Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2006

Mandek di Tangan Mahkamah

Pemerintah bisa menerbitkan peraturan pengganti undang-undang untuk mengganti Undang-Undang Komisi Kebenaran. DPR akan merevisi kewenangan Mahkamah Konstitusi. PUTUSAN itu dengan cepat melompat dari ruang sidang Mahkamah Konstitusi ke ruang kerja Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedya Panjaitan, di kawasan Senayan, Jakarta. Kamis dua pekan lalu, beberapa saat setelah Mahkamah mengetukkan palunya, Trimedya segera mendapat berita yang membuatnya terperanjat. Mahkamah mencabut Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. ”Putusan ini menampar wajah Dewan,” ujar Trimedya. Mahkamah Konstitusi menyatakan produk DPR tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 27/2004 itu, praktis upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi lewat jalur rekonsiliasi mandek. Demikian pula nasib 42 calon anggota Komisi Kebenaran hasil seleksi DPR. Mereka otomatis ”minggir”. ”Kita harus mulai dari nol lagi,” ujar Ifdhal Kasim, Direktur Hukum Reform Institute, mengomentari ”matinya

Suara dari Cihideung

Korban kasus Talangsari tetap menuntut keadilan. Setelah Komisi Kebenaran dibatalkan, harapan mereka kini pengadilan. MEREKA berkumpul di sebuah rumah di Dukuh Cihideung, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur. Setelah berjam-jam bertukar pikiran, Rabu malam pekan lalu 43 keluarga korban ”kasus Talangsari” itu mengambil putusan. Mereka akan mendesak digelarnya pengadilan atas kasus Talangsari, peristiwa yang membuat mereka menderita. ”Kami tetap meminta adanya pengadilan,” kata Azwar, 64 tahun, salah satu korban. Talangsari adalah satu dari sekian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang potensial menjadi pekerjaan rumah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lembaga yang dibentuk atas perintah Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ini memiliki tugas pokok menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar jalur pengadilan. Menurut Sidarto Danusubroto, bekas Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran, tugas lembaga ini memang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM bera

The Endof the Queen’s Legacy

The Constitutional Court deletes three articles from the Criminal Code. The Supreme Court is yet to react. THE former Indonesian Islamic Workers Union Chairman, Eggy Sudjana, happily shook hands with his friend, Pandapotan Lubis, and his lawyers after winning his case in the Constitutional Court. The audience clapped their hands and one person shouted, “Long live the judges!” The nine judges of the court had just “frozen” several articles on insult of the President from the Criminal Code. Those articles are no longer considered compatible with the Constitution. “This is indeed a historical decision,” said Sudjana. Last July, Sudjana and Lubis proposed a judicial review on the articles on insult of the President to the Constitutional Court . Those are articles 134, 136, and 137. The two chose to focus on those articles because both had been charged with these offenses. They considered that the articles are not in the spirit of democracy. “Originally, those Dutch colonial-legacy articles

Stuck in Bureaucracy

Komnas HAM asks two universities to evaluate its performance. THE National Human Rights Commission (Komnas HAM) has found a way to put a stop to the endless criticism that has beleaguered it since its foundation, 13 years ago. The most common criticisms are those which accuse the Commission of being powerless in pursuing and exposing human rights abuse. The public has been waiting since its formation for some “real action” in the handling of human rights abuse cases. The solution, raised by Komnas HAM head Abdul Hakim Garuda Nusantara, last October, is to have an independent evaluation of the Commission. The solution was approved in a meeting. “The evaluation will be a mirror with which we, Commission members can look at ourselves,” said Abdul Hakim. The result can also serve as “homework” to improve the institution. The Human Rights Study Center at Surabaya University (Ubaya) and the Economic Development and Research Institute at Gadjah Mada University (UGM) were selected as the e

Lenyapnya Pasal Peninggalan Ratu

SENYUM mengembang lebar di wajah Eggy Sudjana. Bekas Ketua Umum Perhimpunan Pekerja Muslim Indonesia itu kemudian mengepalkan tangannya. Sejurus kemudian ia mendatangi rekannya, Pandapotan Lubis dan para penasihat hukumnya. Satu per satu disalaminya. Sejumlah pengunjung sidang bertepuk tangan gembira . ”Hidup hakim!” teriak salah seorang pengunjung.

Terperangkap Birokrasi

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menempuh jalan tengah menjawab kritik. Berdiri 13 tahun silam, Komisi ini tak pernah sepi dari kritik. Yang paling kerap muncul adalah tudingan ”kurang darah” alias loyo mengejar dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM. Padahal, sejak awal, masyarakat menunggu taring mereka ”menggigit” para pelanggar HAM .

