Setelah Raqqa Jatuh
OPERASI militer Murka Efrat, yang sudah setahun dipersiapkan oleh Pasukan Demokratik Suriah, dimulai di suatu pagi pada 6 Juni lalu. Pasukan gabungan Kurdi dan Arab itu menyerang Kota Raqqa, Suriah, dari tiga titik dengan perlindungan serangan udara oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Empat bulan kemudian, penyerbuan ke kota besar terakhir yang dikuasai milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu baru membuahkan hasil.
Saat serangan memasuki hari-hari terakhir, hanya sedikit dari sekitar seribu milisi ISIS yang bertahan di pusat kota. Sejumlah tokoh penting memilih mundur ke perbatasan Irak-Suriah.
Serangan penghabisan dilakukan pada Ahad dua pekan lalu. Dua hari kemudian, Raqqa dinyatakan bebas dari ISIS. "Game over," kata Rami Abdelrahman, Direktur Syrian Observatory for Human Rights, lembaga pemantau Suriah berbasis di Inggris.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menyebut jatuhnya Raqqa menjadi titik balik bagi ISIS. Dia menyadari bahwa milisi ini belum habis dan masih berbahaya. "Pekerjaan kita masih jauh dari selesai, tapi pembebasan Raqqa merupakan tonggak penting dalam perang global melawan ISIS. Kehilangan ISIS atas Raqqa tidak berarti pertarungan kita melawan ISIS sudah berakhir," ujarnya Kamis pekan lalu.
Amerika Serikat dan negara Barat lainnya mendeteksi sekitar 6.500 milisi ISIS yang mundur dan berlindung di sepanjang lembah Sungai Efrat di perbatasan Irak dan Suriah. Sejumlah analis memprediksi bahwa hilangnya kendali ISIS atas sejumlah teritorinya akan membuatnya kembali ke akar, yaitu sebagai gerakan bawah tanah, mengaktifkan sel terorisnya, dan memperkuat para afiliasinya yang tersebar dari Afrika sampai Asia.
***
KEJATUHAN ibu kota ISIS itu sudah diprediksi. Organisasi yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi ini merebut sejumlah kota besar di Irak dan Suriah dengan cepat pada 2014 dengan memanfaatkan konflik di dua negara itu. Di Suriah, ada perebutan kekuasaan antara pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad yang didukung Iran-Rusia dan pasukan oposisi yang didukung Amerika Serikat. Di Irak, kelompok Sunni tidak puas terhadap pemerintah Bagdad yang didukung Amerika.
Setelah mendeklarasikan kekhalifahannya, Al-Baghdadi dengan mudah merebut sejumlah kota besar di Irak dan Suriah pada 2014, dimulai dari Raqqa pada Januari, lalu Mosul, Tikrit, Tal Afar, Deir ez-Zor, Sinjar, Dabiq, Kobani, dan Fallujah. Tahun berikutnya, giliran Ramadi dan Palmyra.
Tapi, seperti rumah kartu, satu per satu kota itu mulai lepas pada tahun berikutnya. Kekalahan simbolis awal ISIS adalah di Kota Dabiq, sekitar 10 kilometer dari perbatasan dengan Turki. Kota ini dilengkapi dengan nubuat sebagai tempat pertarungan terakhir antara muslim dan musuh "Romawi" mereka yang dikisahkan dalam sebuah hadis. Nabi Muhammad diyakini telah mengatakan bahwa "saat terakhir tidak akan datang" sampai kaum muslim mengalahkan orang-orang Romawi di Dabiq atau Al-Amaq dalam perjalanan mereka menaklukkan Konstantinopel (Istanbul).
Dabiq direbut kembali melalui operasi militer Perisai Efrat oleh pasukan oposisi Suriah yang didukung Turki. Jet tempur dan artileri membombardir kota tersebut selama 10 hari. Setelah itu, sekitar 2.000 tentara oposisi masuk kota dengan dukungan tank dan artileri tentara Turki. Sebanyak 1.200 milisi ISIS sempat memberi sedikit perlawanan sebelum mundur ke arah selatan pada 16 Oktober 2016.
