Skip to main content

Damai Kembali di Christchurch

HARI masih pagi ketika se­orang pria berpakaian hi­tam-hitam dengan rompi ku­lit bertulisan “Mongrel Mob Waikato” menunggang sepe­da motor besar Harley-Davidson perlahan memasuki halaman masjid di Hamilton, Selandia Baru, Jumat, 22 Maret lalu. Hala­man masjid itu sudah mulai penuh oleh le­laki berkafiyeh dan perempuan berhijab yang hendak menunaikan salat Jumat.
Tapi di tengah kaum muslim itu tam­pak pula sejumlah lelaki berbadan besar dengan kostum serba hitam dan rompi ­Mongrel. Tak lama kemudian, muncul le­laki bertubuh besar dengan lengan berta­to: pemimpin Mongrel Mob Waikato, Son­ny Fatu. Ya, Mongrel Mob, geng motor ter­besar di Selandia Baru yang beranggota sekitar 400 orang, menunaikan janjinya menjaga kaum muslim yang beribadah si­ang itu.

“Kami akan mendukung dan membantu saudara muslim kami selama mereka mem­butuhkan kami,” kata Fatu kepada Presi­den Perhimpunan Muslim Waikato, Asad Mohsin. “Kami juga punya saudara muslim di dalam organisasi kami. Kami punya ke­luarga yang juga muslim.”

Fatu mengungkapkan, wakilnya me­­ngabari bahwa ada sejumlah saudara mus­lim yang khawatir menjalankan salat Jumat dan bertanya apakah mungkin bisa diban­tu agar mereka dapat beribadah dengan te­nang. “Tentu akan kami lakukan. Kami tak bersenjata. Kami akan mengamankan de­ngan damai bersama anggota komunitas lain agar mereka merasa tenang,” tutur­nya.

Dukungan Mongrel ini keluar sebagai tanggapan atas insiden penembakan 15 Maret lalu di Christchurch. Pria Austra­lia, Brenton Tarrant, memberondongkan peluru senjata semi-otomatis di Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood yang menewas­kan 50 orang dan mencederai 50 lainnya. Berbagai pihak menyatakan dukungan de­ngan berbagai cara kepada kaum muslim di negeri tersebut. Bahkan Black Power, geng motor pesaing Mongrel, turut mendu­kung.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern kemudian mengumumkan kebijak­an pelarangan semua senjata semi-otoma­tis model militer, senapan serbu, dan ma­gasin amunisi berkapasitas tinggi pada Ka­mis, 21 Maret lalu. Kebijakan baru ini akan berlaku pada 11 April nanti. “Apa yang kami larang hari ini adalah hal-hal yang diguna­kan dalam serangan Jumat lalu,” ujarnya.

Pemerintah juga berencana menarik senjata-senjata api tersebut, yang jumlah­nya ditaksir 1,2-1,5 juta pucuk. “Ini langkah sangat berani,” kata Philip Alpers, akade­mikus University of Sydney yang mengelo­la GunPolicy.org, lembaga riset senjata.

Mongrel bahkan mengganti seruan “sieg heil” (“sambut kemenangan”)—sapaan yang diasosiasikan dengan Nazi Jerman—yang sudah lama mereka pakai. Mereka menggantinya dengan “Mongrel Mob” se­bagai respons atas insiden tersebut.

Dampak serangan teror di Selandia Baru itu juga merambah negara tetangganya, Australia. Will Connolly, remaja 17 tahun asal Melbourne, mendadak jadi bintang dengan julukan “Egg Boy” setelah mela­kukan tindakan tak biasa: mengepruk be­lakang kepala Fraser Anning, senator asal Queensland, dengan telur. Anning dikenal punya sikap keras terhadap imigran. Sikap itu membuatnya dituding sebagai rasis dan pendukung fasis.

Pada Agustus 2018, Anning membuat kehebohan saat berpidato di hadapan Se­nat Australia dengan menyerukan “solusi akhir” untuk para imigran muslim. Pilihan kata itu mengingatkan pada bagaimana pe­mimpin Nazi, Adolf Hitler, menggambar­kan rencananya yang kemudian dikenal se­bagai Holocaust: 
pemusnahan kelompok etnis Yahudi. Anning menolak meminta maaf atas ucapan itu karena tidak bermak­sud merujuk pada Nazi.

Anning kembali membikin keributan ke­tika mengomentari teror di Christchurch. Selang beberapa jam setelah tragedi itu, ia mencuit bahwa orang Islam “mungkin menjadi korban (terorisme) hari ini. Bia­sanya mereka adalah pelakunya”. Cuitan lainnya: “Penyebab sebenarnya pertum­pahan darah di jalan-jalan Selandia Baru hari ini adalah program imigrasi yang me­mungkinkan kaum fanatik muslim bermi­grasi ke Selandia Baru.”

