Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2006

New Efforts in the Munir Case

Police form a new team of investigators in the Munir case after the Supreme Court acquits Pollycarpus. A number of members of the Fact-Finding Team doubt that the new investigators will be able to advance the case absent any serious support from the President. What new facts are needed to shed new light on Munir’s mysterious death?

From Amsterdam to Tokyo

THE 400 Series Boeing 747 has been used by almost every airline in the world. Garuda Indonesia Airlines has three. However, this plane, manufactured by Boeing Commercial Airplanes in the United States, and which was used on the Jakarta-Singapore-Amsterdam route, has the distinction of being the crime scene in the murder of human rights activist Munir.

AJI Tak Akan Bela ZA

Jakarta - Wartawan Grup Jawa Pos, ZA, ditetapkan sebagai tersangka karena ulahnya mengintip dan merekam orang sedang mandi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun enggan membela. AJI tidak keberatan polisi memproses ZA. Hal itu dianggap sah-sah saja. Alasannya, ZA dijadikan tersangka bukan karena menjalankan profesinya sebagai wartawan. Silakan polisi menangani. Ini tidak bisa dikatakan pelanggaran kode etik jurnalistik, ini di luar konteks sebagai wartawan," kata Sekjen AJI Abdul Manan ketika dihubungi detikcom di Jakarta, Sabtu (14/10/2006). Kasus yang menimpa ZA, imbuh Manan, seperti halnya wartawan tertangkap karena menggunakan shabu-shabu atau terlibat perdagangan mobil curian. Beda halnya jika seorang wartawan tertangkap ketika merekam suatu adegan dengan video untuk kepentingan publik. "Kalau merekam orang sedang mandi tidak ada kepentingan publiknya," ujar Manan. Menurut Manan, kasus ini sudah memasuki wilayah pidana dan AJI sulit membela. "Wartawan tidak bol

Upaya Baru kasus Munir

Polisi membentuk tim penyidik baru kasus Munir setelah Mahkamah Agung membebaskan Pollycarpus. Sejumlah anggota Tim Pencari Fakta meragukan kinerja para penyidik baru tanpa dukungan serius Presiden. Fakta apa saja yang harus dikejar lagi untuk menemukan titik terang dalam misteri kematian Munir?

Dari Amsterdam ke Tokyo

Boeing 747 seri 400 sudah jamak dipakai maskapai penerbangan di mana pun. Garuda Indonesia punya tiga. Tapi, pesawat bikinan Boeing Commercial Airplanes Amerika Serikat, yang pernah melayani rute Jakarta-Singapura-Amsterdam, punya keistimewaan sendiri: menjadi saksi kasus pembunuhan aktivis HAM Munir.

Maintaining Dignity

LAST September at the Constitutional Court, Eggy Sudjana spoke up boldly: “I am puzzled. This article can be interpreted in different ways by the government. Pak Effendi regularly criticizes the government on the airwaves through a popular television satire called Republik BBM but he is not charged at all, while I, who merely asked for information from the Corruption Eradication Commission (KPK), am indicted.”

Dark Clouds over the Munir Case

THE murder case of human rights activist Munir ended up obscure. Everything returns to zero. Months were spent on a probe into the ruthless murder of the 39-year-old human rights advocate by poisoning, but now the case is further engulfed in mystery. An appeal decision of the Supreme Court on Pollycarpus Budihari Priyanto, a Garuda pilot, was the cause. Polly was sentenced to 14 years in prison by a district court, which was sustained by the high court. Polly was found guilty of involvement in the premeditated murder of Munir on September 7, 2004, aboard a Garuda airliner flying the Jakarta-Singapore-Amsterdam route.

Melindungi Ratu, Juga Presiden

RUANG sidang Mahkamah Konstitusi, pertengahan September silam. Eggy Sudjana berbicara lantang: “Saya heran, pasal ini bisa diinterpretasikan sesukanya oleh penguasa. Pak Effendi, yang mengkritik melalui Republik BBM, tak dijerat pasal ini. Saya yang minta informasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi kok dicokok.”

Dalang yang Makin Kabur

KASUS pembunuhan aktivis Munir kembali gelap. Semua seakan kembali ke titik nadir. Berbulan waktu dihabiskan untuk meneliti siapa pembunuh keji yang merenggut nyawa pembela hak asasi manusia berusi 39 tahun itu dengan racun, tapi sekarang misteri makin tebal. Putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda, adalah penyebabnya. Polly divonis 14 tahun penjara oleh pengadilan negeri, kemudian putusan itu dikuatkan pengadilan tinggi. Polly dinyatakan bersalah ikut dalam pembunuhan Munir secara berencana, pada 7 September 2004, dalam pesawat Garuda rute Jakarta-Singapura-Amsterdam.

