Skip to main content

Nama Aidit di Telegram Amerika

KATA "rahasia" bertebaran dalam 39 dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang dibuka kepada publik, Selasa pekan lalu. Dokumen yang diunggah ke Internet oleh lembaga non-pemerintah National Security Archive (NSA) itu sebagian besar merupakan laporan diplomat Amerika yang bertugas di Jakarta soal peristiwa percobaan kudeta pada 30 September 1965 yang diikuti pembunuhan massal terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun-tahun sesudahnya.


Berbeda dengan dokumen rahasia yang dibuka sebelumnya, "Dokumen-dokumen ini menambah informasi tentang apa yang diketahui Amerika dan keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut," kata Bradley Simpson, guru besar madya sejarah dan studi Asia di University of Connecticut, Amerika Serikat, kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Bradley adalah peneliti dan pendiri Indonesia and East Timor Documentation Project pada 2002. Ia memimpin tujuh ilmuwan yang bekerja sukarela untuk mempublikasikan dokumen-dokumen lama Amerika yang sebelumnya dirahasiakan itu. Salah satu sejarawan yang ikut dalam tim Bradley adalah John Roosa, penulis Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, buku yang sempat dilarang Kejaksaan Agung Indonesia.

Menurut Bradley, dokumen-dokumen baru ini menunjukkan Washington melacak dan mengikuti kabar penangkapan serta eksekusi mati terhadap para pemimpin PKI. Hal ini muncul dalam laporan Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Mary Vance Trent, kepada Duta Besar Marshall Green tertanggal 17 Desember 1965. Dokumen enam halaman itu berisi daftar lengkap para petinggi Central Comite PKI dan nasibnya.

Dalam dokumen berjudul "Keberadaan Tokoh PKI sampai Desember 1965" itu, terdapat daftar periksa. Isinya antara lain: "DN Aidit, Ketua CC PKI, mati. Njoto, Deputi II CC PKI, mati. Lukman, Deputi I CC PKI, tertangkap...."

Dokumen baru ini, menurut Bradley, juga memberi bukti bahwa Amerika mengetahui cukup dini soal rencana militer Indonesia menggulingkan Presiden Sukarno, tapi sama sekali tak menyampaikan keberatan. Informasi ini tecermin dalam telegram 9 Januari 1967 yang berisi percakapan antara Konsuler Politik Kedutaan Amerika dan Mayor Jenderal Sjarif Thajeb, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, dua hari sebelumnya. "Thajeb mengatakan Soeharto berkomitmen mendepak Sukarno, tapi tidak akan menekannya dan berkeras melakukan ini dengan cara halus dan tidak tergesa-gesa," demikian isi laporan tersebut.

Telegram itu memuat penjelasan panjang Thajeb soal apa saja rencana tentara terhadap Sukarno. Thajeb menyebutkan peristiwa besar akan segera terjadi, yaitu Sukarno memberi laporan di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Menurut perkiraan militer, Sukarno akan mengkritik peran PKI dalam Gerakan 30 September itu, tapi kesalahan sepenuhnya akan ditimpakan kepada Nekolim (Neokolonialisme-Imperialisme- sebutan Sukarno untuk para penjajah baru) dan teman "militer lokalnya" yang dianggap mengelabui PKI untuk melakukan kudeta. Thajeb menyebutkan kata "Nekolim" itu merujuk ke Badan Intelijen Pusat (CIA), meski tak disebut secara langsung.

Menurut Thajeb, pernyataan Sukarno itu sudah pasti tidak akan diterima militer. Tapi itu juga akan bermanfaat bagi korps baret hijau untuk memperkuat perasaan anti-Sukarno dan memperkokoh jalan untuk dua rencana berikutnya. Pertama, usaha memobilisasi opini publik melawan Sukarno. Kedua, perluasan keanggotaan DPR untuk membuat lembaga ini, dan MPR, lebih bisa dikendalikan. Parlemen, yang akan bersidang pada 23 Januari 1966, bakal bertindak sebagai "jaksa" dalam gerakan yang hendak melawan Sukarno.

