Skip to main content

Tegang dan Depresi karena Sutet

Tim PPLH Unair membuktikan, SUTET berbahaya bagi kesehatan manusia. Dampaknya bervariasi: dari pusing kepala sampai gangguan syaraf.

HIDUP di bawah jaringan listrik tegangan tinggi ternyata tak cuma menegangkan. Anda juga berpotensi mengalami gangguan syaraf. Begitulah kesimpulan penelitian mutakhir yang digelar tim Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Airlangga (Unair). Laporan yang dirilis akhir bulan lalu di Surabaya menghidupkan kembali kontroversi tentang dampak radiasi elektromagnet dari jaringan itu atas kesehatan manusia. Dan, menjadi "senjata" baru bagi warga Desa Singosari yang memperkarakan Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN) ke pengadilan, karena kawasan permukiman mereka dialiri jaringan tersebut.

Tim yang diketuai Direktur PPLH Dr. Fuad Amsyari melakukan penelitian di Desa Singosari, Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur (Ja-Tim). Warga desa itu, sejak tahun 1989 lalu, telah memprotes dan memperkarakan kehadiran jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Tinggi Ekstra Tinggi (SUTET) yang dibangun PLN. Mereka khawatir keberadaan jaringan itu akan berpengaruh pada kesehatan. Tapi, gugatan yang mereka ajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Agustus 1996 lalu ditolak. Hakim menilai bukti berdasarkan penelitian di luar negeri yang menunjukkan bahwa keberadaan jaringan itu berbahaya bagi kesehatan tidak sahih, karena penelitian tidak dilakukan di Indonesia (lihat: Boks).

* Keluar-Masuk Kampung

Nah, kata Fuad, penelitian itu dilakukan karena dua alasan. Pertama, data tentang dampak SUTET atas kesehatan itu di Indonesia memang masih minim. Yang kedua, ya, mereka memang diminta oleh warga Singosari. "Ada surat dari warga agar kami melakukan penelitian di sana," ujar Fuad kepada D&R.

Jadilah tim yang beranggotakan enam orang dokter dan satu insinyur itu keluar-masuk kampung selama tiga bulan (September - Desember 1995). Ada tiga kelompok penduduk yang mereka teliti. Kelompok pertama, mereka yang tinggal langsung di bawah SUTET (tegangan listriknya lebih besar atau sama dengan 500 kV). Kedua, mereka yang tinggal di bawah jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT)--tegangan listriknya sekitar 150 kV. Ketiga adalah kelompok kontrol, yakni penduduk yang tinggal di daerah yang tak ada jaringan listriknya. Tiap-tiap kelompok terdiri dari 65 orang. Khusus untuk kelompok pertama, responden terdiri dari ibu-ibu rumah tangga yang sudah tinggal di daerah itu selama 3-10 tahun. Para ibu ini dipilih, karena merekalah--bersama anak-anak--kelompok paling rentan terhadap pengaruh induksi listrik tersebut.

Untuk memperoleh data umum, tim menyebar kuesioner. Lalu, mereka melakukan tes medis, meliputi pemeriksaan fisik, paru-paru, nadi, tekanan darah, dan kondisi kejiwaan si responden. Mereka juga mengukur kuat medan elektromagnet--yang ditimbulkan oleh induksi listrik tegangan tinggi--di lokasi. Alat yang digunakan adalah ELF survey meter berkode HI-3604/1992.

* Gangguan Syaraf

Hasilnya mengejutkan. Ternyata, medan listrik di kawasan yang tepat berada di bawah SUTET--terutama pada jam-jam pemakaian listrik tinggi--sudah melampaui ambang batas aman yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Meski begitu, medan magnetnya masih di bawah ambang batas. Tapi, tes medis menunjukkan adanya gangguan signifikan terhadap kesehatan warga di lokasi penelitian. Warga di kawasan SUTET dan SUTT, pada umumnya mengeluh mengalami rasa nyeri di kepala, pusing, rasa terbakar, kulit nyeri, semutan, sering lupa, gemetar, dan mengalami gangguan tidur. "Badan saya rasanya meriang, istri saya sering mengeluh pusing," tutur Guwanto, 38 tahun, penduduk kampung Jegong kepada D&R.

