Skip to main content

Doa Panjang di Tham Luang

PEERAPAT Sompiangjai ditunggu orang tua dan sanak saudaranya seusai latihan sepak bola, 23 Juni itu. Keluarga telah menyiapkan kue untuk ulang tahunnya yang ke-16. Kerabatnya juga siap menghujani Peerapat dengan hadiah ketika dia melewati pintu rumahnya. Hanya, anak laki-laki yang memiliki nama panggilan Night itu tak kunjung pulang dari latihan bersama tim sepak bolanya, Wild Boars.
Keluarga mulai khawatir setelah keesokan harinya juga tak ada kabar dari Peerapat. Mereka lantas bertanya kepada keluarga dari 11 rekan anaknya, yang ternyata bernasib sama. Mereka pun melaporkan kehilangan anak-anaknya itu kepada aparat setempat. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui bahwa anak-anak itu kemungkinan besar ada di gua Tham Luang, yang terletak di Provinsi Chiang Rai.

Otoritas setempat menemukan sepeda, sepatu bola, dan barang pribadi anggota tim Wild Boars yang berjejer tak jauh dari mulut gua. Otoritas juga mengetahui bahwa Ekkapong Chanwong, 25 tahun, asisten pelatih tim sepak bola, memimpin anak-anak itu melakukan ekspedisi ke dalam gua. Saat mereka menjelajahi labirin bawah tanah gua, hujan lebat turun dan membanjiri semua jalan keluar. Mereka menghindar dari air yang meluap dengan masuk lebih dalam dan berhenti di tepian gua yang kering.

Tham Luang memiliki panjang 10 kilometer. Selain merupakan salah satu gua terpanjang di Thailand, Tham Luang paling sulit dinavigasi karena jalurnya meliuk-liuk dengan lorong-lorong yang sempit. Penduduk sudah diperingatkan agar mengingat musim saat hendak masuk gua. Di luar gua tertulis peringatan agar pengunjung tidak memasuki gua selama musim hujan antara Juli dan November.

Ekkapong dan anggota tim Wild Boars memang membawa senter, tapi energinya habis seperti halnya nasib persediaan makanan ringan yang mereka bawa. Dengan makanan yang menipis dan berhari-hari dalam gelap, mereka baru ditemukan sembilan hari kemudian dan diselamatkan semuanya pada Selasa pekan lalu. "Kami tidak yakin apakah ini keajaiban, ilmu pengetahuan, atau apa. Tiga belas anggota tim Wild Boars sekarang keluar dari gua," tulis Navy SEAL Thailand dalam media sosialnya seusai operasi penyelamatan.

l l l

SAAT para pemain tim sepak bola Wild Boars terjebak di dalam gua, Narongsak Osottanakorn mendekati akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Chiang Rai. Ia menjadi ketua tim penyelamat, memimpin Navy SEAL Thailand serta pasukan penyelamat dan penyelam dari berbagai negara. Tim internasional itu bergabung setelah kabar pencarian anak-anak di dalam gua tersebar luas. Selain meminta bantuan tim sukarela, pemerintah Thailand meminta bantuan Amerika Serikat dan Inggris. Amerika mengirimkan personel dari pangkalannya di Okinawa, Jepang. Inggris mengirimkan tim penyelamat, termasuk penyelam senior John Volanthen dan Richard Stanton.

Saat pencarian di dalam gua berlanjut, ahli geologi mulai mengebor gua dari luar, mencari bukaan lahan tersembunyi atau area yang tampak menjanjikan untuk menggali kemungkinan membangun jalan keluar darurat. Namun tim penyelamat segera menyadari bahwa gua itu terlalu dalam dan bebatuannya terlalu tebal untuk menciptakan jalan keluar alternatif bagi mereka yang terperangkap.

Setelah melakukan pencarian selama sembilan hari, kabar baik datang pada 2 Juli. Saat itu penyelam John Volanthen dan Richard Stanton memasang tali pengaman di area gua. Keduanya melewati sebuah "T-junction", salah satu celah sempit yang lebarnya hanya sekitar 38,1 sentimeter. Setelah melewati kolam air bernama Pattaya Beach, yang jaraknya 4 kilometer dari mulut gua, keduanya terkejut melihat 12 anak-anak dan pelatih mereka berkerumun di dataran gua yang kering dalam kegelapan.

"Ada berapa orang bersamamu?"
"Tiga belas," kata seorang anak.

Penyelam Inggris itu lantas memberi tahu bahwa anggota tim penyelamat lain akan segera datang. Ketika kabar penemuan ini sampai di pangkalan operasi penyelamatan, suasana euforia meledak, meski tak berumur lama. Setelah lokasi ditemukan, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana mengeluarkan anak-anak yang sebagian besar tidak bisa berenang dan tak punya pengalaman menyelam itu melewati celah gua yang sempit dan penuh air.

Chiang Rai juga diprediksi mengalami hujan lebat, yang akan membuat banyak area gua tergenang dan lebih menyulitkan upaya penyelamatan. Kadar oksigen di dalam gua pun terus turun dan itu bisa membahayakan. "Kami berjuang melawan waktu dan air untuk menyelamatkan 13 nyawa ini," ujar Narongsak Osottanakorn.

Sambil mencari alternatif cara penyelamatan, tim berusaha memompa ribuan galon air setiap hari keluar dari gua untuk mengurangi genangan. Penyelamat lain menggunakan palu untuk memperlebar sejumlah celah sempit di dalam gua agar tidak terlalu rumit dilalui saat operasi penyelamatan.

Anak-anak dan pelatihnya yang kehabisan makanan diberi jatah ransum militer, seperti kue keping cokelat, biji kopi berlapis cokelat, dan paket gel berprotein tinggi. Tiga anggota Navy SEAL dan seorang tenaga medis ditempatkan bersama mereka untuk mengobati luka-luka ringan dan menenangkannya. Para teknisi juga berusaha memasang saluran komunikasi ke "ruang sembilan"-sebutan untuk tempat anak-anak itu ditemukan-agar terhubung dengan dunia luar.

Bagi Narongsak, yang paling mengkhawatirkan adalah cuaca. Musim hujan di utara Thailand berlangsung mulai Mei hingga November. Laporan cuaca memperkirakan di wilayah Chang Rai segera turun hujan lebat. Beberapa pejabat menyarankan agar menunggu sampai cuaca membaik dan gua itu kering sehingga anak-anak dan pelatih mereka bisa keluar tanpa harus melakukan penyelaman.

Ide itu akhirnya tidak dipilih karena kadar oksigen menurun drastis di dalam gua. Upaya menyuplai anak-anak itu dengan persediaan makanan untuk bertahan hidup selama berminggu-minggu juga bukan opsi yang bisa terus dilakukan. Tim makin terpacu untuk melakukan operasi penyelamatan setelah penyelam sukarela yang pensiunan Navy SEAL Thailand, Saman Gunan, meninggal seusai operasi mengirimkan tangki udara tambahan di dalam gua. "Awalnya kami pikir anak-anak itu bisa di sana lebih lama... tapi sekarang situasinya berubah. Kami memiliki waktu yang terbatas," kata Komandan Navy SEAL Thailand Apakorn Yookongkaew.

Tim memang berusaha mengurangi air dengan memompanya keluar, tapi jumlah air terlalu banyak. Narongsak Osottanakorn mengatakan air benar-benar naik di bagian tengah gua dan itu bisa menutup lebih banyak lorong yang mengarah ke tempat anak-anak dan pelatih Wild Boars berada. Pada 7 Juli, tim membuat keputusan soal rencana penyelamatan: membawa anak-anak dan pelatih itu keluar satu per satu bersama para penyelam. Itu adalah satu-satunya pilihan terbaik yang mereka miliki.

Keesokan harinya, pukul 10 pagi waktu setempat, 19 penyelam memasuki gua dengan 70 penyelamat lainnya dan tim medis yang ditempatkan secara strategis di atas rentang sekitar 4 km dari mulut gua ke tempat anak-anak dan pelatih itu menunggu untuk diselamatkan. Tabung oksigen ditempatkan lebih dulu di sepanjang rute evakuasi untuk mengisi persediaan bila diperlukan.

Satu per satu, anak-anak itu dilengkapi pakaian selam. "Seorang bocah laki-laki sangat kecil sehingga pakaian khusus harus dibuat untuknya," ujar Bill Whitehouse, Wakil Ketua Komite Penyelamat Inggris, kepada ABC News.

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, penguasa militer negara itu, mengklarifikasi kabar bahwa anak-anak itu dibius sebelum dievakuasi. "Itu anxiolytic, suntikan untuk membuat mereka tidak cemas," ujarnya.

Setiap anak ditempatkan di atas tandu yang fleksibel dan diikat erat dengan tali. Tangki oksigen diposisikan di sisinya dan pengatur pernapasan dipasang ke mulutnya. Setelah itu, tim penyelamat di "ruang sembilan" dengan hati-hati menurunkan setiap anak ke dalam air, membawanya melewati lorong-lorong gua yang sempit.

Mayor Charles Hodges, komandan operasi Amerika untuk misi mendukung pencarian dan penyelamatan di Thailand, menyatakan, sempat menjadi tanda tanya apakah semua bocah akan berhasil keluar dari gua hidup-hidup. "Kami tahu ini sangat berisiko dengan kemungkinan keberhasilan yang kecil," katanya.

Setelah melewati air yang dalam tempat anak-anak itu terendam hingga sampai setengah jam, mereka lantas dialihkan kepada tim penyelamat lain yang sudah menunggu. Anak-anak itu dibawa dengan diikat pada tandu, naik dan turun di jalanan gua yang licin, kadang-kadang menggunakan tali dan katrol untuk melewati jalan yang berbahaya di sepanjang rute evakuasi.

Pada satu titik, setidaknya 30 anggota tim penyelamat membentuk semacam barikade untuk mengantar para bocah sampai ke mulut gua, tempat tim medis menunggu untuk langsung memeriksa dan mengobati mereka. Setelah itu, anak-anak tersebut langsung dilarikan ke Rumah Sakit Chiang Rai Prachanukroh. Dalam operasi penyelamatan pertama yang berlangsung 11 jam itu, empat anak bisa dikeluarkan.

Setelah sukses melakukan operasi pertama, tim penyelamat butuh waktu sekitar 10 jam untuk mengisi ulang tabung oksigen dan melakukan persiapan ulang. Hujan yang diperkirakan datang ternyata tak turun. Ini memberi mereka kesempatan untuk memompa oksigen ke dalam gua dan mengeluarkan lebih banyak air untuk memperlancar operasi penyelamatan kedua, 9 Juli. Penyelamatan kedua dilakukan pada Senin pagi dengan metode dan tim yang sama. Perbedaannya, operasi penyelamatan kedua, yang berhasil membawa keluar empat anak, membutuhkan waktu lebih cepat satu jam.

Keberhasilan operasi penyelamatan pertama dan kedua meningkatkan semangat tim, yang beranggotakan sekitar 1.000 orang dan dipimpin Narongsak Osottanakorn. Operasi yang terakhir adalah mengeluarkan empat anak dan pelatihnya, keesokan harinya. Salah satu anak yang akan diselamatkan adalah Chanin "Tun" Wiboonrungrueng, 11 tahun.

Dalam surat kepada keluarganya yang ditulis setelah ia ditemukan oleh penyelam Inggris, siswa Sekolah Mae Sai Prasitsart ini mengirimkan kabar, "Ayah, Ibu, jangan khawatir. Saya baik-baik saja." Ia juga berpesan agar disiapkan ayam goreng begitu diselamatkan.

Saat teman-teman Chanin di Sekolah Mae Sai Prasitsart mendoakan keselamatannya, tim penyelamat memulai operasinya pada pukul 10 pagi. Sekitar sembilan jam kemudian, doa para siswa itu terjawab: kelimanya keluar dengan selamat. "Hampir tidak bisa dipercaya," kata Narongsak soal keberhasilan penyelamatan ini.

Sekitar dua jam setelah penyelamatan terakhir dan hampir semua awak keluar dari dalam gua, datang hujan badai. Pompa yang telah digunakan untuk mengeluarkan air dari gua juga rusak. Labirin bawah tanah gua kembali tergenang. "Jika saya menunggu (satu hari) lagi, saya pikir (itu) akan sangat sulit bagi kami karena hujan datang," ujar Narongsak.

Abdul Manan (Aabc News, Guardian, Reuters, Channelnewsasia, Newscom.au)

Majalah Tempo, 22 Juli 2018

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236