Vonis Janggal untuk Vincent
Vincentius Amin Sutanto dihukum penjara 11 tahun. Mengapa hakim mengenakan pasal kejahatan pencucian uang?
WAJAH Vincentius Amin Sutanto tampak tenang saat hakim mengetukkan palu menjatuhkan vonis terhadap dirinya. Pria 44 tahun yang duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu, sejenak, hanya menarik napas panjang. Padahal, Kamis pekan lalu itu, vonis yang ditimpakan hakim terbilang berat. Ia dihukum 11 tahun penjara karena, menurut hakim, terbukti melakukan kejahatan pencucian uang dan pemalsuan surat.
Vincentius, yang akrab dipanggil Vincent, tampaknya sudah menduga ujung akhir sidangnya akan begini. Tak aneh jika ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Seusai pembacaan vonis, ia mendekati Petrus Balla Pattyona, kuasa hukumnya: ”Pak, seperti yang Bapak sampaikan, pengadilan ini tak lebih hanya skenario untuk menghukum saya. Ini suatu cara untuk membungkam saya.”
Vincent diadili karena melakukan pembobolan uang milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto. Vincent bersama dua kawannya, Hendry Susilo, 48 tahun, dan Agustinus Ferry Sutanto, 32 tahun, membuat dua perusahaan untuk menampung dana US$ 3,1 juta dari Asian Agri.
Modusnya, kata hakim, Vincent memalsukan tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil dan meminta Fortis Bank mengirimkan uang senilai Rp 28 miliar ke rekening dua perusahaan yang telah dibuatnya. Pada 16 November, Hendry menarik Rp 200 juta. Hendry sempat berencana mencairkan jumlah yang sama, tapi urung karena Vincent mengatakan uang itu bermasalah. Vincent pun kabur ke Singapura.
Vincent sempat meminta pengampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Pria kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, ini pun memilih pulang dan mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi soal dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri. Kasus dugaan penggelapan pajak tersebut sedang ditangani Direktur Jenderal Pajak. Setelah itu, ia pun menyerahkan diri ke polisi.
Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Sutarto menyatakan Vincent terbukti melakukan pencucian uang dan memalsukan tanda tangan dua petinggi PT Asian Agri. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Petrus langsung mengajukan permohonan banding. Dia menilai putusan ini tidak tepat karena kliennya dijerat dengan pasal-pasal pencucian uang. ”Padahal dalam sidang tak pernah bisa dibuktikan bahwa uang itu hasil kejahatan,” kata Petrus. Kalaupun kliennya dijerat, mestinya soal pemalsuan tanda tangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pemalsuan tanda tangan ini diancam dengan penjara maksimal enam tahun.
Hakim Sutarto tak sependapat dengan argumentasi Petrus. Yang pasti, kata dia, Vincent terbukti melakukan pencucian uang, melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang, karena berupaya menghilangkan jejak hasil kejahatan dengan membuat perusahaan fiktif. Saat ditanyai soal dasar hukum penggunaan pasal itu, dia mengaku lupa. Ia mengakui kasus pencucian uang tergolong hal baru. ”Nanti kita lihat saat banding,” katanya.
Pendapat lain muncul dari pakar hukum Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih. Menurut dosen yang mendalami masalah kejahatan pencucian uang ini, dalam kasus pencucian uang, yang seharusnya lebih dulu dibuktikan adalah asal duitnya: benar hasil kejahatan atau tidak. ”Dalam kasus seperti Vincent, idealnya asal uang yang dia transfer itu harus dibuktikan terlebih dahulu apakah benar hasil kejahatan atau tidak,” katanya.
Menurut Yenti, memang bisa saja orang yang menerima uang diadili lebih dulu sebelum kasus dugaan penggelapan pajaknya. Hanya, di sini ada syaratnya. ”Harus ada indikasi kuat uang yang diambil itu memang hasil kejahatan,” kata peraih gelar doktor pertama di Indonesia dalam bidang pencucian uang yang juga penulis buku Kriminalisasi Pencucian Uang ini.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki menilai vonis terhadap Vincent ini luar biasa aneh. ”Kenapa kasus dugaan penggelapan pajak yang dilaporkannya tak diadili lebih dulu?” kata Teten. Ia juga menyitir sekitar 400 laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan kepada polisi, tapi tak ada yang diproses secepat kasus ini. ”Mestinya dia dijadikan whistleblower (peniup peluit) dalam kasus penggelapan pajak,” katanya. ”Ini vonis istimewa.”