Informasi baru lainnya, Bradley mengatakan, adalah adanya dokumen yang memberi indikasi jelas bahwa Amerika mengerti percobaan kudeta ini hanya diketahui pemimpin PKI. Anggota PKI secara umum tak mengetahui rencana tersebut. Bagi John Roosa, telegram 30 November 1965 ini menjadi salah satu yang terpenting dari sejumlah dokumen yang dibuka. "Dokumen itu memberi tambahan substansi argumen dari yang saya buat serta sejarawan lain," ujar Roosa kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia merujuk pada salah satu hipotesis bukunya yang menyatakan kudeta itu sebagai dalih untuk menghabisi PKI.

Telegram itu memuat informasi yang diperoleh pejabat Kedutaan Amerika di Jakarta dari Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Polandia di Jakarta, Andrzej Graoziuk. Menurut telegram tersebut, Graoziuk berbicara dengan anggota CC PKI pada 1 Oktober 1965, pukul 8 pagi. "Sumber itu gembira mengetahui gerakan 30 September sedang jalan. ’Ini yang sudah kami tunggu’. Sumber di CC PKI itu mengatakan tidak semua CC PKI tahu plot ini. Hanya sekelompok orang tertentu yang dipimpin Aidit...," demikian pernyataan dokumen tersebut.

Menurut sumber Graoziuk itu, ide kudeta ini awalnya berasal dari luar PKI. Aidit semula menyodorkan proposal kepada kelompok di dalam CC PKI. Pemimpin PKI setuju berpartisipasi, dengan syarat partai sebagai organisasi tidak dilibatkan dan tujuannya adalah semata operasi intra-pemerintahan untuk menangkap sekelompok jenderal di jajaran atas. Sumber itu juga mengklaim tak ada niat untuk membunuh para jenderal tersebut.

l l l
DEPARTEMEN Luar Negeri Amerika Serikat secara rutin membuka dokumen lamanya kepada publik, yang biasanya sudah berumur lebih dari 30 tahun. Pembukaan itu dilakukan setelah dokumen tersebut dinyatakan tak lagi bersifat rahasia alias sudah dideklasifikasi. Deklasifikasi yang cukup besar dilakukan pada 2001. Salah satu hasilnya adalah kumpulan dokumen yang diberi label Foreign Relations of the United States, 1964–1968, Volume XXVI, Indonesia; Malaysia-Singapore; Philippines. Menurut Voice of America, dokumen itu akhirnya tetap dibuka meski ada upaya dari CIA untuk mencegahnya. Dalam dokumen itu tergambar bagaimana pejabat Amerika mendorong penghancuran PKI, memberi bantuan secara rahasia, dan mendesak militer Indonesia menyelesaikan pekerjaan tersebut.

Adapun pembukaan dokumen yang baru dibuka pekan lalu itu, menurut Bradley, bermula dari saran aktivis kebebasan informasi di Federation of American Scientists kepada National Declassification Center, badan khusus yang memeriksa layak-tidaknya dokumen dideklasifikasi.

Selain itu, Bradley menyebutkan, pembukaan dokumen terbaru ini dilecut oleh menguatnya perhatian orang terhadap peristiwa 1965 setelah keluarnya film The Act of Killing. Film yang disutradarai Joshua Oppenheimer dan dirilis pada 31 Agustus 2012 itu berisi pengakuan pelaku pembunuhan massal 1965-1966. Namun dua faktor tak kalah penting yang membuat dokumen itu dibuka adalah resolusi dari senator New Mexico, Tom Udall, dan surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia pada awal 2016.

Tom Udall menyampaikan resolusinya di depan Senat Amerika pada 1 Oktober 2014. Dalam resolusinya, ia menyatakan peristiwa percobaan kudeta 1 Oktober 1965 dan pembunuhan enam jenderal itu digunakan untuk membenarkan pembunuhan massal terhadap anggota PKI. Udall memperkirakan jumlah korban tewas berkisar 500 ribu-1 juta orang. Ia juga mengutip studi CIA tahun 1968 yang menggambarkan periode tersebut sebagai "salah satu pembunuhan massal terburuk pada abad ke-20".

