Skip to main content

Dari Tukang Bangunan Jadi Tukang Jagal

Dengan sebuah palu, seorang tukang mencabut tiga nyawa serta membuat sekarat dua orang lainnya. Ia berniat merampok karena dililit utang.

TIBA-TIBA saja sebuah kediaman di Darmo Indah Asri, Surabaya, menjadi rumah jagal. Satu demi satu manusia di sana tumbang terhantam palu. Tak perduli orok atau nenek-nenek. Seorang tamu tak diundang memangsa siapa saja yang ia temukan di sana. Hasilnya: tiga nyawa melayang dan dua lagi nyaris hilang.

Aris seperti pantang melihat manusia lain. Pada 7 April 1997, nyonya rumah, Fransiska, yang baru selesai menelepon, dihajarnya dari belakang. Istri Kepala Bank Central Asia (BCA) Rungkut itu langsung terjerembab. Melihat ibunya ambruk, Indriani Wono yang sedang bermain di lantai menangis. Tanpa ampun, Aris menghajar anak berusia empat tahun itu dengan martil yang sama. Si bocah juga terempas.

Aris melihat ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba, dari dalam rumah muncul Yesy, anak Lie Tjen, tetangga Fransiska. Entah mengapa, Aris juga menganggap balita itu sebagai perintang. Maka... bug! Bocah berumur satu setengah tahun itu sontak terkulai dihajar palu. Hanya dalam beberapa saat, tiga tubuh tergeletak di lantai.

Melihat anaknya tidak muncul juga, Lie Tjen memanggil dari dalam. Aris bersembunyi begitu mendengar suara perempuan berusia 25 tahun itu. Lie Tjen datang mencari anaknya. Tak tahu ia bahwa Aris sudah siap memangsa. Maka, kembali martil menghantam sasaran. Lie Tjen terjungkal.

Seperti yang lain, Ny. Wen Suk Tjen juga tidak mencium bau bahaya. Tatkala nenek berusia 60 tahun itu mendekat, Aris menyergap dari tempat persembunyiannya. Martil menghantam dan Ny. Wen roboh.

Dalam beberapa menit, lima orang menjadi korban palu Aris. Tiga orang tewas, yaitu Indriani Wono, Lie Tjen, dan anaknya, Yesi. Fransiska dan Wen Suk Tjen luka parah dan masih dirawat di rumah sakit.

Melihat korbannya bergelimpangan, Aris kabur. Ia sudah sempat berjalan sekitar satu kilometer dari tempat kejadian. Tapi, ia kemudian bingung. Ketika Muliono yang mengendarai sepeda motor lewat, ia lalu minta ikut. Muliono tak keberatan. Namun, penduduk Jalan Raya Tandes Kidul itu segera curiga karena Aris terengah-engah. Di tengah jalan, ia suruh si pembonceng turun. Muliono berbalik arah. Di sekitar tempat kejadian, tukang becak mengatakan memang ada perampokan dan pelakunya, ya, yang ia bonceng tadi.

Tahu demikian, Muliono memacu motornya untuk mengejar Aris. Ia melihat tersangka masih berusaha mencegat bemo yang sejak tadi tak berhenti-berhenti juga. Begitu dekat, ia melumpuhkan Aris. Beberapa orang yang juga mengejar pelaku tiba di sana dan hendak menghajar Aris. Mereka--yang mendengar jeritan Ny. Wen Suk Tjen yang minta tolong--bisa dicegah.

Muliono membawa Aris ke Polsekta Tandes yang tak jauh dari sana. Polisi berkesimpulan Aris merupakan pelaku tunggal pembantaian di rumah keluarga Budi Susanto Wono itu. Meski demikian, menurut Kapolresta Edy Prawoto kepada D&R, pihaknya masih menunggu kesaksian Fransiska dan Wen Suk Tjen untuk memastikan pelaku.

Adapun motif pembantaian belum bisa dipastikan. Untuk sementara, kata Edy Prawoto, adalah dendam Aris setelah Budi Susanto Wono tak kunjung memberi proyek sebagaimana ia janjikan. Maka, Aris yang sudah dililit utang berniat merampok dan membunuh di rumah Budi.