Berikutnya adalah Mosul. Ini kota terbesar yang dikuasai ISIS dan bersejarah karena menjadi tempat Al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahannya pada 29 Juni 2014. Sementara ISIS hanya butuh beberapa hari untuk menaklukkan Mosul pada 2014, pasukan Irak butuh lebih dari delapan bulan untuk merebutnya kembali.
Bukan tanpa alasan ISIS mudah menguasai Mosul. "Sembilan puluh persen dari orang-orang di Mosul adalah keluarga ISIS," kata Komandan Pasukan Irak, Letnan Kolonel Jabbar Mustafa. Umelto Labetubun, pekerja kemanusiaan yang pernah bertugas di Mosul, menyebutkan daerah itu merupakan salah satu pendukung Partai Baath di era Saddam Hussein. Kebencian warga Mosul terhadap pemerintah Syiah di Bagdad ikut melancarkan kemajuan pesat milisi ISIS saat menguasai daerah tersebut.
Pertempuran antara pasukan Irak, yang didukung serangan udara koalisi pimpinan Amerika, dan milisi ISIS membuat Mosul luluh-lantak. Salah satu korbannya adalah Masjid Nouri. Masjid yang dibangun pada abad ke-12 ini bertahan dari serbuan kerajaan Mongol, Ottoman, Inggris, dan bahkan invasi Amerika. Tapi, dua hari sebelum kota itu jatuh, milisi ISIS meledakkan masjid tempat Baghdadi pernah mengumumkan kekhalifahannya tersebut. Mosul dibebaskan pada 21 Juli lalu.
Menurut Umelto Labetubun, kehancuran terparah terjadi di Mosul Barat. Saat pasukan Irak masuk ke Mosul Timur, daerah yang dihuni warga kelas menengah Irak itu memang sulit dipertahankan milisi ISIS, yang kemudian memilih mundur ke Mosul Barat. "Saat direbut, kerusakan di Mosul Timur itu sekitar 30 persen," ujarnya kepada Tempo.
Milisi ISIS bertahan di Mosul Barat, yang populasi penduduk dan rumahnya sangat padat. "Rumah yang padat di kawasan itu membuat kerusakan lebih besar saat terjadi pengeboman," kata Labetubun. Dia menaksir kerusakan daerah itu mencapai 70 persen.
Kejatuhan Mosul diikuti oleh Deir ez-Zor, kota di wilayah Suriah yang berada di dekat perbatasan dua negara. Militer Suriah, yang didukung Angkatan Udara Rusia, merangsek ke kota itu dan membebaskannya pada 10 September lalu. Sebelumnya, pasukan Suriah membebaskan Kota As-Sukhnah pada 14 Agustus lalu. Lepasnya Deir ez-Zor membuat ISIS hanya memiliki satu kota besar yang masih dikuasainya: Raqqa.
Penyerbuan ke Raqqa dilakukan oleh pasukan gabungan Kurdi dan Arab yang didukung Amerika. Pengambilalihan Raqqa berlangsung lima bulan, lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk merebut Mosul. Saat akhirnya lepas dari ISIS pada 17 Oktober lalu, Raqqa rusak parah. Listrik dan air tidak ada. Hanya sekitar 1 persen dari total populasi 300 ribu yang bertahan. Selebihnya mengungsi.
Setelah Raqqa jatuh, milisi ISIS yang tersisa sekitar 6.500 orang, yang mundur ke sepanjang Lembah Sungai Efrat di kedua sisi perbatasan Irak-Suriah. "Anda berharap dapat melihat arus besar pejuang ISIS yang keluar dari Suriah dan Irak. Kami sama sekali tidak melihatnya," tutur Kepala Staf Gabungan Militer Amerika Serikat Jenderal Joseph Dunford.
