Penjara Penganjur Millah Abraham
Raut muka ketiga terdakwa tak banyak berubah ketika hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis mereka bersalah pada Selasa pekan lalu. Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis Tumanurung, dan Andri Cahya memandang lurus ke arah hakim yang membacakan putusan. "Klien kami sudah yakin tak bakal lolos," kata Pratiwi Febri, pengacara Mushaddeq dan kawan-kawan, Kamis pekan lalu.
Empat hari sebelum sidang putusan, ketiga terdakwa menyampaikan keyakinan itu kepada Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang juga menjadi penasihat hukum mereka. "Bukan karena fakta persidangan, tapi karena dituntut dengan pasal penodaan terhadap agama mayoritas," ujar Asfinawati mengutip pernyataan Mahful, ketika ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
Majelis hakim yang dipimpin Muhamad Sirad menyatakan ketiga terdakwa terbukti bersalah melakukan permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama karena menyebarkan paham Millah Abraham. Mushaddeq dan Mahful dihukum lima tahun penjara, sedangkan Andri dihukum tiga tahun penjara. Ketiganya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 156-a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur perbuatan penghinaan dan penodaan atas ajaran agama.
Bagi Mushaddeq dan Mahful, ini merupakan hukuman kedua kali dengan pasal dan dakwaan serupa. Pada 2007, Mushaddeq divonis empat tahun penjara karena memimpin aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah, yang menahbiskan dirinya sebagai nabi setelah Muhammad. Sedangkan Mahful divonis lima bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar pada 2008 karena menjadi pengikut Al-Qiyadah.
Keluar dari penjara, Mushaddeq dan Mahful mendirikan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) pada 14 Agustus 2011. Mahful didaulat memimpin organisasi berlambang 12 sinar matahari ini. Organisasi ini hanya bertahan empat tahun karena terus didera penolakan masyarakat. Puncaknya, pada 11-13 Agustus 2015, pengurus Gafatar menggelar kongres luar biasa di Villa Panewood, Jalan Gandamanah, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan akbar itu, mereka membubarkan Gafatar, lalu mendeklarasikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara. Dalam gerakan baru, Andri Cahya didaulat sebagai presiden. Mahful menjadi wakil presiden. Adapun Mushaddeq menjadi penasihat spiritual gerakan tersebut.
Setelah kongres luar biasa itu, bekas anggota Gafatar pindah secara bergelombang ke sejumlah tempat di Kalimantan Barat untuk menciptakan "negeri" yang makmur sentosa. Masalah mencuat ketika suami seorang dokter di Yogyakarta melaporkan "kehilangan" istrinya. Belakangan, dokter bernama Rika itu ketahuan ikut "eksodus" ke Mempawah, Kalimantan Barat, bersama bekas anggota Gafatar lainnya.
Di tengah heboh berita tentang "hilangnya" dokter Rika dan bekas anggota Gafatar lainnya, Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Barat mengeluarkan fatwa bahwa Gafatar merupakan aliran "sesat dan menyesatkan". Pada 3 Februari 2016, MUI pusat mengeluarkan fakta serupa. Urusan tambah runyam ketika tiga lembaga mengeluarkan Surat Keputusan Bersama pada 29 Februari 2016. Keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung itu melarang aktivitas Gafatar.
Fatwa MUI serta keputusan bersama menteri dan Jaksa Agung memantik tekanan yang lebih deras atas bekas pengikut Gafatar. Sampailah pada 19 Januari 2016, ketika 1.167 bekas anggota Gafatar "diusir" dari Mempawah. Mereka dipulangkan paksa ke daerah asalnya, seperti Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Hampir bersamaan dengan itu, seseorang bernama Tahir Mahmud melaporkan Mushaddeq dan kawan-kawan ke Markas Besar Kepolisian RI. Trio Mushaddeq, Mahful, dan Andri pertama kali diperiksa pada 15 April 2016. Dalam pemeriksaan lanjutan, 25 Mei 2016, polisi menetapkan ketiganya sebagai tersangka. Malam harinya, polisi langsung menahan mereka.
Menurut Asfinawati, dalam surat panggilan sebagai tersangka, ketiga kliennya hanya dijerat pasal penodaan agama. Setelah menahan Mushaddeq dkk, polisi baru menambahkan pasal makar. Di persidangan, jaksa juga memadukan dakwaan penodaan agama dan perbuatan makar.
