Angin Segar Kompensasi Korban
ANITA Kristabel Sihotang tampak asyik bermain dengan beberapa teman sebayanya, Rabu pekan lalu. Diawasi Tetty, ibu kandungnya, bocah 3 tahun itu terlihat riang berlari-lari kecil di halaman rumah salah satu tetangganya di Jalan Jati 4, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.
Di hampir seluruh bagian tangan kanan bocah yang kerap disapa Abel itu terlihat tanda bekas luka bakar. "Kalau ditanya orang soal bekas luka di tangannya itu, Abel selalu bilang ini akibat bom," kata Tetty masygul.
Abel adalah satu dari empat anak korban ledakan bom di depan Gereja Oikumene, Samarinda, 13 November tahun lalu. Ia mengalami luka bakar akibat bom yang dilemparkan Juhanda. Dua bocah lainnya, juga berumur di bawah 5 tahun, yakni Alfaro Aurelius Tristan Sinaga dan Triniti Hutahayan, menderita luka bakar yang lebih ringan. Satu korban lagi, Intan Olivia Banjarnahor, menderita luka bakar hampir di sekujur badan. Keesokan harinya, bocah dua setengah tahun itu meninggal.
Adapun Abel dan dua temannya sampai saat ini masih menjalani pemulihan. Seluruh biaya ditanggung Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Dua hari lalu Triniti berangkat ke Cina untuk berobat," ujar Tetty.
Bukan hanya biaya pemulihan yang ditanggung negara, korban bom Samarinda juga berpeluang mendapatkan dana kompensasi. Dana ini menjadi salah satu poin tuntutan yang diajukan jaksa dalam sidang perkara bom Samarinda dengan terdakwa Juhanda di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pada 31 Agustus lalu, selain menuntut Juhanda dengan hukuman penjara seumur hidup, jaksa meminta hakim mengabulkan tuntutan negara memberikan kompensasi Rp 1,4 miliar kepada para korban.
Langkah jaksa memasukkan dana kompensasi ke berkas tuntutan terdakwa terorisme menjadi angin segar bagi korban dan keluarganya. Menurut catatan monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dana kompensasi untuk korban bom sesungguhnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian menjadi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. "Tapi ini pertama kali permintaan dana kompensasi masuk surat tuntutan," kata Direktur ICJR Supriyadi Widodo.
Undang-undang itu disahkan enam hari setelah bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Teror bom itu menewaskan 202 orang. Dalam undang-undang itu, dana kompensasi diatur pasal 36, yang menyebutkan setiap korban atau ahli waris korban terorisme berhak mendapatkan kompensasi. Besaran dana kompensasi yang harus dibayar tergantung putusan pengadilan.
Selain tercantum dalam Undang-Undang Terorisme, soal kompensasi diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Mekanisme pemberian kompensasi itu tetap mengacu pada Undang-Undang Terorisme. Tapi, menurut Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, sampai saat ini Undang-Undang Terorisme yang menjadi dasar hukum kompensasi belum didukung peraturan pemerintah.
Kendati Undang-Undang Terorisme belum dilengkapi aturan turunannya, kewajiban pemberian kompensasi seperti ini sebenarnya sudah lama muncul di sejumlah persidangan kasus terorisme. Salah satunya terjadi di persidangan perkara pelaku pengeboman di depan Hotel JW Marriott, Jakarta, 5 Agustus 2003, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bom itu menewaskan 11 orang dan menyebabkan 152 lainnya luka-luka. Menurut Edwin, dalam kasus itu, jaksa baru membacakan surat permintaan kompensasi, tapi tidak memasukkannya ke berkas tuntutan.
Belakangan, hakim memasukkan kewajiban kompensasi itu dalam putusan salah satu terdakwa kasus tersebut, Masrizal alias Tohir, pada awal September 2015. Majelis hakim memerintahkan negara memberikan kompensasi terhadap korban. Rinciannya, Rp 10 juta untuk korban meninggal, Rp 5 juta buat korban luka berat, dan Rp 2,5 juta untuk korban luka ringan. Tapi putusan ini tak bisa dieksekusi. Salah satu sebabnya, kata Edwin, "Amar putusan hanya menyebutkan nominal kompensasi, tapi tidak dicantumkan siapa saja nama penerimanya."
Vivi Normasari, salah satu korban bom Marriott, bersama koleganya sempat membawa salinan putusan itu ke Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Terorisme. Pejabat di Kementerian Keuangan justru menyatakan tanggung jawab soal itu ada di pemerintah daerah. Para korban lantas datang ke pemerintah DKI Jakarta, yang saat itu dipimpin Sutiyoso. Alangkah kecewanya mereka setelah pemerintah DKI menyatakan tak ada alokasi dana soal itu. "Korban kehilangan harapan dan tak meneruskan usahanya," ucap Vivi, yang kini menjadi pembina Yayasan Penyintas Indonesia, organisasi tempat berhimpun para korban bom.
Tuntutan kompensasi juga muncul dalam sidang kasus pelaku penembakan dan pengeboman di kawasan Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016. Teror ini menyebabkan setidaknya 4 warga sipil tewas dan lebih dari 24 luka-luka. Surat LPSK yang berisi permintaan kompensasi sekitar Rp 1,3 miliar untuk para korban dibacakan di persidangan, tapi tak masuk berkas tuntutan jaksa. Walhasil, hakim tak memasukkan dana kompensasi itu dalam putusannya.
Putusan kasus bom Thamrin itu membuat risau petinggi LPSK. Menurut Edwin Partogi, lembaganya kemudian mengirimkan surat kepada Jaksa Agung pada 19 Desember 2016 untuk membuat petunjuk teknis soal pemberian kompensasi terhadap korban. Kedua lembaga juga selama ini memiliki nota kesepahaman soal penanganan korban pelanggaran hak asasi berat.
Jaksa Agung M. Prasetyo merespons permintaan LPSK itu dengan mengeluarkan Surat Edaran perihal Pemenuhan Hak Kompensasi Korban Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat kepada semua kejaksaan tinggi. Surat tertanggal 12 Januari 2017 itu meminta jaksa mencantumkan permohonan kompensasi dalam tuntutannya.
Berdasarkan edaran itu, kata Edwin, LPSK menemui korban bom Samarinda dan mulai menghitung kerugian. Ada sejumlah acuan yang diajukan sebagai dasar untuk mengajukan permohonan permintaan kompensasi. "Kami menyampaikan secara resmi permintaan kompensasi itu kepada hakim melalui jaksa," ujar Edwin.
Pimpinan LPSK juga mendatangi Mahkamah Agung awal tahun ini agar membuat surat edaran yang bisa menjadi acuan hakim dalam soal kompensasi untuk korban bom. "Agar kepentingan korban diperhatikan dalam menangani perkara terorisme, bukan hanya menindak pelakunya," katanya.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, pada Jumat pekan lalu mengatakan LPSK memang mendatangi lembaganya untuk menyampaikan soal kompensasi terhadap korban bom. Ia berharap ketentuan dana kompensasi ini diperjelas sehingga membantu hakim memutus perkara terkait dengan tuntutan tersebut. "Hakim berhati-hati karena kompensasi ini menyangkut uang negara," ujarnya.
Abdul Manan, Sapri Maulana (Samarinda)
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 25 September 2017
Di hampir seluruh bagian tangan kanan bocah yang kerap disapa Abel itu terlihat tanda bekas luka bakar. "Kalau ditanya orang soal bekas luka di tangannya itu, Abel selalu bilang ini akibat bom," kata Tetty masygul.
Abel adalah satu dari empat anak korban ledakan bom di depan Gereja Oikumene, Samarinda, 13 November tahun lalu. Ia mengalami luka bakar akibat bom yang dilemparkan Juhanda. Dua bocah lainnya, juga berumur di bawah 5 tahun, yakni Alfaro Aurelius Tristan Sinaga dan Triniti Hutahayan, menderita luka bakar yang lebih ringan. Satu korban lagi, Intan Olivia Banjarnahor, menderita luka bakar hampir di sekujur badan. Keesokan harinya, bocah dua setengah tahun itu meninggal.
Adapun Abel dan dua temannya sampai saat ini masih menjalani pemulihan. Seluruh biaya ditanggung Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Dua hari lalu Triniti berangkat ke Cina untuk berobat," ujar Tetty.
Bukan hanya biaya pemulihan yang ditanggung negara, korban bom Samarinda juga berpeluang mendapatkan dana kompensasi. Dana ini menjadi salah satu poin tuntutan yang diajukan jaksa dalam sidang perkara bom Samarinda dengan terdakwa Juhanda di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pada 31 Agustus lalu, selain menuntut Juhanda dengan hukuman penjara seumur hidup, jaksa meminta hakim mengabulkan tuntutan negara memberikan kompensasi Rp 1,4 miliar kepada para korban.
Langkah jaksa memasukkan dana kompensasi ke berkas tuntutan terdakwa terorisme menjadi angin segar bagi korban dan keluarganya. Menurut catatan monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dana kompensasi untuk korban bom sesungguhnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian menjadi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. "Tapi ini pertama kali permintaan dana kompensasi masuk surat tuntutan," kata Direktur ICJR Supriyadi Widodo.
Undang-undang itu disahkan enam hari setelah bom meledak di Paddy’s Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Teror bom itu menewaskan 202 orang. Dalam undang-undang itu, dana kompensasi diatur pasal 36, yang menyebutkan setiap korban atau ahli waris korban terorisme berhak mendapatkan kompensasi. Besaran dana kompensasi yang harus dibayar tergantung putusan pengadilan.
