Prakarsa New York, Komitmen Jakarta
PRAKARSA Pengembalian Aset Curian (Stolen Asset Recovery Initiative) adalah berita hangat media di Indonesia pekan lalu. Dirintis oleh Bank Dunia bersama Kantor PBB untuk Urusan Obat Terlarang dan Kejahatan, gagasan ini diluncurkan pada 17 September lalu di markas PBB di New York. Tujuannya membantu negara berkembang memulangkan aset yang dicuri para pemimpinnya yang korup dan mencegah secara internasional pelarian uang hasil kejahatan.
Pesan dari prakarsa ini jelas. ”Tidak boleh ada surga yang aman bagi mereka yang mencuri dari masyarakat miskin. Juga memperingatkan para pemimpin korup bahwa mereka tidak akan lepas dari hukum,” kata Presiden Bank Dunia, Robert B. Zoellick. Direktur Eksekutif Kantor PBB untuk Urusan Obat Terlarang Antonio Maria Costa menambahkan, ”Mulai saat ini, para pencuri akan semakin sulit mencuri uang masyarakat.”
Bukan tanpa sebab prakarsa ini dilahirkan. Menurut Kepala Penasihat Tata Kelola Bank Dunia di Jakarta, Joel Hellman, prakarsa ini adalah upaya lanjutan setelah ada Konvensi PBB tentang Antikorupsi 2003. Konvensi yang berisi deklarasi perang terhadap korupsi ini ditandatangani 140 negara, 98 di antaranya telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 19 September 2006 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Uang yang berseliweran antarnegara dari hasil kejahatan, korupsi, dan penghindaran pajak diperkirakan US$ 1 triliun (Rp 9.000 triliun) hingga US$ 1,6 triliun (Rp 14.400 triliun) setiap tahun. Prakarsa ini juga terinspirasi oleh keberhasilan Filipina, Nigeria, dan Peru menarik pulang kekayaan yang dibawa kabur bekas pemimpinnya ke luar negeri.
Filipina, setelah 18 tahun, berhasil menarik uang bekas presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp 5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos dan disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar Rp 4,5 triliun) di Swiss dari bekas presiden Jenderal Sani Abacha.
Kisah sukses dalam laporan itu memang tak lantas membuat prakarsa ini menjadi obat tokcer di semua negara, termasuk Indonesia. Program ini mensyaratkan adanya kemauan negara yang bersangkutan. ”Kami meluncurkan inisiatif ini untuk melihat apakah ada negara yang berminat bekerja sama dengan PBB dan Bank Dunia untuk mengembalikan aset negara yang dicuri koruptor,” kata Hellman.
Jika pemerintah mau menarik uang hasil korupsi, kata Hellman, Indonesia perlu mengajukan permintaan. Berdasarkan permintaan itulah, prakarsa ini akan mengirim tim untuk bertemu wakil dari Indonesia guna mengetahui apa saja persiapan yang dimiliki Indonesia dan keahlian apa yang sudah dimiliki untuk memburu harta tak halal itu.
Nanti kedua wakil juga akan membahas pola yang cocok untuk melacak aset, termasuk merumuskan kerja sama hukum yang dibutuhkan. Prakarsa juga akan merancang pelatihan yang spesifik. Dengan kata lain, Prakarsa bukan pemburu harta pemimpin korup.
Hellman memastikan bahwa prakarsa yang diusung lembaganya dan badan dunia itu tidak bisa menjalankan fungsi investigator apalagi penuntut. ”Pada akhirnya,” kata Hellman, ”Indonesia sendiri yang dapat mengambil aset curian itu kembali dari negara lain seperti Singapura atau Swiss.”
Abdul Manan, Hermien Y. Kleden, Budi Riza
Majalah Tempo, Edisi. 31/XXXVI/24 - 30 September 2007
Laporan Utama
Pesan dari prakarsa ini jelas. ”Tidak boleh ada surga yang aman bagi mereka yang mencuri dari masyarakat miskin. Juga memperingatkan para pemimpin korup bahwa mereka tidak akan lepas dari hukum,” kata Presiden Bank Dunia, Robert B. Zoellick. Direktur Eksekutif Kantor PBB untuk Urusan Obat Terlarang Antonio Maria Costa menambahkan, ”Mulai saat ini, para pencuri akan semakin sulit mencuri uang masyarakat.”
Bukan tanpa sebab prakarsa ini dilahirkan. Menurut Kepala Penasihat Tata Kelola Bank Dunia di Jakarta, Joel Hellman, prakarsa ini adalah upaya lanjutan setelah ada Konvensi PBB tentang Antikorupsi 2003. Konvensi yang berisi deklarasi perang terhadap korupsi ini ditandatangani 140 negara, 98 di antaranya telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada 19 September 2006 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Uang yang berseliweran antarnegara dari hasil kejahatan, korupsi, dan penghindaran pajak diperkirakan US$ 1 triliun (Rp 9.000 triliun) hingga US$ 1,6 triliun (Rp 14.400 triliun) setiap tahun. Prakarsa ini juga terinspirasi oleh keberhasilan Filipina, Nigeria, dan Peru menarik pulang kekayaan yang dibawa kabur bekas pemimpinnya ke luar negeri.
Filipina, setelah 18 tahun, berhasil menarik uang bekas presiden Ferdinand Marcos US$ 624 juta (sekitar Rp 5,6 triliun) dari rekening bank Swiss. Peru berhasil menemukan kembali uang lebih dari US$ 180 juta (sekitar Rp 1,62 triliun) yang dicuri bekas Kepala Intelijen Polisi Vladimiro Montesinos dan disimpan di Swiss, Kepulauan Cayman, dan Amerika Serikat. Nigeria berhasil menemukan kembali aset US$ 505 juta (sekitar Rp 4,5 triliun) di Swiss dari bekas presiden Jenderal Sani Abacha.
Kisah sukses dalam laporan itu memang tak lantas membuat prakarsa ini menjadi obat tokcer di semua negara, termasuk Indonesia. Program ini mensyaratkan adanya kemauan negara yang bersangkutan. ”Kami meluncurkan inisiatif ini untuk melihat apakah ada negara yang berminat bekerja sama dengan PBB dan Bank Dunia untuk mengembalikan aset negara yang dicuri koruptor,” kata Hellman.
Jika pemerintah mau menarik uang hasil korupsi, kata Hellman, Indonesia perlu mengajukan permintaan. Berdasarkan permintaan itulah, prakarsa ini akan mengirim tim untuk bertemu wakil dari Indonesia guna mengetahui apa saja persiapan yang dimiliki Indonesia dan keahlian apa yang sudah dimiliki untuk memburu harta tak halal itu.
Nanti kedua wakil juga akan membahas pola yang cocok untuk melacak aset, termasuk merumuskan kerja sama hukum yang dibutuhkan. Prakarsa juga akan merancang pelatihan yang spesifik. Dengan kata lain, Prakarsa bukan pemburu harta pemimpin korup.
Hellman memastikan bahwa prakarsa yang diusung lembaganya dan badan dunia itu tidak bisa menjalankan fungsi investigator apalagi penuntut. ”Pada akhirnya,” kata Hellman, ”Indonesia sendiri yang dapat mengambil aset curian itu kembali dari negara lain seperti Singapura atau Swiss.”
Abdul Manan, Hermien Y. Kleden, Budi Riza
Majalah Tempo, Edisi. 31/XXXVI/24 - 30 September 2007
Laporan Utama
Comments