kerusuhan yang cukup besar terjadi di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari 4.828 orang yang ditangkap, 867 dijadikan tersangka dan 267 di antaranya tengah diadili. Dengan makin maraknya kerusuhan, penjarahan,

Gereja dengan Haji dan Salat

Geraja Ortodoks Syria muncul di Indonesia sebagai upaya pendekatan kerukunan antar umat beragama. JANGAN heran jika suatu saat Anda menemukan sebuah gereja de ngan simbol-simbol berbahasa Arab, yang biasanya ditemui pada masjid dan musala. Mereka juga melakukan salat (dengan istilah salat juga) dengan memakai peci bagi pria, dan kerudung bagi kalangan wanita. Yang membedakan dengan umat Islam terletak pada cara salatnya. Juga kitab suci yang dipakainya. Mereka melakukan gerakan tanda salib dan membaca Bibel dalam ibadahnya. Ini terungkap di Heritage Club, Surabaya, Sabtu, 5 September, dalam acara pengukuhan pengurus Lembaga Studi Kanisah Ortodoks Syria dengan gelar "Seminar Prospek Persahabatan Kristen-lslam di Indonesia". Acara yang cukup menarik itu dihadiri sekitar 300 orang, yang justru 60 persen beragama Islam. Pengenalan ini dilakukan, menurut panitia, untuk menjembatani hubungan antar-agama, terutama aotara Islarn dan risten. Hal semacam ini bisa juga dijumpai setiap h

Dulu Primadona, Kini Sepi Mahasiswa

Gara-gara bisnis perbankan mampat, minat kuliah di lembaga perbankan pun tak lagi ngebet. BISNIS perbankan kini macet. Maka, para calon mahasiswa yang dulu ingin kuliah di sekolah-sekolah tinggi perbankan tak lagi ngebet. Padahal, ketika dunia perbankan marak, minat mahasiswa membengkak. Anganangan mereka: jika kelak lulus, bisa bekerja di bank, yang konon gajinya gede. Di lain pihak, bank-bank juga membutuhkar tenaga kerja terdidik. Tapi, kini, impian itu terpuruk sudah. Itu sebabnya Pipit kini kebingungan Mahasiswa semester akhir fakultas ekonomi sebuah perguruan tinggi swasta itu mengaku patah arang untuk meneruskan kuliah. "Dulu, saya ngebet banget bekerja di bank. Kelihatannya kan sangat bergengsi," katanya. Tapi, kini, dunia perbankan hancur sudah. Bukan hanya itu, bahkan untuk melamar ke berbagai perusahaan pun tipis harapan bisa diterima. Sebab, yang terjadi justru banyak karyawan dikenakan pemutusan hubungan kerja. Dampak pahit atas porak-porandanya sektor perbankan