Skip to main content

Bukan tentang Isi Kepala

SIA-SIA saja hakim Kresna Harahap dan Made Hendra Kusumah menghindari kejaran wartawan. Meski keluar melalui pintu belakang kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, wartawan dan juru kamera tetap bisa ”menangkap” keduanya. ”Tidak ada apa-apa. Cuma silaturahmi,” kata Kresna Harahap tentang kunjungan sekitar 20 menit ke KPK itu.

Pada Selasa pekan lalu, kedua hakim ad hoc nonkarier Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu menemui Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Yang dibicarakan, antara lain, soal RUU Tindak Pidana Korupsi bikinan pemerintah yang kini hampir rampung. Dalam draf RUU itu, pengadilan tindak pidana korupsi terancam akan digusur.

Menurut Koordinator Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, jika RUU itu disahkan, para hakim ad hoc kasus korupsi ini tak akan ada lagi. Tanda-tanda itu sudah terlihat. Bersamaan dengan pembahasan RUU, ujarnya, Mahkamah Agung juga menyiapkan pelatihan untuk hakim korupsi di pengadilan negeri.

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menolak jika dikatakan bahwa persiapan hakim korupsi di pengadilan negeri dihubungkan dengan pembahasan RUU Pemberantasan Korupsi. ”Pelatihan itu semata untuk meningkatkan mutu hakim,” ujarnya. Untuk tahap pertama, menurut Bagir, akan dididik sekitar 100 hakim. Targetnya, minimal, ada lima hakim khusus korupsi di tiap pengadilan. Hakim yang lulus diberi sertifikat ”layak menangani perkara korupsi”.

Menurut Emerson, ”semangat” pembubaran pengadilan khusus korupsi juga tak lepas dari tindakan hakim ad hoc nonkarier yang walk out saat sidang kasus Harini Wiyoso, Juni tahun lalu. Ketika itu para hakim mendesak Bagir Manan dihadirkan sebagai saksi kasus suap. Tapi hakim ketua Kresna Menon tak setuju. ”Jadi, ini seperti dendam tak berkesudahan,” kata Emerson.

Pada awal Februari lalu, sejumlah hakim ad hoc nonkarier menggelar pertemuan di sebuah restoran di Jalan Veteran, Jakarta Pusat. Agenda utamanya membahas tudingan yang menyebut mereka tak menguasai hukum acara. Pertemuan enam jam itu, menurut sumber Tempo, menghasilkan kesimpulan bahwa para hakim nonkarier tak bisa lagi mengharap Mahkamah Agung ada ”di belakang” mereka.

Made Hendra Kusumah, yang juga ikut pertemuan, mengakui pertemuan itu memang membicarakan—antara lain—perkembangan pembahasan RUU Tindak Pidana Korupsi serta adanya sejumlah tudingan terhadap mereka. Hendra membantah jika disebut hakim nonkarier tak menguasai hukum acara. Sebagian besar draf putusan, ujarnya, dibuat hakim ad hoc nonkarier. Sebagian besar putusan itu juga dikuatkan pengadilan di atasnya. ”Kalau putusannya tidak bagus, tentu dibatalkan Mahkamah Agung.”

Firman Jaya Daeli, mantan anggota Komisi Hukum DPR yang ikut membahas Undang-Undang KPK, menyatakan bahwa KPK dan pengadilan khusus korupsi dilahirkan karena korupsi dianggap kejahatan luar biasa. Tujuannya, kata dia, juga untuk mendorong reformasi di tubuh peradilan, polisi, dan kejaksaan. ”Ini untuk transisi saja,” katanya

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Almuzammil Yusuf menegaskan, karena korupsi masih merajalela, lembaga ad hoc tetap masih diperlukan. ”Apalagi kinerja mereka memuaskan,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera ini. ”Kasus korupsi yang masuk pengadilan korupsi tak ada yang bebas,” ujar Almuzammil. Ini, katanya, berbeda dengan yang masuk pengadilan umum.

Suara lain datang dari Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, Putu Widnya. Putu menepis anggapan jika pengadilan negeri disebut tak siap menangani kasus korupsi. Dia sepakat jika pengadilan korupsi dibubarkan. ”Hakim ad hoc hanya beberapa bulan saja dilatih. Kemampuan persidangan tentu sangat jauh dibanding hakim pengadilan negeri,” katanya.

Putu bisa berkata demikian, tapi ICW punya data menarik. Pada 2006, menurut pantauan ICW, dari 125 perkara korupsi yang masuk pengadilan umum, 40 di antaranya divonis bebas. Sedangkan di pengadilan korupsi, tak ada satu pun dari 32 perkara yang pelakunya lolos dari jerat hukum. ”Ini memang bukan masalah isi kepala, tapi soal mental,” ujar Ketua Bali Corruption Watch, Putu Wirata.

Abdul Manan, Rini Kustiani, Rofiqi Hasan (Denpasar)

Majalah Tempo, Edisi. 52/XXXV/19 - 25 Februari 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236