Skip to main content

Keluhan Berbalas Status Tersangka

DI atas panggung, Muhadkly M.T. memang biasa bicara ceplas-ceplos. Tapi bukan gara-gara keceplosan lelaki 33 tahun ini berurusan dengan polisi. Acho panggilan akrab komika ini menjadi tersangka justru karena menuntut apa yang dia anggap sebagai haknya. "Itu keluhan dia sebagai konsumen," kata kuasa hukum Acho, Nawawi Baharudin, Rabu pekan lalu.


Polisi menetapkan Acho sebagai tersangka pada Juni lalu. Sebelumnya, pengembang apartemen Green Pramuka melaporkan Acho ke polisi dengan tuduhan mencemarkan nama melalui tulisan di media sosial. Polisi pun membidik Acho dengan pasal pencemaran dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya sudah menyerahkan berkas perkara Acho ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada Senin pekan lalu. Acho terancam dihukum empat tahun penjara.

Acho membeli satu unit apartemen di Green Pramuka secara kredit pada 2013. Ia tertarik memilih apartemen itu lantaran sebelumnya bolak-balik dari rumah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, menuju kantor di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Saban hari Acho melewati Jalan Pramuka dan melihat pembangunan apartemen Green Pramuka.

Ada banyak hal yang membuat Acho kepincut oleh tawaran pengembang apartemen. "Yang menggiurkan, developer menawarkan 10 dari 12 hektare lahannya untuk kawasan hijau," kata Acho, Rabu pekan lalu. Dengan janji seperti itu, waktu itu Acho membayangkan apartemen Green Pramuka akan memiliki banyak taman.

Harga apartemen kala itu, Rp 350 juta per unit, juga masih bisa dijangkau Acho. Pengembang pun menjanjikan lahan parkir yang luas. Satu tower punya tiga lantai basement untuk area parkir. Acho mulai tinggal di Green Pramuka pada 2014.

Baru tinggal setahun, tepatnya awal 2015, Acho mulai merasakan ada masalah. Sebagian masalah dia alami sendiri. Ada juga yang dialami tetangganya. Akumulasi ketidakpuasan berujung pada unjuk rasa penghuni apartemen pada 31 Januari 2015. Soal protes itu, Acho menulis dalam akun Twitternya: "Buat yg niat beli properti di #greenpramuka sila simak hashtagnya, penghuninya lagi demo, pengelolanya kacau."

Demonstrasi itu tak menyelesaikan keluhan penghuni apartemen. Acho pun berinisiatif menuliskan keluhan penghuni dalam blognya pada 5 Maret 2015. Dalam artikel berjudul "Apartemen Green Pramuka City dan Segala Permasalahannya", Acho antara lain membeberkan masalah sertifikat yang tak kunjung terbit, biaya perawatan yang tinggi, fasilitas parkir yang sempit, serta pembayaran pajak bumi dan bangunan.

Acho mengatakan, berdasarkan perjanjian awal, sertifikat apartemen akan diberikan kepada penghuni dua tahun setelah serah-terima kunci. "Tapi sampai kini tidak ada satu pun penghuni yang memiliki sertifikat." Padahal, menurut Acho, penghuni apartemen memerlukan sertifikat untuk berbagai urusan. Salah satunya untuk agunan ke bank.

Masalah lain adalah biaya izin pengisian atau perbaikan apartemen. Berdasarkan kesepakatan awal, menurut Acho, penghuni membayar deposit Rp 1,5 juta per tahun untuk biaya perawatan. Sebesar Rp 1 juta untuk jaminan, selebihnya untuk biaya sampah. Namun, pada 2015, pengembang menaikkan uang deposit itu. Pengembang menetapkan biaya tambahan untuk tiap kebutuhan perawatan. Dalam blognya, Acho menulis, "Ini pungli atau biaya preman?"

Acho juga mengeluhkan fasilitas parkir. Awalnya, penghuni apartemen hanya membayar Rp 200 ribu per bulan dan bebas parkir di mana saja. Aturan itu berubah pada awal 2015. Sejak itu, penghuni hanya bisa parkir di basement 2. Kalau ada yang parkir di basement 1 atau pelataran, ia akan dikenai tarif parkir normal seperti pengunjung pada umumnya. "Padahal parkiran B2 kan terbatas, tak sebanding dengan jumlah penghuni," ujarnya.

