Skip to main content

Merasa Aman dengan Satgas Sendiri

Banyak parpol memiliki satgas pengamanan sendiri. Bisakah mencegah bentrokan antar pendukung?

BERSIAPLAH bersedih menerima kenyataan ini. Pemilihan umum (pemilu) ternyata juga membuat konflik di tingkat elite merebak ke akar rumput. Maka, semakin mendekati hari "H" pelaksanaan pemilu pada 7 Juni nanti kerap terbetik kabar adanya bentrokan antar pendukung partai politik (parpol).

Yang paling anyar sekaligus paling menyedihkan adalah bentrokan antara pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) baru-baru ini di Jepara, Jawa Tengah, Jumat, 30 April. Bentrok antara massa PKB dan massa PPP di Desa Dongos, Kecamatan Kedung, 16 kilometer selatan Jepara, itu mengakibatkan tiga warga PKB dan seorang pendukung PPP tewas. Sebelumnya, 25 April, di Surabaya, sesama warga Nadhlatul Ulama yang tergabung dalam PKB dan Partai Nahdlatul Ummat saling tegang dan adu jotos.

Awal April lalu, rombongan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung dihadang massa ber-atribut Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan di Purbalingga, Jawa Tengah. Mobil Mitsubishi Pajero yang ditumpangi Akbar terkena lemparan batu, lampu depan pecah dan bodinya penyok. Waktu itu muncul cerita bahwa massa penyerbu juga melakukan pelecehan seksual dan memaksa sejumlah perempuan melepaskan kaus Partai Golkar yang dikenakan mereka.

Menyadari kemungkinan persiapan pemilu menjadi ajang tawuran nasional, parpol pun ramai-ramai menyiapkan resep untuk mencegah tawuran massal antar pendukung. Resep lama yang dipakai tentu saja dengan menyiapkan satuan tugas (satgas) pengamanan sendiri. Maklum saja, hampir mustahil mengandalkan aparat keamanan resmi karena jumlahnya yang terbatas.

Kini, hampir setiap parpol, terutama parpol yang tergolong besar, mempunyai satgas sendiri. Namanya pun bermacam-macam. PDI Perjuangan menamainya Satgas PDI Perjuangan, Golkar punya satgas yang berasal dari organisasi massa pemuda, seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia dan Pemuda Golkar. PPP sejak muktamar dan kembali ke lambang Kabah pada Januari lalu menyebut satgasnya Laskar Ababil. Partai Bulan Bintang malah menghidupkan nama Brigade Hisbullah, yang dulu tenar pada masa-masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Adapun Partai Amanat Nasional (PAN) memunculkan nama Barisan Simpatik (Sistem Pengamanan Teknis dan Kegiatan) PAN.

Gairah untuk bergabung dengan satgas parpol pun tampak jelas, seperti tercermin dari pengamatan D&R di di Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Di Solo misalnya, polisi kesulitan memenuhi target menyiapkan 1.500 personel keamanan rakyat. Yang terekrut baru 750 orang. Tapi, PDI Perjuangan Cabang Solo sedikitnya justru memiliki 2.600 personel satgas terlatih, yang dinamakan pasukan khusus desa dan pasukan khusus penertiban.

* Militeristis

Pada Orde Soeharto, satgas terang warna militeristisnya. Seragam loreng mereka mengingatkan orang ke seragam aparat keamanan resmi. Tapi, kini, citra militeristis itu mulai ditanggalkan. Dalam Kongres PDI Perjuangan di Bali tahun lalu, Satgas PDI Perjuangan Bali mendapat simpati ketika mereka tampil dengan pakaian adat setempat. Seragam pecalang yang muncul saat itu-diambil dari istilah keamanan desa adat tampaknya kini akan diteruskan. Memang, seragam Sagas PDI Perjuangan yang berwarna merah-hitam masih mudah ditemui di mana-mana. Satgas PPP juga begitu. Pakaian loreng-loreng hijau-hitam kerap mudah ditemui setiap kali ada cabang atau pengurus wilayah PPP menggelar acara. "Ini kan tentara partai," kata salah seorang komandan satgas salah satu partai mengomentari soal seragam itu. Ada benarnya juga.

