Memberangus Media Porno

RUU Antipornografi dan Pornoaksi juga membidik media-media ”lher”. Tapi, tanpa Undang-Undang Antipornografi pun media semacam ini sebenarnya bisa diberangus. ”Masalah pornografi dan pornoaksi sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak,” kata anggota De-wan Pers bidang pengaduan masyarakat, Leo Batubara.
Setidaknya ada lima pasal dalam KUHP yang membe-ri-kan sanksi pidana penjara dan denda bagi media yang me-muat tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan. Pasal 533, misalnya, menyediakan hukuman maksimum dua bulan penjara dan denda Rp 3.000 bagi media yang memuat tulisan yang judul dan gambarnya bisa membangkitkan berahi.
Memang, sanksi yang disediakan tak sebesar RUU Anti-pornografi dan Pornoaksi, yang saat ini dibahas DPR. Dalam RUU ini ancaman hukuman yang disediakan untuk media semacam itu lumayan cukup berat: pidana penjara minimum 1 tahun, maksimum 12 tahun, dan denda hingga Rp 2 miliar.

Pornografi di media massa memang bukan barang baru. Pada 2001, Dewan Pers sudah memberikan pernyataan, pornografi dan kecabulan tidak masuk dalam kategori pers. Sebab, pers menyebarkan informasi yang berkaitan dengan wilayah kepentingan publik. Sedangkan pornografi dan kecabulan terkait dengan wilayah personal.

Dewan Pers mengamati, sebagian media yang mengeksploitasi pornografi dan kecabulan adalah tabloid dan majalah liar, tak jelas alamat dan penanggungjawabnya. Dalam pernyataan Dewan Pers tertanggal 11 Oktober 2001 ter-sebut, Ketua Dewan Pers saat itu, Atmakusumah, mengatakan tugas kepolisian untuk menegakkan hukum atas penerbitan semacam ini.
Pemimpin Redaksi Tabloid Wild Girls, tabloid yang kovernya kerap bergambar wanita berpakaian minim, Ratna Yu-nita, mengakui menu pornografi yang ada di medianya ka-rena pertimbangan bisnis semata. Namun, dia tak mau di-sebut tabloidnya adalah media porno. Alasannya, definisi porno ini juga tak jelas. ”Banyak yang lebih vulgar dan itu tak hanya di media cetak, juga di media elektronik dan di Internet,” katanya.
Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal mengatakan, media semacam ini memang mengutamakan pornografi, bukan berita. Karena itu, Ichlasul berpendapat, penindakannya harusnya dilakukan polisi. ”Kita memang sudah punya kesepakatan dengan kepolisian mengenai hal ini,” kata Ichlasul.
Jika KUHP dan aturan yang lain yang ada tidak mempan membendung media semacam itu, mungkin kelak kalau disetujui pemberangusannya lewat Undang-Undang Anti-pornografi itu. ”Media-media semacam itu jelas sangat merusak moral dan kami berharap, dengan adanya UU Antipornografi, media seperti itu tidak ada lagi,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Antipornografi dan Pornoaksi, H. Syafriansyah. Tapi, haruskah membunuh ”seekor nyamuk” memakai ”bom” yang membuat dunia pariwisata dan kreativitas seni budaya ikut hancur-lebur?
Manan, Nuraini, Olivia
Majalah Tempo, Edisi. 50/XXXIV/06 - 12 Februari 2006

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO