Skip to main content

Dalang yang Makin Kabur

KASUS pembunuhan aktivis Munir kembali gelap. Semua seakan kembali ke titik nadir. Berbulan waktu dihabiskan untuk meneliti siapa pembunuh keji yang merenggut nyawa pembela hak asasi manusia berusi 39 tahun itu dengan racun, tapi sekarang misteri makin tebal. Putusan kasasi Mahkamah Agung terhadap Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda, adalah penyebabnya. Polly divonis 14 tahun penjara oleh pengadilan negeri, kemudian putusan itu dikuatkan pengadilan tinggi. Polly dinyatakan bersalah ikut dalam pembunuhan Munir secara berencana, pada 7 September 2004, dalam pesawat Garuda rute Jakarta-Singapura-Amsterdam.

Selasa pekan lalu, majelis hakim kasasi yang diketuai Iskandar Kamil menyatakan Polly bukan pelaku pembunuh Munir. Ia hanya salah karena memalsukan surat tugas perjalanan. Kesalahan semacam ini, menurut majelis kasasi, jelas jauh lebih ringan ketimbang membunuh seseorang. Maka, hukuman untuk Polly pun dibabat dari 14 tahun menjadi hanya 2 tahun penjara.
Ini bukan keputusan bulat.

Hakim Artidjo Alkostar, satu dari tiga anggota majelis, tak sepaham dengan dua rekannya, Iskandar dan Atja Sondjaja. Artidjo memakai dalil aposteriori--yaitu melihat akibat lebih dulu dan baru melihat penyebabnya. Dari rentetan fakta dalam perjalanan terakhir Munir itu, Artidjo yakin Polly terlibat. “Ada kejanggalan dari rangkaian tindakan bekas pilot Garuda ini sebelum kematian Munir,” ujarnya kepada Tempo (lihat wawancara dengan Artidjo: Saya Mencari Kebenaran Sejati).

Toh Artidjo kalah suara. Enam bulan lagi Polly bakal bebas. Bahkan pengacara Polly, M. Assegaf, berencana meminta penahanan kliennya, yang kini menghuni kamar C-3 tahanan Markas Besar Polri, ditangguhkan. “Karena dia sudah menjalani tiga perempat masa hukumannya,” ujar Assegaf.

Putusan kasasi ini bagi Pollycarpus adalah tiketnya untuk menempuh hidup yang bebas merdeka. Setidak-tidaknya dalam kasus Munir dia tak boleh diadili lagi. “Berdasarkan asas pidana ne bis in idem, Polly tidak bisa dituntut untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama,” ujar Harkristuti Harkrisnowo, pakar pidana dari Universitas Indonesia.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, asas ne bis in idem diatur dalam Pasal 76. “Jadi, untuk Polly, ibaratnya kini sudah selesai,” kata Harkristuti. Menurut dia, adanya novum atau bukti baru pun tidak bisa membawa Polly ke meja hijau. “Novum tidak bisa menyingkirkan ne bis in idem,” ujarnya.

Suciwati, istri Munir, jelas kecewa. “Ini makin menunjukkan buramnya hukum kita, yang tidak memihak kepada yang lemah,” ujarnya. Ibu dua anak ini sekarang bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Suci yakin, Polly hanya “pion” dalam kasus pembunuhan suaminya. Karena itu, walaupun pengadilan tingkat pertama dan tinggi menghukum Polly, Suci terus berteriak untuk meminta agar dalang pembunuh suaminya ditangkap.

Dengan putusan kasasi ini, usaha pemerintah merevitalisasi tim pengusut kasus Munir mengundang pesimisme banyak kalangan. Jika tim pencari fakta kasus Munir tidak bisa banyak bergerak sampai dibubarkan, diduga begitu juga nasib tim baru nanti. Kalangan pro-hak asasi manusia yakin, pembunuhan Munir melibatkan orang kuat. “Komitmen dan kesungguhan Presiden akan berguna untuk mengungkap kasus ini,” ujar Asmara Nababan, wakil ketua tim pencari fakta kasus munir.

Menurut Asmara, pihaknya pernah meminta Presiden mengaudit penyidik dari kepolisian lantaran dinilai tidak bekerja maksimal. Asmara memberi contoh soal telepon Polly dengan seorang petinggi Badan Intelijen Negara. “Nomor telepon yang berhubungan dengan Pollycarpus tak pernah benar-benar diusut,” ujarnya. Asmara juga menyesalkan Presiden yang tidak tegas menyikapi rekomendasi tim. Salah satu rekomendasi, kerja tim tak maksimal karena dihambat BIN. “Kalau Presiden setuju rekomendasi tim, mestinya Kepala BIN diganti,” ujarnya.

Kapolri Jenderal Sutanto agaknya tak mau anak buahnya dianggap melempem. Pada Jumat pekan lalu, Jenderal Sutanto menyatakan membubarkan tim lama pimpinan Brigadir Jenderal Marsudhi Hanafiah dan membentuk tim baru yang dipimpin Brigadir Jenderal Suryadharma untuk mengusut kasus Munir. “Tim ini
akan mencari bukti baru,” ujar Sutanto.

Asmara menyambut dingin perubahan tim itu. “Hanya basa-basi,” ujarnya. Bekas Sekjen Komnas HAM itu tak yakin tim pimpinan Suryadharma bisa menemukan pembunuh Munir. “Polisi berhadapan dengan kekuatan besar,” ujarnya. Menurut Asmara, Presiden adalah satu-satunya kunci untuk membuka “misteri” tewasnya Munir. “Kasus ini memang bergantung pada SBY,” ujarnya.
***-/**

LRB/Maria Hasugian, Abdul Manan

Majalah Tempo, 9 Oktober 2006

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236