"Kami tidak melihat banyak arus keluar dari kekhalifahan inti karena sebagian besar orang tersebut sudah mati sekarang," kata Letnan Jenderal Kenneth F. McKenzie Jr., Direktur Staf Gabungan Kementerian Pertahanan Amerika.
Sejumlah analis dan militer Amerika Serikat berbeda pendapat soal nasib para milisi ISIS dan kekuatannya. Namun mereka satu kata bahwa milisi ISIS belum bisa dikatakan habis. Mereka memiliki jaringan sel yang canggih yang melakukan serangan atas nama ISIS, dari Afrika sampai Asia Tenggara. Salah satunya afiliasi ISIS di Niger, Afrika Barat, yang dianggap bertanggung jawab terhadap matinya empat tentara Amerika saat berpatroli.
Seorang jenderal senior Amerika mengatakan bahwa Afrika akan menjadi garis depan baru bagi Negeri Abang Sam melawan ISIS. Jenderal Dunford mengatakan kekalahan ISIS di Irak dan Suriah menyebabkan kelompok tersebut "memiliki aspirasi untuk membangun kehadiran yang lebih besar" di Benua Afrika. Dua afiliasi ISIS di Afrika adalah Negara Islam di Sahara Raya (ISGS) dan Boko Haram.
Afiliasi ISIS lainnya ada di Provinsi Najd, Arab Saudi. Mereka mengaku bertanggung jawab atas bom bunuh diri di Masjid Imam Ali, yang menewaskan 19 orang pada Mei 2015. Di Yaman, afiliasi ISIS beroperasi di sisi barat dan barat laut. Mereka dianggap bertanggung jawab atas pengeboman di Masjid Al-Mahdi, Sanaa, Juni 2015.
Di Filipina, afiliasi ISIS adalah kelompok Maute. Mereka menguasai Marawi pada Mei lalu dan dihadapi Filipina dengan operasi militer. Marawi dinyatakan bebas dari Maute pada 17 Oktober setelah dua pemimpinnya, Isnilon Hapilon dan Omar Maute, tewas dalam serangan militer.
Selain afiliasi, ancaman dari ISIS datang dari para pengebom tunggal (lone wolf). Konsultan keamanan Soufan Group menyebutkan sedikitnya ada 5.600 pria, wanita, dan anak-anak dari 33 negara yang pernah tinggal di wilayah ISIS dan kini kembali ke negara masing-masing. "Ini benar-benar sebuah masalah," ujar Richard Barrett, penasihat senior di Soufan Group yang menulis laporan tersebut. Perlu sumber daya besar untuk mengidentifikasi siapa orang-orang ini, melacaknya, dan melakukan sesuatu terhadap mereka.
Pulangnya para milisi itu, kata Barrett, belum menambahkan secara signifikan ancaman terorisme di seluruh dunia. Namun ia memperingatkan bahwa ISIS mungkin akan mencari pendukung di luar negeri, termasuk dari orang-orang yang kembali itu. "Orang-orang yang kembali mungkin sangat rentan terhadap kontak dari orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan yang merekrut mereka atau permintaan tolong dari mantan rekan seperjuangannya," ucapnya.
ISIS, seperti kata sejumlah analis, memiliki rekam jejak yang terbukti mampu menahan serangan militer besar-besaran, sementara masih merekrut pengikut di seluruh dunia untuk melakukan aksi bom bunuh diri atas namanya. Saat kelompok tersebut kehilangan Mosul, misalnya, pada 18 Agustus lalu anggotanya melakukan pengeboman di jantung Kota Barcelona, yang menewaskan 13 orang. Tahun ini saja ISIS mengaku bertanggung jawab atas tiga serangan teror di Inggris, yang menewaskan 37 orang.
Banyak kondisi yang menyebabkan organisasi seperti ISIS tetap ada. Perang saudara Suriah tidak menunjukkan tanda akan berakhir. Irak juga masih terpecah antara Sunni dan Syiah. Perpecahan ini mendorong ketidakstabilan di Timur Tengah dan membuka peluang bagi perluasan ekstremisme. "Sayangnya, Barat tidak memiliki rencana mengenai apa yang harus dilakukan setelah ISIS," ujar Bessma Momani, profesor ilmu politik di Balsillie School of International Affairs.
