Keputusan Revolusioner dari Senayan

ENGGI Holt tak bisa menutupi suka cita mendengar kabar dari Senayan. Apalagi kalau bukan soal diterimanya prinsip kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak hasil perkawinan campur warga negara Indonesia (WNI) dan asing. Itulah salah satu keputusan rapat panitia khusus RUU Kewarganegaraan. ”RUU ini suatu terobosan luar bisa bagi pemerintah dan anggota panitia khusus mengakomodasi kepen-ting-an perempuan WNI,” k-ata Ketua Keluarga Perkawinan Campur Melati ini, Senin pekan lalu.

Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan Slamet Efendy Yusuf, seusai rapat 2 Februari lalu, mengatakan, Pansus sepakat mencantumkan aturan kewarganegaraan ganda terbatas dalam RUU Kewarganegaraan untuk menghapus diskriminasi atas mereka selama ini. ”Ini keputusan revolusioner,” kata politisi Partai Golkar itu.

Dengan diterimanya prinsip ini, maka sang anak hasil perkawinan campur bisa memiliki dua kewarganegaraan, dari sisi ibu dan bapaknya, sampai akhirnya memutuskan satu kewarganegaraan. Kini yang masih dibahas DPR adalah batasan umur kapan seseorang memutuskan satu kewarganegaraan. KPC Me-lati mengusulkan 21 tahun.

Selama ini, sesuai dengan UU No. 62/1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, setiap anak hasil perkawinan perempuan Indonesia dan pria asing otomatis menjadi orang asing karena asas ius sanguinis yang patriarkis. Sementara itu, perempuan yang menikah dengan orang asing kehilangan haknya sebagai WNI. Misalnya, tak boleh memiliki hak milik di Indonesia karena terbentur UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, kecuali ada perjanjian pranikah yang mengatur harta masing-ma-sing. Termasuk juga soal suaminya yang diperlakukan sama dengan turis atau cuma orang asing yang bekerja.
Ada tiga RUU yang berhubungan dengan kependudukan yang ki-ni dibahas di DPR: RUU Kewarganegaraan, RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta RUU Administrasi Kependudukan. RUU yang disebut terakhir ini di antaranya mengatur nomor identitas tunggal bagi setiap warga negara. Dengan identitas itu, keturunan Tionghoa, misalnya, tidak membutuhkan la-gi Surat Bukti Kewar-ganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), bahkan akta kelahiran. Adapun RUU Kewargane-garaan, yang terdiri dari 36 pasal itu, ditargetkan selesai awal Maret ini.
Abdul Manan, Wahyu Dhyatmika
Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXIV/20 - 26 Februari 2006

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO