Skip to main content

Gadis Demonstran dari Voskresensk

MENGENAKAN rompi pelindung, Olga Misik, 17 tahun, terlihat duduk di depan polisi anti-huru-hara Rusia, 27 Juli lalu. Ia memegang Konstitusi Rusia dan membacakannya di depan polisi bersenjata yang ada di sekitarnya. Di belakang aparat keamanan itu, tampak para demonstran menyerukan tuntutan pemilihan umum yang adil dan transparan dalam pemilihan Dewan Kota (Duma) Moskow, September mendatang.
Foto Olga saat membaca konstitusi itu tersebar luas dengan cepat dan menjadi simbol baru gerakan prodemokrasi Rusia. Orang membandingkannya dengan “Tank Man”, sebutan untuk pemuda yang berdiri di depan tank yang hendak membubarkan unjuk rasa di Lapangan Tiananmen, Beijing, Juni 1989.

Kota Moskow diguncang demonstrasi besar sejak awal Juli lalu sebagai protes atas pembatalan sejumlah kandidat independen dalam pemilihan Dewan Kota Moskow. Pemilihan yang akan dilaksanakan pada 8 September itu memilih 45 orang. Pejabat pemilihan, yang loyal kepada Presiden Vladimir Putin, menuduh para kandidat oposisi gagal mengumpulkan tanda tangan asli sebagai syarat pendaftaran calon.

Menurut regulasi Rusia, calon independen harus mengumpulkan sekitar 5.000 tanda tangan dari warga kota untuk bisa mencalonkan diri dalam pemilihan lokal Moskow. Semua kandidat mengaku sudah memenuhi syarat itu, tapi Komisi Pemilihan mengatakan ada beberapa tanda tangan itu palsu atau pemiliknya sudah mati. Beberapa kandidat oposisi yang registrasinya tidak diterima antara lain Dmitry Gudkov, pemimpin oposisi; Ivan Zhdanov, direktur Anti-Corruption Foundation; Konstantinas Jankauskas, wakil Distrik Kota Zyuzino; dan Lyubov Sobol, tokoh publik dan pengacara Anti-Corruption Foundation.

Sebagian tokoh oposisi tak bisa ikut demonstrasi yang diikuti Olga Misik itu karena keburu ditangkap polisi beberapa hari sebelumnya. Alexei Navalny, misalnya. Ia keburu dicokok polisi saat meninggalkan rumahnya di Moskow, Rabu, 24 Juli lalu, atau tiga hari sebelum demonstrasi. Ia kemudian diadili secara cepat dan dihukum 30 hari penjara karena menyerukan agar warga ikut berdemonstrasi yang tidak berizin itu.

Dalam demonstrasi itu, polisi menangkap setidaknya 1.300 orang, termasuk Ivan Zhdanov, Lyubov Sobol, dan Dmitry Gudkov. Namun hal itu tak menghentikan rakyat untuk kembali berunjuk rasa pada 10 Agustus. Sekitar 50 ribu orang turun ke jalan dipimpin sejumlah tokoh oposisi. Menurut Moscow Times, demonstrasi itu merupakan yang terbesar sejak aksi massa serupa oleh oposisi pada 2011-2013, saat menuntut pemilihan umum yang jujur di ibu kota Rusia ini.

***

OLGA Misik, remaja yang namanya tiba-tiba melejit, berasal dari Voskresensk, kota yang terletak sekitar 90 kilometer tenggara Kota Moskow. Jumlah penduduknya sekitar 93 ribu orang. Dalam wawancara dengan media Rusia, Meduza, Olga tak menyebut apa pekerjaan orang tuanya. Ia hanya menyatakan ibunya melarangnya ikut berdemonstrasi karena takut akan akibatnya. Ayahnya adalah pemuja Vladimir Putin dan Joseph Stalin (pemimpin Uni Soviet 1924-1953) dan menganggap mereka penguasa terbaik. Selain itu, ia membenci pengunjuk rasa.

Untuk ukuran Rusia, Olga tak seperti remaja pada umumnya. Ia sudah ikut berdemonstrasi saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Aksi turun ke jalan pertama yang diikutinya pada 9 September 2018 ketika ada pawai menentang reformasi usia pensiun. Saat itu, terjadi gelombang unjuk rasa di sejumlah tempat untuk menolak dinaikkannya masa usia pensiun, dari 55 ke 60 tahun untuk perempuan dan dari 60 ke 65 tahun untuk laki-laki.

Remaja yang ikut berdemonstrasi juga berisiko. Jika bergabung dalam unjuk rasa yang tak mendapat izin aparat keamanan, demonstran bisa ditangkap dan ditahan sampai dua hari. Guru sekolahnya, kata Olga, tak melarangnya. “Saya belajar dengan sangat baik dan lulus dari sekolah dengan baik. Karena itu, para guru mempercayai saya. Karena tahu saya pergi ke demonstrasi, mereka hanya meminta saya lebih berhati-hati,” katanya.