Jaksa kasus ini, Abdul Rauf, menjelaskan beberapa ajaran Millah Abraham yang dianggap menodai agama Islam. "Sekarang masih zaman jahiliyah atau era Makiyah. Jadi belum saatnya melakukan salat, puasa, zakat, dan haji," ujar Rauf. Komunitas Millah Abraham, menurut Rauf, juga mengganti ritual salat lima waktu dengan "bangun aktivitas malam". Dalam kegiatan itu, pengikut Millah Abraham mengkaji Al-Quran, Injil, dan Taurat. "Mereka menggabungkan beberapa ajaran," kata Rauf.
Jaksa juga menyebut kongres luar biasa di Villa Panewood yang mendeklarasikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam sebagai upaya makar. Sebab, dalam kongres itu, Mushaddeq dkk mendirikan organisasi yang strukturnya menyerupai negara, yaitu ada presiden, wakil presiden, menteri, dan gubernur.
Jaksa mendakwa Mushaddeq dkk melanggar Pasal 110 ayat 1 KUHP. Jaksa mendasarkan dakwaan makar pada kesaksian Kartika, bekas anggota Gafatar. Menurut jaksa, Kartika menyebutkan bahwa sebagian dana yang digalang dari massa Gafatar akan digunakan untuk membeli senjata.
Kuasa hukum Mushaddeq dkk, Pratiwi Febri, mempersoalkan dakwaan jaksa. Tuduhan penodaan agama, menurut Pratiwi, hanya berdasarkan keterangan Dwi Ari Budianti, saksi yang diperiksa penyidik tapi tidak dihadirkan dalam persidangan. "Kami tak bisa mengkonfirmasi kesaksiannya," kata Pratiwi.
Rauf membenarkan kabar bahwa saksi Dwi Ari Budianti tak bisa dihadirkan ke persidangan. Namun Rauf beralasan jaksa sudah berusaha mendatangkan dia. Karena saksi tak bisa hadir dengan alasan yang jelas, jaksa membacakan keterangan dari berita acara pemeriksaan (BAP) dia. "Kan, sudah disumpah," tuturnya.
Pratiwi kembali mempertanyakan kesahihan kesaksian dari BAP. Sebab, di sidang, ada beberapa saksi yang menarik kesaksian dalam BAP yang mereka sebut di bawah tekanan. Abdul Rauf lagi-lagi mengklaim sudah berusaha menghadirkan Kartika, tapi perempuan itu tak bisa datang.
Menepis dakwaan jaksa, Pratiwi mengutip keterangan saksi bernama Muhammad Hadi Suparyono. "Millah Abraham tidak pernah masuk ke ranah peribadatan secara ritual," kata Pratiwi. Dia juga mengutip kesaksian pengikut Millah Abraham, Deni Herdian, yang mengatakan tak pernah mendengar ajaran bahwa salat, puasa, zakat, dan haji tak perlu dilakukan karena "belum waktunya".
Toh, dalam hal penodaan agama, majelis hakim sependapat dengan dakwaan jaksa. Dalam pertimbangannya, hakim mengutip keterangan Dwi Ari Budianti. Menurut hakim, paham Millah Abraham sama dengan paham Al-Qiyadah yang diajarkan Mushaddeq sebelumnya. "Itu bertentangan dengan ajaran Islam," kata hakim ketika membacakan putusan. Hakim pun menyimpulkan bahwa Millah Abraham menyinggung dan menodai kemurnian ajaran Islam.
Dalam hal pidana makar, hakim tak sependapat dengan argumen jaksa. Pertimbangan putusan hakim menguraikan, sejumlah saksi memang mengakui pernah mengikuti pembinaan dalam bentuk sarasehan, diskusi, dan aksi sosial. Tapi, menurut hakim, tak satu pun saksi yang menyebutkan ketiga terdakwa pernah membicarakan rencana menggulingkan pemerintah.
Hukuman terhadap Mushaddeq dan kawan-kawan ternyata tak memuaskan jaksa. "Kami akan mengajukan permohonan banding," ucap Rauf. Alasannya, vonis hakim masih jauh di bawah tuntutan jaksa agar Mushaddeq dkk dihukum 12 tahun penjara. Jaksa pun tak terima karena hakim membebaskan ketiga terdakwa dari jerat makar. Sebaliknya, kuasa hukum Mushaddeq dkk belum menentukan sikap. "Kami masih pikir-pikir," kata Yudistira Arif Rahman Hakim.
Kalangan pegiat hak asasi manusia menilai vonis terhadap Mushaddeq dkk melanggar kebebasan berkeyakinan. Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan vonis itu memperpanjang tren pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dan berkeyakinan. "Hak warga negara diberangus dengan tuduhan penodaan agama," ujar Hendardi. Dia pun menganggap putusan itu sebagai preseden buruk. "Kaum minoritas akan semakin waswas dan terpinggirkan."
