Skip to main content

Jejak Firma Tuan Bond

COMMON Cause adalah organisasi independen, nonpartisan, dan bermoto "Menuntut para pemegang kekuasaan untuk bertanggung jawab". Organisasi yang dirintis senator Republik, John W. Gardner, yang berkantor pusat di Washington, DC, Amerika Serikat, ini meminta Kementerian Kehakiman mengambil tindakan terhadap Cambridge Analytica karena keterlibatannya dalam pemilihan Presiden Amerika dan mengeksploitasi data pribadi 50 juta pengguna Facebook. 

Dalam suratnya kepada Wakil Jaksa Agung Rod J. Rosenstein, Common Cause menyatakan Cambridge Analytica dan para eksekutifnya perlu diperiksa. "Kami meminta Kementerian Kehakiman menyelidiki semua kemungkinan dugaan pelanggaran mereka terhadap Undang-Undang Kampanye Pemilihan Umum, hukum pidana, dan hukum federal lain," demikian bunyi surat itu, Senin pekan lalu.

Cambridge Analytica merupakan anak perusahaan Strategic Communication Laboratories (SCL) Group yang bermarkas besar di London, Inggris. Perusahaan konsultan ini menjadi sorotan luas setelah salah satu karyawannya, Christopher Wylie, mengungkap informasi bahwa Cambridge memanfaatkan secara tidak sah data jutaan pengguna Facebook untuk kampanye pemenangan Donald Trump menjadi Presiden Amerika. Selain itu, dia diperiksa Inggris karena diduga melanggar hukum saat terlibat referendum Brexit.

Cambridge baru berdiri lima tahun lalu, tapi SCL Group sudah ada 10 tahun sebelumnya. Pendirinya adalah pria berkebangsaan Inggris, Nigel Oakes, yang juga mantan produser televisi dan mantan eksekutif perusahaan periklanan Saatchi & Saatchi. SCL Group merupakan perusahaan kehumasan yang bekerja untuk pemerintah, politikus, dan militer di seluruh dunia.

SCL menyebutkan keahlian perusahaannya adalah "perang psikologi" dan "operasi mempengaruhi". Melalui pemahaman canggih tentang psikologi manusia, perusahaan ini mengklaim bisa mempengaruhi target yang diinginkan kliennya. Belakangan, jargon yang sering dipakai untuk menarik minat adalah sebagai ahli "big data" dan "psycological profiling".

Perusahaan ini mengklaim telah menangani lebih dari seratus kampanye pemilihan umum di seluruh dunia. Menurut media Inggris, The Independent, salah satu jejaknya di Asia ada di Indonesia, selain di Thailand. Di Indonesia, kliennya adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, politikus Partai Kebangkitan Bangsa yang menjadi presiden melalui sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1999.

Dalam operasinya di Jakarta, tulis The Independen, Oakes mendirikan "pusat operasi", sebuah ruangan yang penuh lusinan komputer dan layar televisi raksasa yang didesain mengesankan. Model dan tata letak ruangnya menyerupai ruangan dalam film mata-mata James Bond tahun 1995, GoldenEye. "Fungsi utama ruangan itu tampaknya hanya seperti hiasan. Itu seperti tata letak dalam film untuk membuat kliennya terkesan," kata seorang pejabat Indonesia, seperti dikutip media itu.

Selama di Indonesia, Oakes tinggal di hotel-hotel mewah. "Kami tidak tahu apa tujuan dari semua itu. Kami hanya melakukan apa yang dia minta," kata seorang kontraktor yang bekerja untuk Oakes, sebagaimana dikutip The Independent. "Kami memanggilnya Tuan Bond karena dia orang Inggris dan karena dia juga misterius."

Proyek Oakes di Indonesia adalah memperbaiki citra Gus Dur, yang saat itu menghadapi krisis politik dalam negeri. Menurut The Independent, Oakes menemui putrinya, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid, pada Juni 2000. Yenny belum menanggapi saat Tempo hendak meminta konfirmasi soal ini. Mantan Kepala Rumah Tangga Presiden Gus Dur, Wahyu Muryadi, mengaku tak tahu soal itu. "Saya tidak pernah berhubungan dengan orang itu," ujarnya Selasa pekan lalu.

Menurut The Independent, operasi Nigel Oakes tak berhasil karena tak bisa mencegah kejatuhan Gus Dur pada 2001. Kehadiran "ruang operasi" ini juga bocor ke media, yang kemudian berujung pada penutupannya pada 2001. Seorang diplomat Indonesia mengatakan SCL Group sempat meminta bantuan agar mendapat klien politikus, tapi upaya itu tampaknya tak membuahkan hasil.