Momani menilai perlunya strategi rinci, mirip dengan Marshall Plan yang membantu membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua, untuk Suriah dan Irak. "Perlu ada ekonomi lokal yang berfungsi, sehingga kita tidak memiliki situasi putus asa yang membuat banyak penduduk lokal beralih ke ISIS," katanya. Juga perlu upaya "semacam rehabilitasi" bagi mereka yang mungkin masih menyimpan simpati terhadap kelompok militan ini.
Abdul Manan (newsweek, Al Jazeera,new York Times)
Ancaman Baru ISIS
KELOMPOK Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kehilangan kota terakhir yang dikuasainya, Raqqa, 17 Oktober 2017. Para milisinya dideteksi lari ke perbatasan Irak dan Suriah, dan memperkuat afiliasinya di sejumlah negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
Nigeria dan Niger
Boko Haram dan Negara Islam di Sahara Raya (ISGS). Boko Haram berbaiat ke ISIS pada Maret 2015, ISGS Oktober 2016.
Libya
ISIS Libya memiliki tiga cabang, dibentuk pada November 2014. Jumlah milisinya lebih dari 5.000 orang. Sekitar 60 persennya adalah orang asing.
Mesir
Milisi ISIS berpusat di Sinai. Kekuatannya 500-1.000 orang.
Arab Saudi <
Afiliasi ISIS berada di Provinsi Najd. Sebagian anggotanya adalah mantan milisi Al-Qaidah.
Yaman
Milisi ISIS muncul Maret 2015. Sayap kecil ISIS ini beroperasi di sisi barat dan barat laut.
Filipina
Afiliasi ISIS di Asia Tenggara adalah Katibah Nusantara. Emirnya di Filipina adalah Isnilon Hapilon.
ISIS
Kekuatan milisinya tersisa sekitar 6.500, sebagian besar berada di wilayah perbatasan Irak dan Suriah.
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 29 Oktober 2017
Saat serangan memasuki hari-hari terakhir, hanya sedikit dari sekitar seribu milisi ISIS yang bertahan di pusat kota. Sejumlah tokoh penting memilih mundur ke perbatasan Irak-Suriah.
Serangan penghabisan dilakukan pada Ahad dua pekan lalu. Dua hari kemudian, Raqqa dinyatakan bebas dari ISIS. "Game over," kata Rami Abdelrahman, Direktur Syrian Observatory for Human Rights, lembaga pemantau Suriah berbasis di Inggris.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson menyebut jatuhnya Raqqa menjadi titik balik bagi ISIS. Dia menyadari bahwa milisi ini belum habis dan masih berbahaya. "Pekerjaan kita masih jauh dari selesai, tapi pembebasan Raqqa merupakan tonggak penting dalam perang global melawan ISIS. Kehilangan ISIS atas Raqqa tidak berarti pertarungan kita melawan ISIS sudah berakhir," ujarnya Kamis pekan lalu.
Amerika Serikat dan negara Barat lainnya mendeteksi sekitar 6.500 milisi ISIS yang mundur dan berlindung di sepanjang lembah Sungai Efrat di perbatasan Irak dan Suriah. Sejumlah analis memprediksi bahwa hilangnya kendali ISIS atas sejumlah teritorinya akan membuatnya kembali ke akar, yaitu sebagai gerakan bawah tanah, mengaktifkan sel terorisnya, dan memperkuat para afiliasinya yang tersebar dari Afrika sampai Asia.
