Skip to main content

Dua Poster Protes Wham

TAK ada tanda-tanda Jolovan Wham akan mengakhiri aktivitasnya menuntut apa yang ia sebut sebagai hak. Pria kelahiran Singapura, 37 tahun lalu, ini mengaku tak akan mundur dari apa yang dilakukannya meski kini diseret ke meja hijau. "Saya akan terus menggunakan hak saya untuk bebas berbicara dan berkumpul," kata Wham kepada Tempo, Kamis pekan lalu.


Wham ditangkap polisi pada 29 November 2017, lalu diadili karena menggelar tiga pertemuan dan demonstrasi tanpa izin, memasang poster protes di kereta, serta tiga kali menolak menandatangani surat peringatan dari polisi. Dia sempat ditangkap sebentar oleh otoritas keamanan Singapura, tapi akhirnya dibebaskan dengan uang jaminan. Sidang pendahuluan Wham dijadwalkan Rabu pekan ini.

Sikap membangkang Wham ini mengingatkan pada sepak terjang Chee Soon Juan, pemimpin oposisi Singapura yang kini Sekretaris Jenderal Partai Demokratik Singapura (SDP). Chee pernah diadili dan dipenjara antara lain karena menggelar demonstrasi tanpa izin dan mengkritik partai pemerintah, People’s Action Party (PAP), pada 1990-an. Soal sepak terjang Wham ini, South China Morning Post menulis berita dengan judul "New Chee Soon Juan? Singapore Activist Jolovan Wham Defiant After Court Charges".

WHAM lahir dan besar di Singapura, negara kota seluas 719 kilometer persegi dengan populasi 5,6 juta jiwa. Fortune menobatkan Singapura sebagai negara terkaya ketiga di dunia dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar US$ 90.530 pada 2017. Wham menempuh pendidikan tinggi di National University of Singapore dengan bidang studi kerja sosial. "Saya tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan di universitas. Saya memulai perjalanan saya dalam aktivisme melalui hak-hak pekerja migran," ujarnya.

Ia aktif di lembaga swadaya masyarakat yang menangani pekerja migran, Humanitarian Organisation for Migration Economics (Home), yang didirikan Bridget Tan pada September 2004. Wham menjadi direktur eksekutifnya sejak organisasi ini berdiri. Home menyediakan bantuan medis, hukum, dan keuangan, serta pelatihan keterampilan kerja bagi pekerja migran yang hak ekonominya tidak dipenuhi atau dianiaya oleh majikan mereka atau oleh agen yang merekrutnya.

Saat terjadi kerusuhan yang melibatkan buruh migran di kawasan Little India, 8 Desember 2013, Wham mengatakan hal tersebut bukan semata-mata insiden seperti disampaikan pemerintah. Kerusuhan itu dipicu tabrakan fatal lalu lintas. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyebutnya sebagai "insiden terisolasi yang timbul dari tindakan melanggar hukum dari sekelompok orang yang tidak dapat diatur".

Sejumlah pihak tak setuju dengan pendapat itu. Editorial New York Times menghubungkan kerusuhan tersebut dengan masalah sistemik kehidupan buruh migran. Menurut Wham, berdasarkan pengamatannya saat itu, kerusuhan cenderung terjadi di antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan. "Terlepas dari penyebab kerusuhan, ini kesempatan bagus untuk merefleksikan serta memikirkan kembali sikap, kebijakan, dan regulasi kita yang mempengaruhi pekerja migran."

Menurut The Guardian, Singapura memang tidak mengatur upah minimum untuk buruh migran. Perlindungan dari legislasi juga sedikit. Perwakilan serikat pekerja sangat dibatasi dan demonstrasi publik yang diorganisasi-kecuali oleh warga negara Singapura-pun dilarang.

Pengalaman menangani para buruh migran inilah, menurut Wham, yang menyadarkan dia bahwa banyaknya pelanggaran dan eksploitasi terhadap mereka terjadi akibat kurangnya perlindungan. "Hal ini membuat saya menyadari pentingnya advokasi untuk keadilan, demokrasi, serta kebebasan berekspresi dan berkumpul di Singapura," tuturnya. Setelah aktif di Home selama lebih dari 10 tahun, Wham mengundurkan diri. "Setelah itu, saya lebih berfokus pada aktivitas yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi dan berkumpul."