Tagihan pajak bumi dan bangunan (PBB) juga menjadi bahan keluhan Acho. Setahu Acho, pajak harus dibayar ke negara dan disetorkan ke rekening pemerintah. "Kami diminta bayar ke rekening pengelola. Besarnya ditentukan pengelola. Tidak ada bukti potong pajak. Ini legal atau enggak?" kata Acho dengan nada bertanya. Saban tahun, Acho membayar PBB sekitar Rp 600 ribu. Jumlah itu, menurut dia, lebih mahal dibanding apartemen sekelas di tempat lain.

Setelah menulis keluhannya di blog, Acho tak langsung mendapat reaksi dari pengembang. "Tak ada panggilan atau teguran," ucapnya. Ternyata, tanpa setahu Acho, tim legal PT Duta Paramindo Sejahtera melaporkan dugaan pencemaran nama ke polisi.

Dalam laporan bertanggal 5 November 2015, pengembang menuduh Acho melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. "Saya baru tahu ada laporan itu setelah diperiksa polisi sebagai saksi pada April lalu," ujar Acho.

Sekian lama adem-ayem, polisi baru memeriksa Acho sebagai saksi pada 26 April 2017. Dua bulan kemudian, pada 9 Juni lalu, polisi memanggilnya sebagai tersangka. Acho berusaha melakukan mediasi dengan pengembang Green Pramuka, tapi tak membuahkan hasil. "Green pramuka menolak mediasi karena sudah ada proses hukum," kata Nawawi Baharudin.

Kuasa hukum pengelola Green Pramuka, Rizal Siregar, menyangkal kabar bahwa Acho berusaha menempuh jalur mediasi. Rizal juga menangkis sejumlah tudingan Acho. Menurut dia, kliennya membangun apartemen sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2009 tentang pembangunan rumah susun sederhana. Peraturan gubernur itu antara lain menetapkan, untuk 10 unit rumah susun, pengembang harus menyediakan lokasi parkir yang memuat satu mobil dan lima sepeda motor. "Jangan dibayangkan satu unit apartemen akan dapat satu lahan parkir," kata Rizal.

Adapun ruang terbuka yang dijanjikan pengelola, menurut Rizal, memang belum semua terpenuhi karena pembangunan tower belum selesai. Saat ini baru 9 dari 17 tower yang selesai dibangun.

Ihwal sertifikat hak milik, menurut Rizal, hanya Badan Pertanahan Nasional yang berwenang menerbitkan. Bila persyaratan yang dibuat BPN belum terpenuhi, sertifikat belum bisa terbit. Salah satu syaratnya adalah selesainya pembangunan keseluruhan tower. "Untuk penerbitan sertifikat, pembangunan harus selesai lebih dulu," tuturnya.

Penetapan Acho sebagai tersangka memicu protes dari berbagai kalangan. Kaum warganet (netizen) ramai-ramai mengunggah foto Acho dan kronologi kasusnya dengan tagar #AchoGakSalah dan #Stoppidanakankonsumen.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyebut langkah Green Pramuka berlebihan. "Itu hak konsumen untuk komplain," ujarnya. Tulus menyitir Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal itu menyebutkan salah satu hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat atau keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan. "Yang penting apa yang disampaikan itu bukan berita bohong atau hoax," kata Tulus.

Tulus juga mengutip pendapat ahli hukum yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan tak bisa dianggap menghina jika disampaikan untuk kepentingan umum, membela diri, dan mengungkap kebenaran. "Apa yang dilakukan Acho itu untuk kepentingan umum dan membela diri sebagai konsumen," kata Tulus.

Berdasarkan catatan YLKI, dalam setahun, ada 400 penghuni apartemen yang mengadu. Itu setara dengan 18 persen dari total aduan yang masuk ke YLKI. "Kalau dibiarkan, kasus ini akan menjadi preseden untuk membungkam konsumen yang melakukan komplain," ujar Tulus.

Setelah kasusnya menjadi sorotan, Acho akhirnya bertemu dengan perwakilan PT Duta Paramindo Sejahtera. Pertemuan itu diperantarai Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.

Dalam pertemuan sekitar dua jam itu, Acho dan manajemen Duta Paramindo sepakat tak meneruskan proses hukum. "Akan kami selesaikan secara kekeluargaan," kata Acho di Polda Metro Jaya, Rabu malam pekan lalu. Salah satu syaratnya, Acho harus mencabut tulisan yang diunggahnya ke media sosial.

Adapun Rizal Siregar tak bersedia mengungkap kesepakatan dalam mediasi, termasuk soal kapan berkas laporan akan ditarik. "Nanti secara paralel akan ada pembicaraan tindak lanjut," ucap Rizal seusai pertemuan itu.

Abdul Manan, Inge Klara, Wulan Nova

Majalah Tempo, Rubrik Hukum, 14 Agustus 2017

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236