***
KEJATUHAN ibu kota ISIS itu sudah diprediksi. Organisasi yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi ini merebut sejumlah kota besar di Irak dan Suriah dengan cepat pada 2014 dengan memanfaatkan konflik di dua negara itu. Di Suriah, ada perebutan kekuasaan antara pasukan pemerintah Presiden Bashar al-Assad yang didukung Iran-Rusia dan pasukan oposisi yang didukung Amerika Serikat. Di Irak, kelompok Sunni tidak puas terhadap pemerintah Bagdad yang didukung Amerika.
Setelah mendeklarasikan kekhalifahannya, Al-Baghdadi dengan mudah merebut sejumlah kota besar di Irak dan Suriah pada 2014, dimulai dari Raqqa pada Januari, lalu Mosul, Tikrit, Tal Afar, Deir ez-Zor, Sinjar, Dabiq, Kobani, dan Fallujah. Tahun berikutnya, giliran Ramadi dan Palmyra.
Tapi, seperti rumah kartu, satu per satu kota itu mulai lepas pada tahun berikutnya. Kekalahan simbolis awal ISIS adalah di Kota Dabiq, sekitar 10 kilometer dari perbatasan dengan Turki. Kota ini dilengkapi dengan nubuat sebagai tempat pertarungan terakhir antara muslim dan musuh "Romawi" mereka yang dikisahkan dalam sebuah hadis. Nabi Muhammad diyakini telah mengatakan bahwa "saat terakhir tidak akan datang" sampai kaum muslim mengalahkan orang-orang Romawi di Dabiq atau Al-Amaq dalam perjalanan mereka menaklukkan Konstantinopel (Istanbul).
Dabiq direbut kembali melalui operasi militer Perisai Efrat oleh pasukan oposisi Suriah yang didukung Turki. Jet tempur dan artileri membombardir kota tersebut selama 10 hari. Setelah itu, sekitar 2.000 tentara oposisi masuk kota dengan dukungan tank dan artileri tentara Turki. Sebanyak 1.200 milisi ISIS sempat memberi sedikit perlawanan sebelum mundur ke arah selatan pada 16 Oktober 2016.
Berikutnya adalah Mosul. Ini kota terbesar yang dikuasai ISIS dan bersejarah karena menjadi tempat Al-Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahannya pada 29 Juni 2014. Sementara ISIS hanya butuh beberapa hari untuk menaklukkan Mosul pada 2014, pasukan Irak butuh lebih dari delapan bulan untuk merebutnya kembali.
Bukan tanpa alasan ISIS mudah menguasai Mosul. "Sembilan puluh persen dari orang-orang di Mosul adalah keluarga ISIS," kata Komandan Pasukan Irak, Letnan Kolonel Jabbar Mustafa. Umelto Labetubun, pekerja kemanusiaan yang pernah bertugas di Mosul, menyebutkan daerah itu merupakan salah satu pendukung Partai Baath di era Saddam Hussein. Kebencian warga Mosul terhadap pemerintah Syiah di Bagdad ikut melancarkan kemajuan pesat milisi ISIS saat menguasai daerah tersebut.
Pertempuran antara pasukan Irak, yang didukung serangan udara koalisi pimpinan Amerika, dan milisi ISIS membuat Mosul luluh-lantak. Salah satu korbannya adalah Masjid Nouri. Masjid yang dibangun pada abad ke-12 ini bertahan dari serbuan kerajaan Mongol, Ottoman, Inggris, dan bahkan invasi Amerika. Tapi, dua hari sebelum kota itu jatuh, milisi ISIS meledakkan masjid tempat Baghdadi pernah mengumumkan kekhalifahannya tersebut. Mosul dibebaskan pada 21 Juli lalu.
Menurut Umelto Labetubun, kehancuran terparah terjadi di Mosul Barat. Saat pasukan Irak masuk ke Mosul Timur, daerah yang dihuni warga kelas menengah Irak itu memang sulit dipertahankan milisi ISIS, yang kemudian memilih mundur ke Mosul Barat. "Saat direbut, kerusakan di Mosul Timur itu sekitar 30 persen," ujarnya kepada Tempo.
