Skip to main content

Pahitnya Nasib Petani Tebu

Pembebasan bea impor gula mencekik petani tebu dan pabrik-pabrik gula. Indonesia tidak akan mampu swasmbada gula.

GULA pasir Impor membanjiri Tanah Air belakangan ini. Harganya pun lebih murah dari harga gula domestik. Lo, ada apa? Jelas, ini karena kebijakan pemerintah, menuruti saran Dana Moneter International (IMF), membebaskan tata niaga gula dan menghapus tarif bea masuk impor gula sejak Januari 199#. Kebijakan yang dibuat lebih dari setahun lalu itu baru terasa sekarang. Ketika kurs rupiah di atas Rp 10 ribu per dolar, belum ada pengusaha berani mengimpor gula. Ketika itu, petani tebu Indonesia sempat menikmati keuntungan karena harga gula naik jadi sekitar Rp 3.600 sekilo di pasar eceran dan Rp 3.100 sekilo di tangan produsen, sampai awal tahun 1999.

Namun, kini setelah nilai rupiah menguat, gula impor membanjiri pasaran Indonesia, karena hargnya relatif murah. Banjir gula ini membuat harga gula lokal anjlok jadi Rp 2.950 (21,6 persen) di pasar eceran dan di tingkat produsen anjlok jadi Rp 1950 (37,1 persen). Akibatnya, sekitar 1,43 juta petani tebu yang panen raya Mei ini rugi besar. Jatuhnya harga ini mendorong pemerintah menyanggupi membeli gula hasil bagi milik petani seharga Rp 2.500 sekilo. Artinya ada subsidi sebesar Rp 600 sekilonya. Subsidi ini pun rawan.

Tak heran bila Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudohusodo menilai kebijakan pemerintah ini sebagai. tindakan bunuh diri dan tidak profesional. "Untuk jangka panjang, kebijakan itu membuat kita terus tergantung pada produksi pertanian luar negeri," ungkapnya kesal. Tak kalah geramnya adalah Haubrinderjit Singh Dillon, Direktur Centre for Agriculture Policy Studies dan mantan staf ahli Menteri Pertanian. "Kebijakan bea masuk nol persen itu sangat menyedihkan. Mestinya, setelah depresiasi yang begitu tinggi pun, pemerintah perlu memberikan proteksi untuk melindungi petani," desaknya.

* Kerbau Dicocok Hidungnya

Apalagi World Trade Organization mengizinkan proteksi berupa tarif sampai sebesar 110persen. Sebagai perbandingan, India mengenakan tarif lebih dari 100 persen, Brasil 60 persen, dan negara-negua Uni Eropa memasang tarif sebesar 250 persen. Hanya Australia sebagai negara penghasil gula paling kompetitif yang memasang bea masuk nol persen. Anehnya, hak kerbau dicocok
hidungnya, Indonesia mengikuti kemauan IMF itu. Padahal, "Sistem tarif ini tidak bertentangan dengan sistem perdgangan dunia dan berlaku berangsur-angsur turun sampai tahun 2004," ujar Maswar, staf senior pada Asosiasi Gula Indonesia.

Jadi, tak usah kaget bila musim panen periode Mei-September 1999 hasilnya jeblok. Bisa dipastikan produksi gula Indonesia akan terus merosot (lihat tabel). Tingkat produksi gula nasional maksimal hanya mampu berproduksi sebesar 2,5 juta ton gula per tahun, tapi realisasinya pada tahun 1998 hanya mencapai 1,46 juta ton. Konsumsi gula nasional sekitar 3,3 juta ton, maka Indonesia tergantung pada gula impor sekitar 1,9 juta ton atau lebih dari 60 persen. Padahal hampir dua dekade lalu ketergantungan itu hanya sekitar 40 persen.

Bagaimanapun, kebijakan pemerintah yang membebaskan tarif impor benar-benar "membunuh" petani dan pabrik gula. Pengurus pabrik gula di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta yang diwakili Imam Supangkat, Kepala Biro Sekretariat PT Perkebunan Nusantara X Jawa Timur, mengatakan prospek industri gula tergantung pada kebijakan pemerintah. "Misalnya pada bea masuk, mestinya, ya, tidak betul kebijakan ke masuk nol persen itu," ujarnya. Imam pun menyurati Menteri Perindustnan dan Perdagangan agar membatasi impor gula karena berpengaruh pada harga gula dalam negeri. * Tergantung pada Pasokan Petani

Pasokan yang kurang karena petani enggan menanam tebu membuat pabrik-pahrik gula di Jawa kelabakan karena tidak mempunyai lahan sendiri seperti pabrik gula di luar Jawa. Pabrik-pabrik gula di Jawa tergantung 70 persen pada pasokan tebu dari petani.

Sukata, petani tebu yang memiliki lahan seluas satu hektare di Kragilan, Sleman, Yogyakarta, merasa rugi menanam tebu. Misalnya, ongkos sewa dari pabrik gula sebeal Rp 2 juta untuk sehektare lahan miliknya selama 18 bulan sama sekali tidak memadai. Sebab, ongkos sewa itu habis untuk mengolah kembali lahan itu setelah ditanami tebu.

Padahal menanam tebu itu tak gampang. Kalau musim tanam ataupun musim panennya tidak tepat waktu, misalnya akan mempengaruhi rendemen (zat manis gula). Unluk pabrik-pabrik gula di Jawa sering kandungan gula dalam tananam tebu hanya mencapai 7,65 persen. Padahal, menurut Soeparno, Administratur PG Tasikmadu dan Colomadu, Karanganyar, Surakarta, kandungan ratarata yang bernilai ekonomis setidaknya mencapai 10 persen-12 persen dari angka tertinggi 14 persen.

Menurut Hotman Siahaan, sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, yang meneliti perlawanan petani terhadap program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) unluk disertasinya, mengungkapkan, petani tak pernah diuntungkan dalam sejarah bisnis tebu di Indonesia. Ini terutama sejak Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang TRI.

Asumsinya, menurut Hotman, TRI menempatkan petani sebagai tuan di lahannya sendiri. Bila pabrik menyewa lahan petani dalam satu musim tanam ( 16-18 bulan), petani mendapat biaya tanam untuk pembelian bibit tebu, pemeliharaan, waktu tebang, dan mengangkut hasil panen. Singkatnya petani terlibat dalam proses produksi. Tapi, praktiknya tidak demikian. Petani dieksploitasi. Baru setelah reformasi banyak petani TRI berani menolak menanam tebu. Dulu mereka takut karena akan berhadapan dengan aparat keamanan dan dicap PKI.

Itu sebabnya, Dillon terus ngotot membela petani. "Kalau seorang petani hanya memiliki 0,3 hektare dan harus bersaing dengan orang yang menguasai lahan empat hektare apalagi masih disubsidi, ya. ibarat kelas bulu melawan kelas berat," ujar Dillon. Jadi, hayo tebak kebijakan pemerintah ini menguntungkan siapa? Yang jelas bukan petani.

Fadjar Harijanto/Laporan Mohamad Subroto, Ondy A. Saputra, Reko Alum (Jakarta), Abdul Manan, Hari Nugroho (Surabaya), Ahmad Solikhan (Yogyakarta), dan Blontank Poer (Solo)

D&R, Edisi 990517-040/Hal. 54 Rubrik Bisnis & Ekonomi

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236