Tersangka yang masih ditahan di Polsekta Tandes itu mengatakan hal senada kepada D&R. "Saat itu, pikiran saya sedang buntu. Enggak punya uang lagi," ujarnya. Karena itu, lanjut dia, selesai membunuh pun, ia masih mumet, tak tahu apa yang akan dilakukan. Sampai akhirnya ia dibekuk Muliono.

Aris Setiawan lahir di Desa Dodol , Kecamatan Ngetos, Nganjuk, tahun 1967. Sejak 1984, ia ke Surabaya dan di sana bekerja sebagai kuli bangunan dan tukang batu. Ia mengatakan sering mendapat pekerjaan bangunan dari BCA, seperti di BCA Rungkut, Kendangsari, Margorejo, Sepanjang, dan Jalan H.R. Rahmad. Saat bekerja di BCA Rungkut, ia berkenalan dengan Budi Susanto Wono, pimpinan setempat. Waktu itu, Desember 1996, Budi konon menjanjikan proyek renovasi rumahnya kepada Aris, yang waktu itu sudah menjadi kepala proyek. Bukan lagi kuli bangunan atau mandor.

Tunggu punya tunggu, proyek yang dijanjikan tak ada realisasinya. Padahal, ia sangat mendambakannya. Sebab, sejak Lebaran, garapan sepi terus. Di sisi lain, beban yang harus dipikulnya makin mengimpit. Ia harus punya uang. Maka, dia pun semakin pusing.

Aris harus membelanjai keluarganya di Nganjuk, yaitu istrinya, Sutirah, 21 tahun, yang ia kawini pada tahun 1994, dan anak mereka, Sela Dewi Setiawan. Selain si buah hati yang berusia tujuh bulan, pasangan itu juga punya anak angkat, Taufan. Bocah yang kini berusia tiga tahun itu mereka pungut ketika Sutirah belum melahirkan. Kiriman untuk anak dan istri Aris tak tentu jumlahnya. Terkadang Rp 200 ribu per bulan, kadang seadanya.

Untuk mendapatkan uang yang hendak dikirim itu, Aris bisa mengutang ke sana-sini. Belakangan, utangnya Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Biasanya, ia tak terlalu mengkhawatirkan pinjamannya kalaupun sudah sampai Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Sebab, kalau sudah ada proyek, seperti sebelumnya, utang itu akan dilunasinya. Tapi, kali itu lain. Ia sangat risau karenanya, sehingga terbersit niat untuk merampok rumah pimpinan BCA Rungkut itu.

April lalu, Aris mengajak Suhari jalan-jalan ke proyek bangunan di Dukuh Kupang. Di sana, dia mengambil pleser (lonjoran besi); dan kepada temannya yang bekerja di perusahaan mebel di Jalan Siwalankerto itu tak diutarakannya niatnya tersebut. Dalam perjalanan menuju Darmo itulah ia memberitahu bahwa pleser akan digunakan untuk merampok serta menghabisi keluarga Budi. Alasannya: janji proyek merenovasi tak ditepati Budi dengan dalih belum ada uang.

Mereka berdua tiba di rumah Budi di Darmo Indah Asri Blok AD/49. Kepada Fransiska, Aris memperkenalkan Suhari sebagai pengawas proyek. Di dalam rumah, saat itu Aris hendak menghabisi nyonya rumah. Tapi, Suhari mencegah. Aris uring-uringan karena dicegah. Ia bertambah mendongkol karena kawannya itu juga minta pulang. Mereka akhirnya beranjak dari sana dan Aris diantar Suhari ke rumah pacarnya, Susi, di Darmo Satelit.

Gagal melakukan niatnya, tidak membuat Aris kehilangan semangat. Tiga hari kemudian, ia berangkat ke rumah Budi Susanto. Kali itu, ia seorang diri dan benar-benar mewujudkan rencananya. Modalnya: sebuah martil.