Milisi ISIS bertahan di Mosul Barat, yang populasi penduduk dan rumahnya sangat padat. "Rumah yang padat di kawasan itu membuat kerusakan lebih besar saat terjadi pengeboman," kata Labetubun. Dia menaksir kerusakan daerah itu mencapai 70 persen.
Kejatuhan Mosul diikuti oleh Deir ez-Zor, kota di wilayah Suriah yang berada di dekat perbatasan dua negara. Militer Suriah, yang didukung Angkatan Udara Rusia, merangsek ke kota itu dan membebaskannya pada 10 September lalu. Sebelumnya, pasukan Suriah membebaskan Kota As-Sukhnah pada 14 Agustus lalu. Lepasnya Deir ez-Zor membuat ISIS hanya memiliki satu kota besar yang masih dikuasainya: Raqqa.
Penyerbuan ke Raqqa dilakukan oleh pasukan gabungan Kurdi dan Arab yang didukung Amerika. Pengambilalihan Raqqa berlangsung lima bulan, lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan untuk merebut Mosul. Saat akhirnya lepas dari ISIS pada 17 Oktober lalu, Raqqa rusak parah. Listrik dan air tidak ada. Hanya sekitar 1 persen dari total populasi 300 ribu yang bertahan. Selebihnya mengungsi.
Setelah Raqqa jatuh, milisi ISIS yang tersisa sekitar 6.500 orang, yang mundur ke sepanjang Lembah Sungai Efrat di kedua sisi perbatasan Irak-Suriah. "Anda berharap dapat melihat arus besar pejuang ISIS yang keluar dari Suriah dan Irak. Kami sama sekali tidak melihatnya," tutur Kepala Staf Gabungan Militer Amerika Serikat Jenderal Joseph Dunford.
"Kami tidak melihat banyak arus keluar dari kekhalifahan inti karena sebagian besar orang tersebut sudah mati sekarang," kata Letnan Jenderal Kenneth F. McKenzie Jr., Direktur Staf Gabungan Kementerian Pertahanan Amerika.
Sejumlah analis dan militer Amerika Serikat berbeda pendapat soal nasib para milisi ISIS dan kekuatannya. Namun mereka satu kata bahwa milisi ISIS belum bisa dikatakan habis. Mereka memiliki jaringan sel yang canggih yang melakukan serangan atas nama ISIS, dari Afrika sampai Asia Tenggara. Salah satunya afiliasi ISIS di Niger, Afrika Barat, yang dianggap bertanggung jawab terhadap matinya empat tentara Amerika saat berpatroli.
Seorang jenderal senior Amerika mengatakan bahwa Afrika akan menjadi garis depan baru bagi Negeri Abang Sam melawan ISIS. Jenderal Dunford mengatakan kekalahan ISIS di Irak dan Suriah menyebabkan kelompok tersebut "memiliki aspirasi untuk membangun kehadiran yang lebih besar" di Benua Afrika. Dua afiliasi ISIS di Afrika adalah Negara Islam di Sahara Raya (ISGS) dan Boko Haram.
Afiliasi ISIS lainnya ada di Provinsi Najd, Arab Saudi. Mereka mengaku bertanggung jawab atas bom bunuh diri di Masjid Imam Ali, yang menewaskan 19 orang pada Mei 2015. Di Yaman, afiliasi ISIS beroperasi di sisi barat dan barat laut. Mereka dianggap bertanggung jawab atas pengeboman di Masjid Al-Mahdi, Sanaa, Juni 2015.
Di Filipina, afiliasi ISIS adalah kelompok Maute. Mereka menguasai Marawi pada Mei lalu dan dihadapi Filipina dengan operasi militer. Marawi dinyatakan bebas dari Maute pada 17 Oktober setelah dua pemimpinnya, Isnilon Hapilon dan Omar Maute, tewas dalam serangan militer.