Setelah serangan teroris 11 September 2001 di Amerika, SCL mengubah citra lembaganya menjadi konsultan yang ahli dalam antiteror. Pada kurun inilah Alexander Nix, salesman berbakat, bergabung. Pada 2012, SCL tercatat memenangi serangkaian kontrak menjadi konsultan dalam sejumlah pemilihan di berbagai negara.

Salah satu kliennya Uhuru Kenyatta, calon Presiden Kenya dalam pemilihan umum 2013. Saat itu Kenyatta sedang didakwa atas kejahatan terhadap kemanusiaan di Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda. Tuduhan tersebut akhirnya dibatalkan karena kurangnya bukti. Maret 2013, Kenyatta memenangi kursi presiden dengan perolehan 50,1 persen suara. Selain di Kenya, klien lain Cambridge ada di Guyana dan Ghana.

Saat itu, menurut New Yorker, SCL tidak pernah berusaha mengambil bagian dalam kampanye pemilihan umum Amerika sampai Nix pergi ke sana pada 2013. Steve Bannon mendengar sepak terjang SCL ini. Bannon, selain menjadi editor Breitbart News, juga penasihat donatur utama Partai Republik, Robert dan Rebekah Mercer. Bannon lantas memperkenalkan Cambridge ke Mercer. SCL mengklaim dapat menyusun target politik dengan memanfaatkan model kepribadian individual, bukan lagi sekadar demografi berdasarkan umur, ras, dan gender seperti pada umumnya. SCL juga mengklaim dapat menyesuaikan pesan untuk menyasar target lebih baik berdasarkan kepribadian khusus mereka.

Mercer setuju dengan proposal tersebut dan menyediakan dana US$ 15 juta. Mereka lantas membuat perusahaan baru bernama Cambridge Analytica, yang sebagian besar sahamnya dimiliki Robert Mercer, dengan eksekutif SCL Group, Alexander Nix, sebagai CEO-nya dan Steve Bannon sebagai wakilnya. Christopher Wylie, yang belakangan menjadi whistleblower, bergabung pada masa-masa awal ini.

Cambridge menangguk data pribadi pengguna Facebook, yang kini diributkan, dari Aleksandr Kogan, akademikus Rusia-Amerika di University of Cambridge. Kogan mendapat izin dari Facebook untuk menarik data melalui aplikasi yang ia buat. Tapi ia mengklaim akan menggunakan data ini hanya untuk tujuan akademis, bukan komersial.

Aplikasi buatan Kogan, This is My Digital Life, adalah kuis kepribadian yang bisa diunduh pengguna Facebook. Namun, untuk mengambilnya, pengguna harus setuju untuk memberikan akses aplikasi ke profil Facebook mereka dan teman-teman mereka. Lebih dari 270 ribu orang menggunakan aplikasi ini. Karena mereka setuju untuk memberikan akses ke profil teman-teman mereka, Kogan akhirnya bisa mengumpulkan data 50 juta pengguna.

Menurut Wylie, Cambridge adalah otak di balik operasi untuk mendapatkan data pengguna melalui Facebook tersebut. "Perusahaan ini mengalokasikan sekitar US$ 7 juta untuk data ini," ujar Wylie kepada The Observer.

Facebook mengetahui bahwa Kogan telah melanggar aturannya dengan meneruskan informasi data pengguna kepada pihak ketiga pada 2004. Ketika mengetahui pelanggaran ini pada 2015, Facebook menghapus aplikasi itu serta meminta Kogan dan pihak ketiga lainnya menghancurkan informasi tersebut.

Cambridge, dalam siaran persnya, mengaku sudah menghapus data tersebut. Namun mantan karyawan Cambridge mengatakan kepada The New York Times bahwa data itu masih ada di server perusahaan.

Kogan secara terpisah mengaku tidak menyangka aplikasinya disalahgunakan. "Saya hanya dijadikan kambing hitam oleh Facebook dan Cambridge Analytica," ujarnya.

Tak lama setelah berdiri, Cambridge menangani kampanye politik untuk sejumlah tokoh lokal. Setelah itu mereka berkesempatan menjadi konsultan Ted Cruz saat maju sebagai calon presiden dari Demokrat pada 2015, tapi tidak lolos. Kemudian, Cambridge mendapat klien lain : Donald Trump. Bannon juga yang memperkenalkan Cambridge kepada tim kampanye Trump sampai akhirnya resmi menjadi konsultan calon presiden dari Partai Republik itu pada 23 Juni 2016.

Sedangkan tim digital Trump dijalankan oleh Parscale dari sebuah kantor di San Antonio, Texas, dan Cambridge mengirim 13 orang untuk bekerja bersama mereka di sana. Catatan Komisi Pemilihan Federal menunjukkan bahwa Tim Kampanye Trump membayar Cambridge US$ 5,9 juta atau sekitar Rp 81 miliar selama sisa kampanye dan sekitar Rp 41 miliar mengalir ke Cambridge melalui Parscale.