Abdul Manan, Arif Kuswardono, Wahyu Dyatmika
Majalah Tempo, Edisi. 25/XXXIIIIII/13 - 19 Agustus 2007
WAJAH Vincentius Amin Sutanto tampak tenang saat hakim mengetukkan palu menjatuhkan vonis terhadap dirinya. Pria 44 tahun yang duduk di kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu, sejenak, hanya menarik napas panjang. Padahal, Kamis pekan lalu itu, vonis yang ditimpakan hakim terbilang berat. Ia dihukum 11 tahun penjara karena, menurut hakim, terbukti melakukan kejahatan pencucian uang dan pemalsuan surat.
Vincentius, yang akrab dipanggil Vincent, tampaknya sudah menduga ujung akhir sidangnya akan begini. Tak aneh jika ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Seusai pembacaan vonis, ia mendekati Petrus Balla Pattyona, kuasa hukumnya: ”Pak, seperti yang Bapak sampaikan, pengadilan ini tak lebih hanya skenario untuk menghukum saya. Ini suatu cara untuk membungkam saya.”
Vincent diadili karena melakukan pembobolan uang milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd. di Singapura, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group milik taipan Sukanto Tanoto. Vincent bersama dua kawannya, Hendry Susilo, 48 tahun, dan Agustinus Ferry Sutanto, 32 tahun, membuat dua perusahaan untuk menampung dana US$ 3,1 juta dari Asian Agri.
Modusnya, kata hakim, Vincent memalsukan tanda tangan petinggi PT Asian Agri Oil dan meminta Fortis Bank mengirimkan uang senilai Rp 28 miliar ke rekening dua perusahaan yang telah dibuatnya. Pada 16 November, Hendry menarik Rp 200 juta. Hendry sempat berencana mencairkan jumlah yang sama, tapi urung karena Vincent mengatakan uang itu bermasalah. Vincent pun kabur ke Singapura.
Vincent sempat meminta pengampunan kepada Sukanto, tapi gagal. Pria kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, ini pun memilih pulang dan mengadu ke Komisi Pemberantasan Korupsi soal dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri. Kasus dugaan penggelapan pajak tersebut sedang ditangani Direktur Jenderal Pajak. Setelah itu, ia pun menyerahkan diri ke polisi.
Dalam putusannya, majelis hakim yang diketuai Sutarto menyatakan Vincent terbukti melakukan pencucian uang dan memalsukan tanda tangan dua petinggi PT Asian Agri. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa.
Petrus langsung mengajukan permohonan banding. Dia menilai putusan ini tidak tepat karena kliennya dijerat dengan pasal-pasal pencucian uang. ”Padahal dalam sidang tak pernah bisa dibuktikan bahwa uang itu hasil kejahatan,” kata Petrus. Kalaupun kliennya dijerat, mestinya soal pemalsuan tanda tangan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pemalsuan tanda tangan ini diancam dengan penjara maksimal enam tahun.
Hakim Sutarto tak sependapat dengan argumentasi Petrus. Yang pasti, kata dia, Vincent terbukti melakukan pencucian uang, melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang, karena berupaya menghilangkan jejak hasil kejahatan dengan membuat perusahaan fiktif. Saat ditanyai soal dasar hukum penggunaan pasal itu, dia mengaku lupa. Ia mengakui kasus pencucian uang tergolong hal baru. ”Nanti kita lihat saat banding,” katanya.
Pendapat lain muncul dari pakar hukum Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih. Menurut dosen yang mendalami masalah kejahatan pencucian uang ini, dalam kasus pencucian uang, yang seharusnya lebih dulu dibuktikan adalah asal duitnya: benar hasil kejahatan atau tidak. ”Dalam kasus seperti Vincent, idealnya asal uang yang dia transfer itu harus dibuktikan terlebih dahulu apakah benar hasil kejahatan atau tidak,” katanya.
Menurut Yenti, memang bisa saja orang yang menerima uang diadili lebih dulu sebelum kasus dugaan penggelapan pajaknya. Hanya, di sini ada syaratnya. ”Harus ada indikasi kuat uang yang diambil itu memang hasil kejahatan,” kata peraih gelar doktor pertama di Indonesia dalam bidang pencucian uang yang juga penulis buku Kriminalisasi Pencucian Uang ini.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki menilai vonis terhadap Vincent ini luar biasa aneh. ”Kenapa kasus dugaan penggelapan pajak yang dilaporkannya tak diadili lebih dulu?” kata Teten. Ia juga menyitir sekitar 400 laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan kepada polisi, tapi tak ada yang diproses secepat kasus ini. ”Mestinya dia dijadikan whistleblower (peniup peluit) dalam kasus penggelapan pajak,” katanya. ”Ini vonis istimewa.”
Abdul Manan, Arif Kuswardono, Wahyu Dyatmika
Majalah Tempo, Edisi. 25/XXXIIIIII/13 - 19 Agustus 2007
Comments