Memang, banyak satgas parpol yang dibekali pengetahuan dasar militer. Di Jakarta misalnya, satgas parpol tingkat I se-DKI Jakarta menjalani latihan pengamanan kampanye dan pemilu yang diselenggarakan Kepolisian Daerah Metro Jaya di Sekolah Polisi Negara Lido, Sukabumi, Jawa Barat. Sejak 13 April, 208 satgas dari berbagai parpol dilatih instruktur dari kepolisian untuk mengamankan arak-arakan massal, melakukan negosiasi dengan massa, mendeteksi penyusup, menjaga saksi maupun barang bukti perkara, serta melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Pelatihan semi-militer memang merupakan standar bagi calon satgas parpol. PDI Perjuangan, misalnya, memperoleh pelatihan ini dari para purnawirawan TNI yang cukup banyak di sana. Komandan Satgas PDI Perjuangan Jawa Timur, misalnya, adalah Mayor Udara (Purn.) Soesilo Muslim. Dia merupakan Komandan Satgas PDI Perjuangan ketika terjadi peristiwa penyerbuan kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang kini dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli 1996. Soesilo mengungkapkan, PDI Perjuangan Jawa Timur mempunyai pasukan elite. Namanya Pasukan Wirapati dan personelnya hanya 15 orang. Tentu saja, mereka punya keahlian khusus, ilmu kebal, dan kemampuan melawan banyak orang sekaligus.

Parpol baru yang terkesan menjauhi citra militeristis adalah PAN. Barisan Simpatik PAN yang berkekuatan sekitar 30.000 cukup berseragam biro muda dengan celana biru tua. Sepatu yang dipakai memang masih sepatu lars. Tapi, itu pun supaya kaki mereka tidak diinjak di tengah kerumunan orang banyak.

Barangkali ada baiknya juga meniru sikap Barisan Simpatik PAN. Barisan Simpatik PAN Yogyakarat, misalnya, punya prinsip "empat ng-". Prinsip itu akan diberlakukan kalau misalnya di lapangan ada halangan atau benturan kekerasan dengan pendukung parpol lain. "Empat ng-" itu adalah ngalah (mengalah), ngalih (menyingkir), nglawan (melawan), dan ngamuk (mengamuk).

* Forum Komunikasi

"Dua yang terakhir itu dilakukan jika keadaan memang sudah memaksa. Sudah mengalah dan menyingkir, kok, masih dikejar-kejar?" kata Arif Nur Hartanto, Kepala Sekretariat Dewan Pimpinan Wilayah PAN Yogya. Tapi, prinsip itu tentu memerlukan pengorbanan. Arif mengungkapkan, sudah beberapakali Barisan Simpatik PAN diserang kelompok lain. Jatuh korban di pihak mereka, ya, karena prinsip mengalah itu tadi.

Pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Aribowo seperti dikutip Kompas menyatakan, salah satu pemicu merebaknya bentrokan antar partai adalah karena adanya radikalisasi internal partai. Apalagi, radikalisasi ini didukung adanya mistikisme. Ia mencontohkan, kini ada partai yang membekali warganya dengan ilmu kebal. Barangkali, tanpa disadari, pembekalan demikian dapat mendorong agresivitas.

Pendapat ini sesuai dengan pengalaman beberapa satgas parpol yang kini memilih bergabung dalam Barisan Simpatik PAN. Menurut pengalaman mereka, jika pengisian ilmu tenaga dalam dikoordinasi parpol, keberingasan itu tidak bisa dihilangkan.

Parpol yang membekali satgasnya dengan ilmu kekebalan misalnya PKB. PKB Cabang Solo dan Surabaya, misalnya, terang-terangan membekali satgasnya dengan ilmu kebal. Di Solo, Garda Bangsa dan Barisan Bela Bangsa PKB dilatih ilmu kedigjayaan oleh Mbah Lepo dan K.H. M. Hilal. Tapi, seperti dinyatakan Ketua PKB Cabang Solo Machsun Musyafak, ilmu itu sepantasnya hanya untuk bela diri, bukan untuk main-main.

Itu memang yang sepatutnya. Satgas parpol idealnya justru menghadirkan suasana aman, bukan jusru malah memanaskan suasana. Dan, risiko bentrok antarpendukung parpol bisa saja diminimalisasi seandainya parpol-parpol membangun forum komunikasi bersama. Termasuk yang melibatkan satgas, seperti yang sudah dimulai di beberapa kota, antara lain Jakarta dan Denpasar. Karena, mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal PKB Muhaimin Iskandar, pemilu bukan sekadar perkara menang-kalah. "Tapi, komitmen kami adalah keselamatan bangsa," ujarnya. Mudah-mudahan saja komitmen itu juga bisa diperkukuh dengan sikap satgas parpol yang simpatik dan mendinginkan suasana.

Rachmat Cahyono/Laporan Nugroho, Eko Y.A.F, Ondy A. Saputra (Jakarta), Pamungkas E.K. (Semarang), Abdul Manan (Surabaya), Prasetya (Yogyakarta), N.L. Dian P. (Denpasar), Blontank Poer, dan D. Ria Utari (Solo)

D&R Edisi Khusus Pemilu '99/Hal. 23 Rubrik Pemilu

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236