DPR: Permintaan Maaf Bukan Aib bagi Polisi

JAKARTA -- Kepolisian seharusnya melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan harusmeminta maaf kepada Aliansi Jurnalis Independen dan para wartawan. "Permohonan maaf tak akan merendahkan derajat dan tak menimbulkan aib bagi kepolisian," ujar Lukman Hakim Saifuddin, anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, di gedung MPR/DPR kemarin. Lukman mengatakan permohonan maaf itu justru menunjukkan kebesaran jiwa kepolisian. "Ini bisa menjadi bukti penghormatan kepolisian atas hukum," ujar politikus Fraksi Partai Persatuan Pembangunan itu. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perdata Aliansi Jurnalis terhadap Kepala Kepolisian RI. Majelis kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan Kepala Kepolisian RI harus meminta maaf kepada wartawan. Gugatan itu berawal dari penyerbuan sekelompok orang ke kantor majalah Tempo pada 8 Maret 2003. Upaya perundingan--setelah penyerbuan itu--dilakukan di kantor polisi Jakarta Pusat. Tapi, di kantor polisi, Pemimpin Redak

Kepala Polisi Harus Minta Maaf

JAKARTA - Mahkamah Agung mengabulkan kasasi gugatan perdata Aliansi Jurnalis Independen terhadap Kepala Kepolisian RI. "Dengan putusan ini, Kepala Kepolisian RI harus meminta maaf kepada Aliansi Jurnalis Independen dan kepada para wartawan," kata Hakim Agung Artidjo Alkostar, saat ditemui di kantornya, kemarin. Putusan itu dibacakan pada 3 Agustus lalu oleh majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Gunanto Suryono beranggotakan Artidjo dan Mansyur Kartayasa. Gugatan perdata itu diajukan Rommy Fibri, ketua Aliansi Jurnalis Jakarta. Berawal saat penyerbuan massa, pada 8 Maret 2003 silam, yang merasa dirugikan atas pemberitaan Majalah Tempo berjudul "Ada Tomy di Tenabang?" Upaya perundingan setelah penyerbuan itu dilakukan di kantor polisi Jakarta Pusat. Menurut Rommy, dalam perundingan itu Pemimpin Redaksi Bambang Harymurti mendapat ancaman dan kontak fisik. Polisi digugat karena membiarkan terjadinya ancaman itu terhadap Bambang. Sebagai pengayom dan pelindung masyara

Petani Disambar Kapal Terbang

Sejumlah petani di Magetan, Kediri, dan Nganjuk dihukum karena menjual benih tanpa label. Perusahaan produsen benih menganggap para petani menjiplak benih mereka. KEMURUNGAN menyelimuti sebuah rumah di Desa Gadungan, Kecamatan Kuncu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Sejak dua pekan lalu, Lina, 35 tahun, melewati hari-hari puasanya tanpa Burhana, suaminya. Sementara ia berbuka dan menyantap hidangan sahur di rumahnya, sang suami melakukannya di penjara. ”Saya dan suami pasrah saja,” ujar ibu dua anak itu kepada Tempo. Burhana Juwita Mochamad Alidemikian nama lengkap suaminya ituKamis dua pekan lalu divonis lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Magetan, Jawa Timur. ”Terdakwa terbukti mengedarkan benih jagung tanpa label,” ujar ketua majelis hakim Zubaidi Rahman. Zubaidi menjerat Burhana dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kasus yang membuat Burhana masuk bui itu bermula dari laporan PT Benih Inti Subur Intani, produsen benih jagung hibrida cap Kapal Terbang, ke polisi. Pabrik be

Kalau Sersan Melawan Jenderal

Lahan seluas 10 hektare yang di atasnya kini bertengger markas Brigade Mobil dipersoalkan. Lima jenderal digugat dalam kasus ini. JAUH-JAUH datang dari Lhokseumawe, Aceh Utara, Saiful Syamsuddin, 42 tahun, kini terdampar di sebuah ruko di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sudah empat purnama ia menempati sebuah kamar di rumah-toko itu dengan gratis. Seorang sahabatnya memberikan fasilitasprodeoitu setelah Saiful ditemukan terpurukkehabisan uang. Ia sedang mengurus kasusnya yang sudah sepuluh tahun tak kunjung selesai. Kasus yang diurusnya memang tak ringan. Saiful menuntut pertanggungjawaban lima jenderal polisi dan gantirugi atas lahan keluarganya seluas 10 hektare yang di atasnya kini ”tumbuh” markas Brigade Mobil (Brimob). Lima jenderal yang dikejarnya juga bukan jenderal sembarangan. Mereka: mantan­Kapolri Jenderal (Purn.) Bimantoro dan Da’i Bachtiar, Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam Inspektur Jenderal Bahrumsyah Kasman, Wakil Kapolda Aceh Brigadir Jenderal Rismawan, dan Deputi L

When a Sergeant Fights Generals

Ten hectares of land now occupied by a Mobile Brigade Headquarters is under dispute. Five generals are being sued over the case. FAR from his home in Lhokseumawe, North Aceh, former Aceh District Police Sergeant Saiful Syamsuddin, 42, has now gone to ground in the Kebon Sirih area of Central Jakarta. For the last four months he has lived in a room in a boarding house for free. A friend provided the facilities without cost after he found Saiful destitute and without money. He is currently in the process of taking care of a land dispute case that has been going on for 10 long years. The case he is dealing with is indeed a difficult one. Saiful is suing five police generals and seeking compensation for 10 hectares of his family’s land upon which now stands a Mobile Police (Brimob) headquarters. The five generals that he is pursuing are not just any old generals. They are former National Police Chiefs Gen. (ret) Suruga Bimantoro and Gen. Da’i Bachtiar, Aceh Regional Police Chief Insp. Gen.