Dalam resolusinya, Udall mengecam pembunuhan massal itu, tak dihukumnya para pelaku, serta mendorong pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikannya. Dia juga mendesak dibukanya catatan dan dokumen rahasia periode 1965-1966, termasuk operasi rahasia Amerika di Indonesia mulai 1 Januari 1964 sampai 30 Maret 1966.

Adapun Komisi Nasional HAM meminta dokumen soal peristiwa 1965 itu dibuka untuk kebutuhan penyelidikan. Menurut komisioner Komisi, Nur Kholis, surat permintaan tersebut ditujukan kepada Presiden Barack Obama dan disampaikan melalui Departemen Luar Negeri Amerika di Washington. Komisi sebenarnya sudah menyelesaikan penyelidikan mengenai peristiwa 1965 dan menyerahkan berkasnya ke Jaksa Agung pada 2012. "Dokumen Amerika itu diperlukan untuk memperkuat bukti penyelidikan kasus 1965 tersebut," ujar Nur Kholis, Kamis pekan lalu.

Pejabat Departemen Luar Negeri Amerika saat itu, menurut Nur Kholis, menyampaikan kepada wakil Komisi bahwa beberapa dokumen yang berusia lama sudah bisa diakses di sejumlah lembaga. Tapi ada juga yang memang statusnya masih dirahasiakan. "Saat itu, karena keterbatasan waktu, wakil Komisi tak bisa membawa pulang dokumen tersebut," ujarnya. Hingga kini Komisi tak menerima kabar lebih lanjut sampai ada kabar pembukaan dokumen tersebut pekan lalu.

Bradley berharap dibukanya dokumen-dokumen ini akan membantu dan memperkuat seruan organisasi kemasyarakatan sipil dan korban politik masa lalu kepada pemerintah Indonesia agar membuka dokumennya sendiri. Dokumen itu diharapkan juga bisa mendukung rencana pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus ini. "Indonesia seharusnya tidak bergantung pada dokumen pemerintah Barat untuk belajar tentang sejarahnya sendiri. Pemerintah harus lebih terbuka dan transparan tentang masa lalu sehingga kejadian semacam itu tidak akan pernah terjadi lagi," tuturnya.

Nur Kholis mengatakan Komisi baru mengetahui pekan lalu soal adanya dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika yang dibuka kepada publik. "Pekan ini diusahakan akan berkoordinasi lebih intensif dengan instansi lainnya. Komisi berkepentingan untuk melihat dokumen tersebut untuk penyelidikan," katanya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan dokumen itu mesti diperiksa kelayakannya. "Dokumen Amerika itu tidak serta-merta kita jadikan bagian dari proses penyelidikan," ucapnya, Kamis pekan lalu.

Dokumen yang sudah terbuka selama ini, termasuk yang dirilis pekan lalu, memang belum memberi gambaran utuh tentang sedalam apa peran Amerika pada peristiwa 1965. Menurut Bradley, dia masih memerlukan akses ke dokumen rahasia CIA dan Badan Intelijen Pertahanan (DIA) untuk mengetahui cerita lengkap operasi rahasia Amerika pada periode menjelang 30 September dan pembunuhan yang mengikutinya.

Bradley memberi saran kepada pemerintah agar lebih banyak dokumen rahasia yang bisa dibuka, yaitu dengan meniru cara Cile saat ingin tahu kebenaran peristiwa 11 September 1973- ketika Jenderal Augusto Pinochet, dibantu operasi rahasia CIA, menjatuhkan Presiden Salvador Allende, yang terpilih secara demokratis, melalui kudeta dan menyebabkan negara itu dipimpin junta militer selama 30 tahun. "Presiden Jokowi harus meminta dokumen-dokumen ini dibuka seperti yang dilakukan Presiden Cile," ujar Bradley.

Abdul Manan, Amirullah Suhada (Jakarta)

Majalah Tempo, Rubrik Internasional, 22 Oktober 2017

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236