Skip to main content

Posts

Showing posts from September, 2007

Reality Check in Manhattan

Two Acehnese businessmen were arrested for attempting to cash a phony check. They could be victims of Internet fraud. A SHOCKING news item appeared in the local media this past fortnight: two businessmen, members of the Aceh Governor’s delegation in the United States, were arrested by the New York Police Department. “I received confirmation about the news from the Governor’s group,” said Muhammad Nazar, Deputy Governor of Aceh, last Thursday. This is not exactly a pleasant report of Governor Irwandi Yusuf’s trip to the US, which he began on September 9, along with 20 officials and businessmen. The group had planned to return to Indonesia this week. According to Nazar, the trip was aimed at exploring cooperation with American businessmen and state governments. The group had been in the US two days when the incident occurred. One morning, Salahuddin Alfata and Lukman Cut Mansur disengaged themselves from the group and headed towards Citibank in Manhattan. Salahuddin is CEO of PT Seulawah

New York’s Initiative, Jakarta’s Commitment

THE Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative was a hot story in the Indonesian media last week. An initiative of the World Bank together with the United Nations Office of Drugs & Crime (UNODC), this program was launched on September 17 at the UN headquarters in New York. Its objective is to assist developing countries to recover assets stolen by corrupt leaders, and to help invest them in effective development programs and thwart safe havens internationally. The message of this initiative is clear. “There should be no safe haven for those who steal from the poor…and put corrupt leaders on notice that they will not escape the law,” said World Bank President Robert B. Zoellick. Executive Director of the UNODC Antonio Maria Costa added: “From now on it should be harder for kleptocrats to steal the public’s money.” There is a good reason for forming this initiative. According to World Bank chief governance advisor Joel Hellman in Jakarta, this initiative is a follow-up effort of the UN

Cek Palsu di Manhattan

Pengusaha Aceh ditangkap karena mencairkan cek palsu. Korban penipuan di Internet. DALAM dua pekan ini kabar heboh itu beredar: dua saudagar yang ikut rombongan Gubernur Aceh ditangkap polisi New York, Amerika Serikat. ”Saya mendapat konfirmasi kebenaran berita itu dari rombongan Gubernur,” kata Muhammad Nazar, Wakil Gubernur Aceh, Kamis pekan lalu. Inilah cerita sampingan tak sedap dari perjalanan Gubernur Irwandi Yusuf bersama sekitar 20 pejabat dan pengusaha ke Amerika, sejak 9 September lalu. Menurut rencana, rombongan muhibah dagang itu akan kembali ke Tanah Air pekan ini. Menurut Nazar, misi lawatan ini adalah menjajaki kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah negara bagian di Amerika Serikat. Baru dua hari rombongan di sana, terjadilah ”musibah” itu. Bermula pada suatu pagi, ketika Salahuddin Alfata dan Lukman Cut Mansur berpisah dari rombongan dan menuju Citibank Manhattan di 666 50th Avenue, Manhattan. Salahuddin adalah Presiden Direktur PT Seulawah Nanggroe Aceh Darussalam

Prakarsa New York, Komitmen Jakarta

PRAKARSA Pengembalian Aset Curian (Stolen Asset Recovery Initiative) adalah berita hangat media di Indonesia pekan lalu. Dirintis oleh Bank Dunia bersama Kantor PBB untuk Urusan Obat Terlarang dan Kejahatan, gagasan ini diluncurkan pada 17 September lalu di markas PBB di New York. Tujuannya membantu negara berkembang memulangkan aset yang dicuri para pemimpinnya yang korup dan mencegah secara internasional pelarian uang hasil kejahatan. Pesan dari prakarsa ini jelas. ”Tidak boleh ada surga yang aman bagi mereka yang mencuri dari masyarakat miskin. Juga memperingatkan para pemimpin korup bahwa mereka tidak akan lepas dari hukum,” kata Presiden Bank Dunia, Robert B. Zoellick. Direktur Eksekutif Kantor PBB untuk Urusan Obat Terlarang Antonio Maria Costa menambahkan, ”Mulai saat ini, para pencuri akan semakin sulit mencuri uang masyarakat.” Bukan tanpa sebab prakarsa ini dilahirkan. Menurut Kepala Penasihat Tata Kelola Bank Dunia di Jakarta, Joel Hellman, prakarsa ini adalah upaya lanjutan