Cambridge Analytica, menurut Vanity Fair, menugasi setidaknya 20 warga negara non-Amerika untuk bekerja pada kampanye kongres dan legislatif Amerika untuk kandidat Partai Republik pada 2014. Pengacara New York, Lawrence Levy, sudah memperingatkan petinggi Cambridge soal potensi pelanggaran hukum soal ini. Dalam sebuah memo, ia memberi nasihat agar Alexander Nix "menjauhkan diri dari manajemen substantif dari setiap klien yang terlibat dalam pemilihan Amerika". Sebab, keterlibatan pihak asing dilarang dalam pemilihan umum Amerika.

Menurut Wylie, Cambridge mengabaikan peringatan itu. Satuan tugas yang mengerjakan program itu sepenuhnya orang asing. Trump memenangi pemilihan presiden dan berhasil mengalahkan Hillary Clinton pada pemilihan November 2016.

Ketua Komite Kehakiman Senat Amerika Charles Grassley, Senin pekan lalu, meminta CEO Facebook Mark Zuckerberg dan CEO Cambridge Analytica Alexander Nix memberi kesaksian di hadapan kongres soal ini pada Selasa pekan depan.

Komisi Perdagangan Federal Amerika, Senin pekan lalu, menyatakan telah memulai penyelidikan apakah Facebook melanggar kesepakatan 2011, yang salah satu isinya berjanji melindungi privasi pengguna.

Cambridge Analytica tak hanya berurusan dengan aparat penegak hukum Amerika, tapi juga Inggris. Penyebabnya adalah ditemukannya jejak konsultan ini dalam kampanye referendum bagi warga Inggris untuk tetap di dalam atau memilih keluar dari komunitas Uni Eropa alias "Brexit".

Menurut Bloomberg, pada November 2015, organisasi Leave.EU, yang terkait dengan Partai Independen Inggris, menyewa konsultan untuk mendukung idenya. Salah satu yang disewa adalah Cambridge Analytica, yang akan membujuk para pemilih agar mendukung "Brexit." Saat itu, jajak pendapat terakhir Survation, yang ditugasi oleh Leave.EU, menunjukkan 42 persen orang akan memilih tetap di dalam blok Uni Eropa dan 40 persen memilih keluar.

Cambridge kembali muncul dalam kampanye Brexit melalui lembaga lain, BeLeave. Soal ini diungkap Shahmir Sanni, salah satu pengelolanya. Direktur perusahaan ini mahasiswa 23 tahun, Darren Grimes. Sunni menuding Vote Leave mungkin telah melanggar peraturan soal referendum di Inggris itu.

Sanni menyebutkan ada sumbangan 625 ribu pound sterling (Rp 12 triliun) disalurkan ke BeLeave dan kemudian diteruskan ke perusahaan layanan digital AggregateIQ (AIQ), yang disebut punya hubungan dengan Cambridge Analytica. Sumbangan itu, menurut Sanni, ada kemungkinan melanggar aturan pemilihan karena Vote Leave memiliki kantor yang sama dengan BeLeave. Sebab, Inggris mengharuskan kelompok kampanye tetap mematuhi batas penerimaan sumbangan.

Menurut Vanity Fair, karyawan AggregateIQ juga diketahui bekerja pada proyek SCL. Keterangan Wylie menguatkan soal ini dengan menyebut AIQ sebagai "departemen internal" Cambridge Analytica. Hasil referendum Inggris pada 23 Juni 2016 dimenangi kubu Brexit dengan 51,9 persen suara.

Sanni menyatakan, setelah Komisi Pemilihan membuka penyelidikan soal ini, tokoh-tokoh senior Vote Leave mulai menghapus jejak mereka dalam file bersama kedua lembaga tersebut. "Saya tahu Vote Leave curang.... Saya tahu orang dibohongi dan referendum itu tidak sah," tuturnya dalam wawancara dengan Channel 4.

Penyelidik dari Kantor Komisi Informasi (ICO) Inggris menggeledah kantor pusat Cambridge di London, Jumat dua pekan lalu. "Ini hanya satu bagian dari penyelidikan yang lebih besar dalam perkara penggunaan data pribadi untuk tujuan politik," ujar ICO sebelum penggeledahan.

Wylie juga diperiksa Komite Digital, Budaya, Media, dan Olahraga Parlemen Inggris, Selasa pekan lalu. Ia juga menyerahkan sejumlah bukti keterlibatan Cambridge soal pemanfaatan data pribadi pengguna Facebook. Cambridge membantah melakukan kesalahan sembari mengklarifikasi bahwa "Wylie kontraktor paruh waktu yang meninggalkan Cambridge pada Juli 2014 dan tak tahu langsung pekerjaan atau praktik perusahaan sejak tanggal tersebut."

Abdul Manan (the Independent, Guardian, Abc News, Reuters)

Majalah Tempo, 01 April 2018

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236