Salah satu yang dilakukannya adalah menggelar demonstrasi diam pada 3 Juni 2017, pukul 17.00-19.00, di jalur kereta mass rapid transit (MRT) Utara-Selatan bersama delapan orang lain. Mereka memperingati 30 tahun Operation Spectrum, sebuah operasi keamanan pada 1987 dengan 22 orang ditahan di bawah Undang-Undang Keamanan Internal karena diduga merencanakan sebuah konspirasi Marxis untuk menggulingkan pemerintah.

Wham dan koleganya juga menempelkan dua kertas ukuran A4 di panel kereta yang memuat pesan "Marxist conspiracy? #notodetentionwithouttrial" dan "Justice for Operation Spectrum survivors #notodetentionwithouttrial". "Saya ingin meningkatkan kesadaran tentang penyiksaan dan penderitaan orang-orang yang ditahan tanpa diadili," ujar Wham.

Setelah aksi bisu di kereta, Wham menggelar aksi bersama 15 koleganya dengan menyalakan lilin di luar Kompleks Penjara Changi. Demonstrasi ini merupakan protes terhadap rencana eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkotik, Prabagaran Srivijayan, 29 tahun, yang sedianya dilaksanakan keesokan harinya. "Aksi itu untuk menyesalkan rencana eksekusi," tuturnya.

Setelah berdemonstrasi di depan penjara, Wham menggelar pertemuan di The Agora di lantai tiga pusat belanja Midview City di Sin Ming Lane, 26 November 2017. Acara di dalam ruangan ini juga menampilkan pidato aktivis Hong Kong, Joshua Wong, melalui Skype. "Sekitar 60 orang hadir dalam acara tersebut. Itu adalah obrolan di dalam ruangan, membahas gerakan dan perubahan sosial," kata Wham.

Sebulan kemudian, tepatnya 20 Desember 2017, Wham mendapat surat peringatan dari polisi karena pertemuan di Agora. Itu adalah surat ketiga kepadanya. Dua surat lain diberikan seusai aksi diam di kereta MRT dan depan penjara Changi. Soal ini, Wham beralasan, "Saya tidak ingin menandatangani pernyataan tersebut karena penyelidik tak mengizinkan saya menyimpan salinannya."

Sikap Wham itu tak menghentikan proses hukum. Pada 29 November, polisi menangkap dan membawanya ke pengadilan. Dia didakwa dengan tujuh tuntutan, termasuk tiga pertemuan tanpa izin yang ancamannya denda sampai Sin$ 5.000 atau hampir Rp 50 juta. Jika diulang, dendanya sampai Rp 100 juta dan penjara maksimal 6 bulan.

Wham juga didakwa melakukan vandalisme karena menempelkan dua poster A4 di kereta MRT itu. Pidana ini bisa membuatnya didenda hingga Rp 20 juta atau maksimal 3 tahun penjara. Tiga dakwaan lain adalah terkait dengan penolakan Wham menandatangani surat polisi, yang ancamannya 3 bulan penjara atau denda hingga Rp 25 juta.

Polisi mengatakan, "Wham membandel dan telah berulang kali menunjukkan sikap mengabaikan hukum secara terang-terangan, terutama yang berkaitan dengan pengorganisasian atau partisipasi dalam pertemuan publik secara ilegal."

Polisi juga menyebut The Speakers’ Corner (Pojok Bicara), tempat yang disediakan bagi orang Singapura untuk mengungkapkan pandangan atau protes. "Warga Singapura bisa mengorganisasi pertemuan umum di Speakers’ Corner itu sesuai dengan ketentuan," ucap polisi. Singapura hanya mengizinkan demonstrasi di sudut kecil yang terletak di taman umum Liam Park tersebut.

Pengadilan ini mengundang solidaritas terhadap Wham dan kecaman terhadap pemerintah. "Sebanyak 72 organisasi internasional dan lokal menandatangani pernyataan untuk mendukung saya," kata Wham. Amnesty International, dalam pernyataannya, mendesak agar dakwaan terhadap Wham dibatalkan dan semua regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul direvisi.

Wham menyebut kasus ini sebagai bentuk ketakutan partai pemerintah. "Untuk kepentingan jangka panjang, kami membutuhkan demokrasi yang tidak sekadar nama, tapi juga substansi. Tidak ada partai politik tunggal yang dapat menjamin kemakmuran dan kesuksesan ekonomi Singapura," ucapnya. "Sebuah negara seharusnya tidak hanya tentang pertumbuhan PDB."

Abdul Manan (The Straits Times, Today Online)

Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 14 Januari 2018

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236