Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 1996

Mengejar Waktu sebelum Puasa

Di tengah banyaknya misteri, sidang Insiden Situbondo dimulai. Ada 12 berkas perkara untuk 53 tersangka yang akan disidangkan dan diharapkan selesai sebelum bulan puasa. DUA bulan setelah meletusnya Insiden 10 Oktober, kasus itu sampai juga di lantai pengadilan. Senin pekan ini, 16 Desember, dalam gedung Pengadilan Negeri (PN) Situbondo, Jawa Timur, dilangsungkan sidang pertama untuk kasus kerusuhan yang menyebabkan 56 gedung di Situbondo dan sekitarnya terbakar serta lima nyawa manusia melayang itu. Namun, yang disidangkan barulah terdakwa kelas "teri" karena menyangkut mereka yang terlibat dalam pembakaran gereja di Panarukan, yang letaknya sekitar 10 kilometer dari Situbondo. "Kasus ini masuk dalam klasifikasi perkara ringan yang ancaman hukumannya kurang dari tiga bulan dan insya Allah besok selesai," ujar Widodo, Ketua Tim Hakim. Lima terdakwa yang disidangkan kali ini ada dalam satu berkas gugatan. Terdakwa lainnya yang berjumlah 48 orang--sebenarnya ada 54 te

Sidiq Meninggal Membawa Misteri

Seorang terdakwa kasus Situbondo meninggal. Dari kondisi fisiknya, diduga karena mengalami siksaan selama penyidikan, namun dibantah oleh aparat militer. Kasus itu masih dilingkupi misteri. ACHMAD SIDIQ, 26 tahun, kini tak bisa lagi membela diri. Lelaki bertubuh kecil yang dituduh sebagai penggerak Kerusuhan Situbondo pada 10 Oktober lalu itu malah belum sempat menjejakkan kaki di ruang pengadilan. Sementara berkas perkaranya masih disusun, Jumat dini hari lalu, 6 Desember, Ketua Perguruan Pencak Silat Pagar Nusa Ranting Desa Curahcotok itu meninggal dunia. Kematian Sidiq--yang bersama Musawi dan Mohammad Saleh dianggap bertanggung jawab terhadap insiden yang merusakkan 56 bangunan dan menewaskan lima jiwa itu--mengagetkan keluarga dan pengacaranya. Soalnya, sejak ditangkap oleh petugas Muspika Kapongan di rumahnya pada waktu subuh, 11 Oktober lalu, untuk beberapa lama keluarganya tak bisa menjenguknya. Baru 17 November lalu keluarganya mengetahui kondisinya setelah ia dirawat di RSU

Mutiara Hilang, Ciptaan Siapa

Gara-gara hak ciptanya diperebutkan, royalti sebuah lagu nostalgia dihentikan. Herannya, pihak penuntut belum mau ke meja hijau. BAGI Anda yang pada tahun 1970-an tergolong remaja tentu tak asing lagi dengan lagu Mutiara yang Hilang. Lagu bertema cinta itu populer melalui bibir mungil penyanyi Erni Johan. Tapi, setelah bertahun-tahun menjadi lagu nostalgia, siapa sangka lagu itu sekarang menjadi obyek rebutan hak cipta. Seorang guru SMP Pancasila di Pasuruan, Jawa Timur, Agus Muhadi, kini berusia 66 tahun, mengklaim dirinyalah pencipta sebenarnya lagu itu, pada tahun 1956. Sementara itu, musisi Yessy Wenas dan Dodo (mendiang), sebagaimana selama ini diketahui umum, berkeras menyatakan merekalah pencipta lagu itu. Perkara unik itulah yang belakangan ini membikin repot Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), yang tugas utamanya sebagai kolektor dan distributor royalti untuk pencipta lagu. "Kami masih berupaya mempertemukan kedua pihak, juga arbiter (wasit) mereka," kata Paul Huta

Militer dan Intel Mengintai di Kampus

Dengan alasan keamanan, aparat keamanan kini makin berani masuk kampus untuk membubarkan aksi demo mahasiswa. Padahal, tanggung jawab pengelolaan ada di tangan rektor. MALANG nian nasib para mahasiswa Indonesia saat ini. Di dalam kampus sendiri pun, mereka tak bisa berlaku bebas. Arena untuk debat pendapat dan melontarkan pemikiran kritis kini sulit diadakan karena hampir selalu dibubarkan. Yang membubarkan bukan rektor, sebagai pemegang kendali kampus, tapi aparat militer. Kondisi itu rupanya tak dapat diterima mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Mungkin karena merekalah yang tampaknya paling sering mengalami perlakuan aparat keamanan. Sebelum meletusnya Peristiwa 27 Juli di Jakarta, hampir setiap minggu, kampus di Bulaksumur itu dipenuhi dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang mengangkat isu lokal, nasional, maupun internasional. Tapi, sebagian besar aksi itu dibubarkan aparat keamanan yang menyerbu ke dalam kampus. Tindakan polisi antihuru-hara dan tentara tersebut m

Sugik: Sang Penjagal Jojoran

Si "Penjagal Jojoran" itu dituntut hukuman mati. Mengapa ia nekat membantai empat nyawa keluarga Sukardjo? Inilah kisah hidup sang penjagal. SADISME sedang musim di Surabaya. Setelah kasus pembunuhan sadis yang dilakukan Ny. Astini, ada satu lagi peristiwa pembunuhan yang tak kalah sadisnya. Bayangkan, si pembunuh menjagal satu keluarga (pasangan Sukardjo-Hariningsih dan dua anaknya, Eko Hari Sucahyo dan Danang Priyo Utomo) satu per satu, hanya dalam waktu setengah hari. Dan, itu dilakukan Sugianto, sang penjagal, hanya karena ingin mencuri sebuah sepeda motor. "Ketika itu, saya sedang kalap," kata Sugianto. Kekalapan Sugik, begitu remaja berusia 19 tahun itu biasa dipanggil, bermula dari hilangnya becak sewaan yang biasa dipakainya mencari nafkah setiap hari. Oleh majikannya, ia diwajibkan membayar ganti rugi kehilangan becak itu sebesar Rp 200 ribu, yang harus dipenuhinya dalam waktu satu minggu. "Mau pinjam orang tua atau teman enggak mungkin. Akhirnya, saya

Kebutaan Membawa Sengsara

Ia dikira tukang santet. Rumah para sanaknya pun dibakar massa. Kakek tua yang buta itupun terpaksa mengasingkan diri ke kantor polisi. KEBUTAAN sama dengan kutukan. Paling tidak, itu adalah cobaan hidup yang dialami Nawawi--penduduk Desa Mlaten, Kecamatan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ia mungkin sudah mahfum betapa sengsaranya tidak dikaruniai penglihatan normal. Tapi, siapa yang menyangka bahwa kebutaan itu justru yang bakal menyebabkan ia harus mengungsi entah sampai kapan. Padahal, ruang tunggu tahanan Mapolres Pasuruan itu sudah dihuninya satu bulan lebih. Tanda-tanda kebutaannya sebetulnya telah dirasanya sejak berusia tujuh tahun. Tak jelas apa penyebabnya, ia merasakan penglihatannya mulai kabur. Setahun berikutnya, dunia begitu gelap baginya. Tapi, Nawawi tetap tak ingin menyusahkan orang lain. Ia terus bekerja sampai berusia 72 tahun kini. Setiap hari, Nawawi sebisanya ikut mengurusi bebek, sapi, dan kuda milik anak-anaknya. Bagi Nawawi, kebutaannya itu tidak m