Begging for a Jail Sentence

The government issues a new regulation on public order. Hopefully it will not turn into another paper tiger. "LADIES and gentlemen, very soon you will be prohibited from giving money to buskers,” said the boy by way of an introduction before belting out a song to the passengers on an air-conditioned bus plying the route between Rawamangun and Block M. “But don’t worry. The bylaw isn’t in force yet,” he said with a smile. The steady rhythm of guitar and song swelled amongst the crowded passengers. He wasn’t just making a joke. On Monday last week, the Jakarta Regional House of Representatives (DPRD) ratified Bylaw No. 8/2007 on Public Order. The new law will not only be a bugbear for buskers, but also vagrants, beggars, and street peddlers. And it is not only them who will be punished if they persist in operating in public places; those giving donations will also be charged. The punishments vary, from a fine of Rp50 million to six months in jail. The new regulation, which is curren

Jreng-jreng-jreng, Lalu Masuk Bui

Pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang ketertiban kota. Semoga tak jadi macan ompong. "SAUDARA-saudara, sebentar lagi saudara dilarang bersedekah kepada pengamen,” kata pria seusia anak SMA itu membuka percakapan sebelum melantunkan lagu untuk penumpang bus AC jurusan Rawamangun-Blok M. ”Tapi jangan cemas. Perdanya belum berlaku,” katanya tersenyum. Gitar pun dipetik dan lagu mengalun di tengah penumpang yang sesak. Pengamen itu tak sedang berkelakar. Pada Senin pekan lalu, Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum disahkan DPRD DKI Jakarta. Ini akan jadi momok baru tak hanya bagi pengamen, tapi juga gelandangan, pengemis, dan pedagang asongan. Tak cuma mereka yang bakal dihukum jika tetap bandel beroperasi di tempat umum, pemberi sumbangannya pun bakal kena semprit. Ganjarannya bervariasi: dari denda Rp 50 juta hingga enam bulan penjara. Peraturan baru yang kini ramai jadi bahan obrolan ini merupakan revisi dari Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988. Diaj

Power Struggle

The NU has declared the planned nuclear power plant ‘forbidden.’ Resistance is also backed by industrialists. SEVERAL hundred Islamic clerics from Central Java came together in the branch office of Nahdlatul Ulama (NU) mass Muslim organization in Jepara, Saturday, two weeks ago, to discuss the status of the fiqih (Islamic rules) in relation to a nuclear power plant (PLTN), which is planned to be built in Muria, Jepara, Central Java. “A large portion of the participants are of the opinion that construction of the Muria PLTN is haram (forbidden),” stated the Chairman of NU Jepara chapter, K.H. Nurudin Amin. This startling conclusion may be bad news for the construction plans made for the power plant, hoped to be in operation by 2017. Actions and demonstrations against the PLTN began earlier this year even though plans for its construction have been in the works since 1974. Objection has come not only from the community, but also from businesses that are united in the Indonesian Industria