Lalu, dari pemeriksaan fisik pada penduduk yang tinggal di bawah jaringan SUTET didapati adanya kecenderungan perubahan pada denyut nadi, frekuensi pernapasan, tekanan darah, lekosit, dan limfosit darah. Pemeriksaan syaraf juga menunjukkan mereka cenderung menderita vertigo dan mengalami perubahan refleks tendon. Dengan kata lain, mereka berpotensi menderita gangguan syaraf.

Tak mengherankan bila tim juga mendapati tingginya tingkat kecemasan dan depresi pada warga yang tinggal di kawasan SUTET. Maklum, hidup di bawah jaringan tegangan tinggi tentulah tegang dan jauh dari rasa aman dan nyaman. "Apalagi kalau hujan turun lebat, suara jaringan itu berdengung," cerita Ratman, tetangga Guwanto. Maka, bila hujan turun, ia meminta seluruh anggota keluarganya berkumpul di teras rumah. "Kalau terjadi sesuatu, kami bisa cepat lari," sambungnya.

Singkat kata, temuan tim PPLH Unair itu membuktikan SUTET berdampak bagi kesehatan manusia. Temuan serupa, sejatinya, juga sudah dibuktikan oleh sejumlah riset di luar negeri. Riset di Swedia, Norwegia, dan Denver, Amerika Serikat, mendapati medan magnet ini berpotensi menimbulkan kanker darah (leukemia). Satu kasus yang cukup menghebohkan terjadi di Meadow Street, Connecticut, AS pada tahun 1990 ketika lima orang penghuni dari sembilan rumah yang terletak berdekatan dengan gardu listrik bertegangan tinggi, terkena kanker otak. Ada juga temuan yang menyebutkan, medan magnet ini berisiko menyebabkan kemandulan.

Toh, kontroversi tak juga menyurut karenanya. Pihak PLN, misalnya, masih meragukan temuan itu. Kepala Dinas Humas PLN Abbas Thaha menunjukkan serangkaian temuan lain--baik yang dilakukan PLN, Departemen Kesehatan, Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB)--yang menunjukkan bahwa medan magnet dan medan listrik dari SUTET dan SUTT masih di bawah ambang batas yang ditetapkan oleh WHO. Abbas, seperti dikutip Kompas, memaparkan hasil temuan tim Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI dan ITB di Jawa Barat pada tahun 1995, yang menemukan medan magnet di dalam rumah maksimum 80 volt /meter dan di lapangan terbuka 2.770 volt/meter. Ini masih jauh di bawah ambang batas aman yang dipatok WHO pada 5.000 volt/meter. Tim juga menemukan, medan magnet di dalam rumah 2,25 mG dan di luar rumah 2,29 mG. Padahal angka batas yang dipasang WHO adalah 10 mG.

Karena itu, Abbas mempertanyakan kesahihan metode yang digunakan tim Unair itu. Tapi, kata Fuad, metode yang dilakukan timnya adalah metode standar yang sudah teruji kesahihannya dan para penelitinya pun ilmuwan yang teruji integritasnya. Penelitian itu juga tak diniatkan untuk memojokkan siapa pun. "Kalau ada yang mau memanfaatkannya silakan, tidak perlu izin kami," katanya.

Akan tetapi, lepas dari siapa benar siapa keliru, apakah salahnya bila pihak PLN lebih berhati-hati, karena bukankah mencegah lebih baik ketimbang mengobati?

Laporan Abdul Manan (Surabaya) dan Zed Abidien (Gresik)

D&R, Edisi 970920-005/Hal. 74 Rubrik Iptek

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236