Selain afiliasi, ancaman dari ISIS datang dari para pengebom tunggal (lone wolf). Konsultan keamanan Soufan Group menyebutkan sedikitnya ada 5.600 pria, wanita, dan anak-anak dari 33 negara yang pernah tinggal di wilayah ISIS dan kini kembali ke negara masing-masing. "Ini benar-benar sebuah masalah," ujar Richard Barrett, penasihat senior di Soufan Group yang menulis laporan tersebut. Perlu sumber daya besar untuk mengidentifikasi siapa orang-orang ini, melacaknya, dan melakukan sesuatu terhadap mereka.
Pulangnya para milisi itu, kata Barrett, belum menambahkan secara signifikan ancaman terorisme di seluruh dunia. Namun ia memperingatkan bahwa ISIS mungkin akan mencari pendukung di luar negeri, termasuk dari orang-orang yang kembali itu. "Orang-orang yang kembali mungkin sangat rentan terhadap kontak dari orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan yang merekrut mereka atau permintaan tolong dari mantan rekan seperjuangannya," ucapnya.
ISIS, seperti kata sejumlah analis, memiliki rekam jejak yang terbukti mampu menahan serangan militer besar-besaran, sementara masih merekrut pengikut di seluruh dunia untuk melakukan aksi bom bunuh diri atas namanya. Saat kelompok tersebut kehilangan Mosul, misalnya, pada 18 Agustus lalu anggotanya melakukan pengeboman di jantung Kota Barcelona, yang menewaskan 13 orang. Tahun ini saja ISIS mengaku bertanggung jawab atas tiga serangan teror di Inggris, yang menewaskan 37 orang.
Banyak kondisi yang menyebabkan organisasi seperti ISIS tetap ada. Perang saudara Suriah tidak menunjukkan tanda akan berakhir. Irak juga masih terpecah antara Sunni dan Syiah. Perpecahan ini mendorong ketidakstabilan di Timur Tengah dan membuka peluang bagi perluasan ekstremisme. "Sayangnya, Barat tidak memiliki rencana mengenai apa yang harus dilakukan setelah ISIS," ujar Bessma Momani, profesor ilmu politik di Balsillie School of International Affairs.
Momani menilai perlunya strategi rinci, mirip dengan Marshall Plan yang membantu membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia Kedua, untuk Suriah dan Irak. "Perlu ada ekonomi lokal yang berfungsi, sehingga kita tidak memiliki situasi putus asa yang membuat banyak penduduk lokal beralih ke ISIS," katanya. Juga perlu upaya "semacam rehabilitasi" bagi mereka yang mungkin masih menyimpan simpati terhadap kelompok militan ini.
Abdul Manan (newsweek, Al Jazeera,new York Times)
Ancaman Baru ISIS
KELOMPOK Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) kehilangan kota terakhir yang dikuasainya, Raqqa, 17 Oktober 2017. Para milisinya dideteksi lari ke perbatasan Irak dan Suriah, dan memperkuat afiliasinya di sejumlah negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
Nigeria dan Niger
Boko Haram dan Negara Islam di Sahara Raya (ISGS). Boko Haram berbaiat ke ISIS pada Maret 2015, ISGS Oktober 2016.
Libya
ISIS Libya memiliki tiga cabang, dibentuk pada November 2014. Jumlah milisinya lebih dari 5.000 orang. Sekitar 60 persennya adalah orang asing.
Mesir
Milisi ISIS berpusat di Sinai. Kekuatannya 500-1.000 orang.
Arab Saudi <
Afiliasi ISIS berada di Provinsi Najd. Sebagian anggotanya adalah mantan milisi Al-Qaidah.
Yaman
Milisi ISIS muncul Maret 2015. Sayap kecil ISIS ini beroperasi di sisi barat dan barat laut.
Filipina
Afiliasi ISIS di Asia Tenggara adalah Katibah Nusantara. Emirnya di Filipina adalah Isnilon Hapilon.
ISIS
Kekuatan milisinya tersisa sekitar 6.500, sebagian besar berada di wilayah perbatasan Irak dan Suriah.
Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 29 Oktober 2017
Comments