Membandingkan Bajaj dan Tronton

Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa haram kepada pembangkit listrik tenaga nuklir. Kelompok penentang didukung pengusaha. SERATUSAN kiai berkumpul di kantor Nahdlatul Ulama Cabang Jepara, Sabtu dua pekan lalu. Ditemani jajan pasar, kepul an rokok di tangan, dan kitab ku ning, ustad dari seantero Jawa Tengah itu bertemu untuk membicarakan status fiqih pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang rencananya akan dibangun di Muria, Jepara, Jawa Tengah. ”Sebagian besar peserta berpendapat, pembangunan PLTN Muria haram,” kata Ketua NU Jepara, K.H. Nurudin Amin. Kesimpulan ini mengejutkan dan bisa jadi berita tak baik untuk kelancaran rencana pembangunan pembangkit listrik yang diharapkan beroperasi pada 2017 itu. Mulai awal tahun ini, aksi dan demonstrasi menolak PLTN sudah dimulai, meski rencana pembangunannya sudah direncanakan sejak 1974. Penolakan tak hanya dari masyarakat, tapi juga peng usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia Kudus. NU cabang Jepara pun perlu menggelar

Truth or Consequence

A witness retracts his testimony alleging it was given under duress. If untrue, he could be subject to seven years in jail. ONGEN has become news again. Initially, the man whose full name is Raymond J.J. Latuihamallo shocked the public with his testimony to police about a person that was with Munir prior to the death of the human rights activist. Now, the man with long, neatly combed hair has caused shock again by refuting his statements in the police investigation report (BAP). “Of course it’s his right not to admit to the results of the police questioning,” said University of Indonesia Faculty of Law criminal law lecturer, Rudi Satryo, on Friday last week. But if his testimony before the court is false, “He could be indicted under Article 242 of the Criminal Code,” said Rudi. This article pertains to witnesses who give false testimony under oath. The issue of a false testimony started from Ongen’s BAP. Ongen admitted to investigators that he saw Pollycarpus Budihari Priyanto at the C

Bersaksi Benar atau Penjara

Saksi mencabut kesaksian karena diancam. Kalau tak benar, bisa kena tujuh tahun penjara. ONGEN kembali jadi berita. Awalnya, pria dengan nama lengkap Raymond J.J. Latuihamallo ini mengejutkan publik dengan keterangannya kepada polisi tentang orang yang bersama Munir menjelang kematian aktivis hak asasi manusia itu. Kini, pria necis berambut gondrong itu kembali membuat kejutan dengan aksinya membantah keterangan dalam berkas acara pemeriksaan (BAP). ”Memang hak dia untuk tak mengakui hasil pemeriksaan polisi,” kata pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudi Satryo, Jumat pekan lalu. Kalau keterangan di depan sidang yang tak benar, ”Dia bisa dijerat Pasal 242 KUHP,” kata Rudi. Pasal itu menjerat saksi yang memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. Ihwal keterangan palsu ini bermula dari BAP Ongen di polisi. Kepada penyidik, Ongen mengaku melihat Pollycarpus Budihari Priyanto di Coffee Bean Bandara Changi, Singapura, bersama Munir, pada 6 September 2004. Keterang

Ke Mana Perginya Duit Koruptor

Badan Pemeriksa Keuangan mempertanyakan setoran dana pengganti perkara korupsi. Seharusnya duit itu segera dikirim ke rekening negara. SURAT itu sudah dilayangkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Kejaksaan Agung pekan lalu. Isinya, undangan buat lembaga penuntutan itu, Senin pekan ini, untuk membahas selisih angka jumlah dana pengganti uang korupsi yang belum diserahkan ke kas negara. BPK mengharap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana, Kemas Yahya, datang dan menjelaskan soal setoran duit itu. ”Cuma saya tidak tahu, nanti dia hadir atau tidak,” kata anggota BPK Burhanuddin Aritonang kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Pertemuan ini diperkirakan bakal seru. Sebelumnya, lebih dari sepekan, soal dana pengganti ini menjadi pembicaraan ramai. BPK menengarai kejaksaan tidak transparan dalam soal dana perkara korupsi itu. Sebaliknya kejaksaan menegaskan tak ada masalah. Kejaksaan berkukuh tak ada sesen pun dana para koruptor yang masuk kantong jaksa. ”Saya yakin itu,” kata Jaksa Agung Hendarman Supand