Pemred Playboy Indonesia Diseret ke Meja Hijau

Ranesi 07-12-2006 Erwin Arnada pemimpin redaksi Playboy Indonesia akhirnya diseret ke pengadilan. Sejak awal berdirinya majalah erotis ini, keberadaannya mengundang reaksi pro dan kontra. Sampai kantornya dipindah ke Bali, gara-gara kantor di Jakarta diserang kelompok muslim radikal. Bagaimana komentar Aliansi Jurnalis Independen? Berikut rangkuman wawancara Radio Nederland dengan sekretaris jenderal Aji Abdul Manan. Abdul Manan: "Kami sangat menyayangkan pengadilan editor Playboy, karena ini menyangkut wilayah jurnalistik, mestinya belum dibawa ke pengadilan, itu harus diteliti dulu apakah editor Playboy itu melanggar kode etik atau tidak. Kami berpegang pada keputusan Dewan Pers yang sebelumnya menyatakan bahwa Playboy itu adalah produk jurnalistik, sehingga kalau ada pelanggaran harusnya diuji pertama kali dengan kode etik jurnalistik." Radio Nederland Wereldomroep [RNW]: "Tapi bukan hal yang lumrah untuk menilai Playboy sebagai karya jurnalistik, baru setelah Dewan P

Overfishing Funds

Former Minister of Maritime Affairs, Rokhmin Dahuri, is arrested on charges of embezzling non-budgetary funds. The KPK is accused of being selective. THE sun had long since set by the time Rokhmin Dahuri, 48, emerged from the offices of the Corruption Eradication Commission (KPK) on Thursday last week. He had been inside for some 10 hours answering questions from investigators. Although worn out, the former Minister of Maritime Affairs & Fisheries (2001-2004) was unable to return to his home in Bogor straight away. A silver Toyota Kijang was awaiting him. This was a KPK vehicle for transporting detainees that was to deliver Rokhmin to face a new contest at the National Police Criminal Investigation Bureau detention center. Although later admitting he was shocked, Rokhmin tried to put on a brave face and smiled to the scores of journalists who had been waiting for him in front of the building since early afternoon. “I don’t believe that I did wrong,” he said. Rokhmin is the second m

Breaking the Code

The attorney general asks journalists who have interviewed fugitive corruptors to report their interviews. ONE fugitive, Dharmono K. Lawi, does not refuse interviews. Former Speaker of the Banten Regional House of Representatives was not only interviewed by journalists, but he also appeared on a television program. Through the mass media, Lawi has voiced his protest. He felt that the legal institutions had treated him unfairly, so he decided to flee. Lawi’s appearance in front of the press annoyed Attorney General Abdul Rahman Saleh. “People now say that if journalists are able to meet the fugitive. Why can’t we?” he said. For that reason, Saleh has asked the journalists who met Lawi to give an account of their meeting to the prosecutor’s office. “They should help us,” he added. According to Saleh, these corruptors have escaped national justice. Journalists have the same civic responsibilities as the rest of the population. “It is true that journalists have a code of ethics, but they a

Terseret Dana Nonbujeter

Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri ditahan lantaran tuduhan korupsi dana nonbujeter. Komisi Pemberantasan Korupsi dianggap melakukan tebang pilih. MATAHARI sudah lama tenggelam saat Rokhmin Dahuri, 48 tahun, keluar dari salah satu ruang di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis pekan lampau. Sudah 10 jam ia ada di dalamnya, menjawab semua pertanyaan dari penyidik. Walau letih, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2001-2004 itu tak bisa segera pulang ke rumahnya di Bogor. Mobil Kijang silver sudah menunggunya. Itulah mobil tahanan KPK yang mengantar Rokhmin ke peraduan barunya di tahanan Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Polisi. Lelaki itu berusaha tegar. Meski mengaku kaget, ia melemparkan senyum di depan puluhan wartawan yang menunggunya sejak siang. ”Saya tidak merasa bersalah,” ujarnya. Rokhmin menjadi menteri kedua di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang dijerat kasus korupsi. Sebelum ini, bekas Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar ters

Karena Wartawan Bukan Intel

Jaksa Agung meminta wartawan yang mewawancarai koruptor buron melapor. Bisa mengancam kredibilitas wartawan. STATUSNYA buron, tapi tak keberatan diwawancarai wartawan. Inilah gaya pelarian Dharmono K. Lawi. Selain diwawancarai media cetak, bekas Ketua DPRD Banten yang kini anggota DPR RI itu juga muncul di layar televisi. Lewat media itulah Dharmono mengeluarkan unek-uneknya. Ia mengaku memilih kabur lantaran diperlakukan tidak adil oleh aparat hukum. Munculnya Dharmono di hadapan wartawan membuat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh gusar. ”Ada yang bilang wartawan saja bisa bertemu, masak kejaksaan nggak bisa,” katanya. Karena itu Jaksa Agung meminta wartawan yang berhasil menemui buron itu melapor ke kejaksaan. ”Sebaiknya wartawan membantu aparat penegak hukum,” katanya. Menurut Jaksa Agung, koruptor merupakan buron negara dan bukan hanya buron kejaksaan. Jadi, wartawan punya kewajiban sama. ”Memang ada soal kode etik wartawan dan hak tolak. Tapi ada kewajiban asasi warga negara,” kata Ab