Pernyataan ini menuai kecaman luas. “Pernyataan Senator Fraser Anning, yang menyalahkan serangan pembunuhan oleh teroris ekstremis sayap kanan di Selandia Baru pada soal imigrasi, memalukan,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison.

Hari berikutnya, Anning berpidato di depan pendukungnya di Moorabbin, Mel­bourne. Will Connolly berdiri sangat de­kat dengannya. Saat itulah Connolly me­ngeprukkan telur ke bagian belakang kepa­la Anning dengan tangan kanan sambil me­rekam aksinya menggunakan telepon selu­ler di tangan kiri.

Anning membalas dengan mendorong wajah Connolly. Suasana pun kacau. Be­berapa orang mencoba menenangkan An­ning. Yang lain meringkus Connolly. Pemu­da itu sempat diperiksa polisi, tapi kemudi­an dibebaskan. Juru bicara kepolisian Vic­toria menyatakan akan menyelidiki kasus ini.

Setelah dilepas polisi, Connolly mencu­it di Twitter. Dia mengaku “merasa sangat bangga sebagai manusia” ketika mengep­ruk Anning. “Muslim bukan teroris dan te­rorisme tidak punya agama. Semua orang yang menganggap muslim sebagai komu­nitas teroris berarti memiliki kepala ko­song seperti Anning,” cuitnya dengan tan­da pagar #EggBoy #eggAnning.

Polisi menyebut tindakan Connolly seba­gai penyerangan, tapi warganet justru me­rayakannya. Ia kemudian populer sebagai “Egg Boy” dan dinobatkan sebagai “pahla­wan”. Pengikutnya di Instagram membe­ludak menjadi lebih dari 340 ribu akun da­lam dua hari. Ia juga menerima lebih dari 30 ribu pujian dari seluruh dunia, terma­suk dari Belanda, Maroko, dan Mesir. Tagar #Eggboy sempat menjadi tren nomor satu di Mesir. “Anda pahlawan, kami bangga terhadap Anda, menyapa Anda dari ­Libya,” tulis seorang pengguna Twitter.

Pemilik akun Twitter, Caner Taslaman,­ bahkan memberinya tawaran ke Tur­ki secara gratis. “Halo Eggboy. Saya seo­rang profesor filsafat di Turki. Kami sangat menghargai apa yang Anda lakukan. Saya akan membayar tiket dan sepuluh hari di hotel bintang lima (di mana pun yang Anda inginkan di Turki). Jadilah tamu kami di Turki,” tulis Taslaman.

Connolly juga mendapat tawaran akses menonton konser seumur hidup dari se­jumlah grup musik Australia, seperti Hill­top Hoods dan Violent Soho. Selain itu, tin­dakannya mengilhami munculnya sejum­lah meme dan karya seni, termasuk poster kaus Connolly sebagai “Egg Boy” oleh Se­bastian White.

Pada saat yang sama, muncul pengga­langan dana GoFundMe untuk membia­yai upaya Connolly menghadapi kasus hu­kumnya dan membantunya membeli le­bih banyak telur. Dua hari setelah kampa­nye itu diluncurkan, Selasa, 19 Maret, dana yang terkumpul sudah mencapai US$ 40 ribu, melebihi target US$ 20 ribu. Connolly­ berencana mengalokasikan sebagian be­sar uang hasil donasi ini bagi korban Christ­church.

“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas dukungan dan cinta dari seluruh dunia yang luar bia­sa sejak hari itu. Jangan lupa teman-teman, kita semua, dalam hal ini, bersama-sama melawan rasisme dalam bentuk pun. Teri­ma kasih.” Itu cuitan terakhir Connolly se­belum akunnya ditangguhkan Twitter.

Reaksi keras publik di media sosial dan kecaman tak mengubah sikap Fraser An­ning. “Dia mendapat tamparan di wajah­nya, yang seharusnya diberikan ibunya se­jak dulu karena dia berperilaku buruk,” ka­tanya kepada wartawan. Senator itu juga menolak meminta maaf atas komentarnya.

Setelah itu, muncul petisi daring (online) melalui Change.org yang mendesak Anning didepak dari Parlemen Australia. Sampai Ahad, 17 Maret, petisi itu sudah mendapat lebih dari satu juta tanda tangan. Direktur Eksekutif Change.org Sally Rugg mengata­kan itu bukan hanya petisi dengan tanda tangan terbanyak sejak platform ini lahir, tapi juga yang paling cepat berkembang. Hampir 250 ribu akun terdaftar dalam 18 jam pertama sebelum mencapai 1 juta da­lam kurun dua hari. Dr Ahmad, penggagas petisi, menyebutkan besarnya dukungan ini “menunjukkan bahwa orang Australia tidak menenggang ucapan kebencian yang ekstrem dan sikap Senator Anning”.

ABDUL MANAN (NEW YORK TIME, SIDNEY MORNING HERALD, THE WEEK, WASHINGTON POST)

Majalah Tempo, 31 Maret 2019

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236