Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 1997

Antara Dita, PRD, dan Mega

SEHARI setelah Iko membacakan pledoinya, dua rekannya divonis di Surabaya. Dita Indah Sari akhirnya dihukum enam tahun dan Coen Husein Pontoh dihukum empat tahun. Masing-masing dua tahun lebih ringan daripada tuntutan. Menurut hakim, Dita yang Ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan Pontoh yang Ketua Serikat Tani Nasional telah memutarbalikkan fakta dan merongrong ideologi Pancasila dan haluan negara (Pasal 1 UU No.11/PNPS/1963 atau biasa dikenal dengan UU Antisubversi). Pentolan dua organisasi di bawah payung PRD itu langsung banding. Jaksa Septinus Aritonang tampak santai. "Saya cukup puas. Biarpun di bawah tuntutan, kan masih tiga perempatnya," katanya. "Dosa" keduanya adalah menggalang demonstrasi empat ribu buruh di Surabaya. Mereka ditangkap pada Maret 1996, sekitar lima bulan sebelum PRD didirikan, 22 Juli. Tapi, setelah PRD digebuk karena dianggap bertanggung jawab dalam Kerusuhan 27 Juli, dalam persidangan, kegiatan Dita dan Pontoh dikaitkan dengan selur

Dari Tukang Bangunan Jadi Tukang Jagal

Dengan sebuah palu, seorang tukang mencabut tiga nyawa serta membuat sekarat dua orang lainnya. Ia berniat merampok karena dililit utang. TIBA-TIBA saja sebuah kediaman di Darmo Indah Asri, Surabaya, menjadi rumah jagal. Satu demi satu manusia di sana tumbang terhantam palu. Tak perduli orok atau nenek-nenek. Seorang tamu tak diundang memangsa siapa saja yang ia temukan di sana. Hasilnya: tiga nyawa melayang dan dua lagi nyaris hilang. Aris seperti pantang melihat manusia lain. Pada 7 April 1997, nyonya rumah, Fransiska, yang baru selesai menelepon, dihajarnya dari belakang. Istri Kepala Bank Central Asia (BCA) Rungkut itu langsung terjerembab. Melihat ibunya ambruk, Indriani Wono yang sedang bermain di lantai menangis. Tanpa ampun, Aris menghajar anak berusia empat tahun itu dengan martil yang sama. Si bocah juga terempas. Aris melihat ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba, dari dalam rumah muncul Yesy, anak Lie Tjen, tetangga Fransiska. Entah mengapa, Aris juga menganggap balita itu sebag

Nyawa Seharga Secarik KTP

Empat pemuda dihajar habis-habisan oleh dua polisi hanya karena tak membawa KTP. Mereka juga disuruh makan kecoak. Satu di antaranya lalu meninggal. JANGAN pernah lupa membawa kartu tanda penduduk (KTP) kemanapun Anda pergi. Pada musim operasi KTP seperti sekarang, jika tak bisa memperlihatkan kartu identitas tersebut dan kebetulan sedang apes, Anda bisa bernasib seperti Teguh Soenarto: tewas dianiaya petugas. Harga KTP mahal betul bagi tiga sekawan--Teguh, Itek dan Agus Harianto--terutama buat Teguh alias Atok. Bagi lelaki yang sedianya akan mengawini seorang gadis asal Surabaya itu, harga KTP setara dengan nyawanya sendiri. Teguh Soenarto, 24 tahun, penduduk Petemon Sidomulyo IV/55, Surabaya, akhirnya menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soetomo, Surabaya, Sabtu, 27 Maret. Kepergian lelaki yang sekujur badannya luka itu diiringi derai air mata serta keberangan keluarganya. "Saya tidak bisa terima kematian anak saya," kata Sudjiman, 50 tahun, ay