Pengalaman pertamanya ditangkap polisi pada Juni 2019, saat ia ikut berdemonstrasi mendukung Ivan Golunov. Golunov adalah jurnalis investigasi yang bekerja untuk sejumlah media, termasuk Meduza. Salah satu obyek investigasinya adalah pendapatan keluarga Wakil Wali Kota Moskow. Polisi menangkap pria 36 tahun itu pada 7 Juni lalu karena dugaan kepemilikan sabu. Pendukung Golunov menyebut kasus ini sebagai rekayasa polisi.

Penangkapan ini memicu aksi solidaritas dari sesama jurnalis serta protes dari masyarakat sipil dan tokoh oposisi. Bahkan ada wartawan yang memberi solidaritas dengan berdemonstrasi seorang diri, unjuk rasa yang tak memerlukan izin polisi. Salah satu demonstrasi besar untuk mendukung Gulanov pecah pada 12 Juni lalu.

Karena tak mendapatkan izin, demonstrasi itu berakhir dengan penangkapan oleh polisi. Salah satu yang ditangkap adalah Alexei Navalny, pemimpin oposisi yang pernah berusaha menantang Vladimir Putin sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2018. Namun protes dan dukungan publik luas membuat Gulaov dibebaskan dari tahanan polisi pada 11 Juni. Pengadilan hanya mengenakannya tahanan rumah.

Setelah itu, Olga ikut kampanye memprotes pencoretan kandidat independen dalam pemilihan Duma Moskow. Ia mulai terlibat dengan ikut membagikan pamflet di Lapangan Trubnaya. Selebaran tersebut menyatakan bahwa para kandidat dari partai oposisi dan kubu independen itu dikeluarkan secara ilegal. Salah satu pamflet itu dibuat oleh Unlimited Protest, markas tim pemenangan Lyubov Sobol. Olga mengaku mendukung semua kandidat oposisi, tapi Sobol adalah salah satu favoritnya.

Saat membagikan pamflet, ia sempat didatangi polisi. Karena tak ada pelanggaran yang dilakukan, mereka lantas pergi. Namun, pada 26 Juli lalu, polisi datang, memotret selebarannya, dan membawanya ke kantor polisi. Salah satu polisi penangkapnya bernama Oreshin. Olga berusaha mempertanyakan alasan penangkapan, tapi diabaikan. Setelah ditahan selama tiga jam, ia dibebaskan.

Penangkapan itu tak membuat Olga jera. Ia kembali ikut turun ke jalan keesokan harinya. Awalnya ia datang bersama dua temannya di Jalan Tverskaya, sekitar pukul 14.05. Tak berselang lama, mereka berpencar. Tapi semua jalan diblokade. Ia berusaha keluar melalui sebuah melalui halaman, tapi pintu keluarnya ditutup. Di dekatnya berkumpul massa demonstran.

Sekitar pukul 15.00, Olga mendekati barisan pertama polisi anti-huru-hara dan kemudian membaca dengan keras Pasal 31 Konstitusi Rusia, yang isinya menyatakan bahwa berkumpul itu sah. “Saya mencoba menunjukkan Konstitusi itu kepada polisi anti-huru-hara dan saya menunggu mereka memberi perintah untuk menahan saya,” tuturnya. Para demonstran yang melihat tindakan berani Olga itu bertepuk tangan dan menyemangatinya membaca isinya lebih banyak.

Sekitar pukul 16.50, kerumunan massa bubar. Orang-orang pergi ke arah yang berlawanan, Olga pergi ke arah polisi anti-huru-hara dan bertanya apakah ia bisa lewat karena hendak ke stasiun metro Pushkinskaya. Polisi mempersilakannya. Ia pun melintasi gedung Kementerian Pendidikan, lalu Balai Kota. Setelah berjalan sekitar 500 meter, Olga ditangkap polisi. Ada kemungkinan polisi mengenalinya dari Indefinite, salah satu logo para pemrotes, di baju yang dikenakannya. Mereka memasukkan Olga ke truk polisi bersama 21 tahanan lain. Di sana, dia bertemu dengan Oreshin. “Kamu lagi,” kata polisi yang menangkap Olga sehari sebelumnya.

Menurut Olga, polisi menyita semua barang pribadi orang yang ditangkap dan menutup jendela kendaraan, yang membuat para tahanan kesulitan bernapas. Saat itu, ada dua tahanan menderita asma. Mereka yang tidak mau menyerahkan telepon selulernya didorong ke lantai truk dan dibawa pergi dengan paksa. Beberapa orang tampak dipukuli. Polisi sengaja merokok di dalam gerbong sehingga membuat udara pengap. Sekitar dua jam kemudian, mereka tiba di kantor polisi. Olga baru dibebaskan pukul 4 pagi keesokan harinya.

Olga punya alasan terlibat demonstrasi di Moskow. “Pemilihan Duma Moskow tidak benar-benar menjadi perhatian saya. Tapi ketidakadilan selalu mempengaruhi setiap orang,” ujar mahasiswa jurusan jurnalisme di Moscow State University itu. “Hari ini terjadi di Duma Kota Moskow, besok gubernur, seminggu kemudian Kepala Distrik Voskresensky. Ini hanya masalah waktu.”

ABDUL MANAN (MEDUZA, RUSSIALIST, REUTERS)

Majalah Tempo, 8 September 2019

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236