Selain tercantum dalam Undang-Undang Terorisme, soal kompensasi diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Mekanisme pemberian kompensasi itu tetap mengacu pada Undang-Undang Terorisme. Tapi, menurut Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi, sampai saat ini Undang-Undang Terorisme yang menjadi dasar hukum kompensasi belum didukung peraturan pemerintah.
Kendati Undang-Undang Terorisme belum dilengkapi aturan turunannya, kewajiban pemberian kompensasi seperti ini sebenarnya sudah lama muncul di sejumlah persidangan kasus terorisme. Salah satunya terjadi di persidangan perkara pelaku pengeboman di depan Hotel JW Marriott, Jakarta, 5 Agustus 2003, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bom itu menewaskan 11 orang dan menyebabkan 152 lainnya luka-luka. Menurut Edwin, dalam kasus itu, jaksa baru membacakan surat permintaan kompensasi, tapi tidak memasukkannya ke berkas tuntutan.
Belakangan, hakim memasukkan kewajiban kompensasi itu dalam putusan salah satu terdakwa kasus tersebut, Masrizal alias Tohir, pada awal September 2015. Majelis hakim memerintahkan negara memberikan kompensasi terhadap korban. Rinciannya, Rp 10 juta untuk korban meninggal, Rp 5 juta buat korban luka berat, dan Rp 2,5 juta untuk korban luka ringan. Tapi putusan ini tak bisa dieksekusi. Salah satu sebabnya, kata Edwin, "Amar putusan hanya menyebutkan nominal kompensasi, tapi tidak dicantumkan siapa saja nama penerimanya."
Vivi Normasari, salah satu korban bom Marriott, bersama koleganya sempat membawa salinan putusan itu ke Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Terorisme. Pejabat di Kementerian Keuangan justru menyatakan tanggung jawab soal itu ada di pemerintah daerah. Para korban lantas datang ke pemerintah DKI Jakarta, yang saat itu dipimpin Sutiyoso. Alangkah kecewanya mereka setelah pemerintah DKI menyatakan tak ada alokasi dana soal itu. "Korban kehilangan harapan dan tak meneruskan usahanya," ucap Vivi, yang kini menjadi pembina Yayasan Penyintas Indonesia, organisasi tempat berhimpun para korban bom.
Tuntutan kompensasi juga muncul dalam sidang kasus pelaku penembakan dan pengeboman di kawasan Thamrin, Jakarta, 14 Januari 2016. Teror ini menyebabkan setidaknya 4 warga sipil tewas dan lebih dari 24 luka-luka. Surat LPSK yang berisi permintaan kompensasi sekitar Rp 1,3 miliar untuk para korban dibacakan di persidangan, tapi tak masuk berkas tuntutan jaksa. Walhasil, hakim tak memasukkan dana kompensasi itu dalam putusannya.
Putusan kasus bom Thamrin itu membuat risau petinggi LPSK. Menurut Edwin Partogi, lembaganya kemudian mengirimkan surat kepada Jaksa Agung pada 19 Desember 2016 untuk membuat petunjuk teknis soal pemberian kompensasi terhadap korban. Kedua lembaga juga selama ini memiliki nota kesepahaman soal penanganan korban pelanggaran hak asasi berat.
Jaksa Agung M. Prasetyo merespons permintaan LPSK itu dengan mengeluarkan Surat Edaran perihal Pemenuhan Hak Kompensasi Korban Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat kepada semua kejaksaan tinggi. Surat tertanggal 12 Januari 2017 itu meminta jaksa mencantumkan permohonan kompensasi dalam tuntutannya.
Berdasarkan edaran itu, kata Edwin, LPSK menemui korban bom Samarinda dan mulai menghitung kerugian. Ada sejumlah acuan yang diajukan sebagai dasar untuk mengajukan permohonan permintaan kompensasi. "Kami menyampaikan secara resmi permintaan kompensasi itu kepada hakim melalui jaksa," ujar Edwin.
Pimpinan LPSK juga mendatangi Mahkamah Agung awal tahun ini agar membuat surat edaran yang bisa menjadi acuan hakim dalam soal kompensasi untuk korban bom. "Agar kepentingan korban diperhatikan dalam menangani perkara terorisme, bukan hanya menindak pelakunya," katanya.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, pada Jumat pekan lalu mengatakan LPSK memang mendatangi lembaganya untuk menyampaikan soal kompensasi terhadap korban bom. Ia berharap ketentuan dana kompensasi ini diperjelas sehingga membantu hakim memutus perkara terkait dengan tuntutan tersebut. "Hakim berhati-hati karena kompensasi ini menyangkut uang negara," ujarnya.
Abdul Manan, Sapri Maulana (Samarinda)
Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 25 September 2017
Comments