Semula, tersangka mengatakan mendapatkan martil dari pojok rumah keluarga Budi Susanto. Namun, setelah polisi mengadakan pengecekan silang dengan keluarga korban, barulah Aris mengaku bahwa benda itu ia pinjam dari istri Suhari. Alasannya waktu meminjam, menurut Kapolsekta Tandes Joko Sutanto, adalah hendak memperbaiki sepeda motor.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Aris sangat berniat merampok dan membunuh? Benarkah karena ia merasa dikejar-kejar utang? Kalau benar, bukankah selama ini ia sudah sering berutang dan itu tak pernah mengusik perhatiannya? Mungkinkah sikapnya sekarang karena pengeluarannya semakin bengkak sehubungan dengan hadirnya sang pacar baru?

Belakangan ini, Aris mengaku punya pacar bernama Susi. Perempuan berumur 17 tahun itu mengatakan sudah lama mengenal tersangka. Susi bekerja di Karaoke Aneka Rasa di Darmo Satelit. Di sana, Aris selalu minta dilayani Susi. Imbalannya sekitar Rp 50 ribu.

Ketika dikonfirmasikan, Aris membenarkan bahwa ia mencintai Susi. Ia menyebut, untuk kekasihnya itu biasanya ia kasih lebih dari Rp 50 ribu sekali kencan. Menurut dia, mereka berhubungan sudah sekitar lima bulan. Hanya, ketika ditanya soal kehamilan Susi yang kini sudah tiga bulan, Aris menyatakan tidak tahu-menahu. Ia justru menyesalkan mengapa Susi akhirnya dikait-kaitkan dengan kasusnya itu. "Hubungan saya dengan Susi kan pribadi. Jadi, dia jangan dibawa-bawa," ucap Aris. Memang, Susi telah dimintai keterangan oleh polisi. Media massa juga ada yang menulis perihal perempuan kelahiran Tulungagung itu.

Aris kini hanya bisa menyesali segala yang terjadi. "Saya sendiri heran, kok, bisa. Tapi, memang sudah begini kejadiannya. Mau apa lagi?" tutur dia.

Seperti halnya Suami Lie Tjen (almarhumah), Budi Susanto hanya berharap pelaku pembantai dihukum seadil-adilnya. Ia tak habis pikir bagaimana Aris tega melakukan pembantaian. Dalam keterangannya kepada polisi, Budi memang membenarkan pernah menjanjikan proyek kepada tersangka. Ceritanya, ia menganggap garapan bangunan BCA Rungkut bagus. Waktu itu, Arislah yang menjadi mandor bangunan. Maka, karena senang, ia mengatakan akan menjadikan Aris sebagai mitranya. Selain itu, perenovasian rumahnya juga akan dipercayakan kepada penduduk Ngetos, Rungkut, tersebut. Budi mengatakan, ia sebenarnya bukan ingkar janji. Rumahnya akan direnovasi. Hanya, sekarang belum waktunya. Jadi, Aris saja yang tak sabar.

Sayang, Budi Susanto belakangan ini agak sulit ditemui. Menurut seorang pegawai BCA Rungkut, setelah hari nahas itu, ia tak pernah lagi masuk kantor. Ke rumah yang di Darmo Indah Asri Blok AD/49 pun ia tak pernah pulang. Kalaupun pulang, ia lebih suka ke rumah saudaranya di Darmo Indah Timur Blok Q/5. Terkadang, itu pun hanya mandi di sana.

Sebagian besar waktu Kepala BCA Rungkut itu kini terpakai untuk menunggui istrinya di Instalasi Rawat Darurat RS Dr. Soetomo. Hingga sekarang, Fransiska memang belum pulih ingatannya dan badannya mati separo. Padahal, ia sudah dua kali dioperasi. Barangkali, itulah yang membuat Budi Susanto tampak stres, di samping terenggutnya nyawa anak mereka.

Abdul Manan (Surabaya)

D&R, Edisi 970419-035/Hal. 102 Rubrik Kriminalitas

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236