Abdul Manan
Empat hari sebelum sidang putusan, ketiga terdakwa menyampaikan keyakinan itu kepada Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, yang juga menjadi penasihat hukum mereka. "Bukan karena fakta persidangan, tapi karena dituntut dengan pasal penodaan terhadap agama mayoritas," ujar Asfinawati mengutip pernyataan Mahful, ketika ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
Majelis hakim yang dipimpin Muhamad Sirad menyatakan ketiga terdakwa terbukti bersalah melakukan permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama karena menyebarkan paham Millah Abraham. Mushaddeq dan Mahful dihukum lima tahun penjara, sedangkan Andri dihukum tiga tahun penjara. Ketiganya dinyatakan terbukti melanggar Pasal 156-a huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur perbuatan penghinaan dan penodaan atas ajaran agama.
Bagi Mushaddeq dan Mahful, ini merupakan hukuman kedua kali dengan pasal dan dakwaan serupa. Pada 2007, Mushaddeq divonis empat tahun penjara karena memimpin aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah, yang menahbiskan dirinya sebagai nabi setelah Muhammad. Sedangkan Mahful divonis lima bulan penjara oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar pada 2008 karena menjadi pengikut Al-Qiyadah.
Keluar dari penjara, Mushaddeq dan Mahful mendirikan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) pada 14 Agustus 2011. Mahful didaulat memimpin organisasi berlambang 12 sinar matahari ini. Organisasi ini hanya bertahan empat tahun karena terus didera penolakan masyarakat. Puncaknya, pada 11-13 Agustus 2015, pengurus Gafatar menggelar kongres luar biasa di Villa Panewood, Jalan Gandamanah, Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan akbar itu, mereka membubarkan Gafatar, lalu mendeklarasikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam Nusantara. Dalam gerakan baru, Andri Cahya didaulat sebagai presiden. Mahful menjadi wakil presiden. Adapun Mushaddeq menjadi penasihat spiritual gerakan tersebut.
Setelah kongres luar biasa itu, bekas anggota Gafatar pindah secara bergelombang ke sejumlah tempat di Kalimantan Barat untuk menciptakan "negeri" yang makmur sentosa. Masalah mencuat ketika suami seorang dokter di Yogyakarta melaporkan "kehilangan" istrinya. Belakangan, dokter bernama Rika itu ketahuan ikut "eksodus" ke Mempawah, Kalimantan Barat, bersama bekas anggota Gafatar lainnya.
Di tengah heboh berita tentang "hilangnya" dokter Rika dan bekas anggota Gafatar lainnya, Majelis Ulama Indonesia Kalimantan Barat mengeluarkan fatwa bahwa Gafatar merupakan aliran "sesat dan menyesatkan". Pada 3 Februari 2016, MUI pusat mengeluarkan fakta serupa. Urusan tambah runyam ketika tiga lembaga mengeluarkan Surat Keputusan Bersama pada 29 Februari 2016. Keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung itu melarang aktivitas Gafatar.
Fatwa MUI serta keputusan bersama menteri dan Jaksa Agung memantik tekanan yang lebih deras atas bekas pengikut Gafatar. Sampailah pada 19 Januari 2016, ketika 1.167 bekas anggota Gafatar "diusir" dari Mempawah. Mereka dipulangkan paksa ke daerah asalnya, seperti Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Hampir bersamaan dengan itu, seseorang bernama Tahir Mahmud melaporkan Mushaddeq dan kawan-kawan ke Markas Besar Kepolisian RI. Trio Mushaddeq, Mahful, dan Andri pertama kali diperiksa pada 15 April 2016. Dalam pemeriksaan lanjutan, 25 Mei 2016, polisi menetapkan ketiganya sebagai tersangka. Malam harinya, polisi langsung menahan mereka.
Menurut Asfinawati, dalam surat panggilan sebagai tersangka, ketiga kliennya hanya dijerat pasal penodaan agama. Setelah menahan Mushaddeq dkk, polisi baru menambahkan pasal makar. Di persidangan, jaksa juga memadukan dakwaan penodaan agama dan perbuatan makar.
Jaksa kasus ini, Abdul Rauf, menjelaskan beberapa ajaran Millah Abraham yang dianggap menodai agama Islam. "Sekarang masih zaman jahiliyah atau era Makiyah. Jadi belum saatnya melakukan salat, puasa, zakat, dan haji," ujar Rauf. Komunitas Millah Abraham, menurut Rauf, juga mengganti ritual salat lima waktu dengan "bangun aktivitas malam". Dalam kegiatan itu, pengikut Millah Abraham mengkaji Al-Quran, Injil, dan Taurat. "Mereka menggabungkan beberapa ajaran," kata Rauf.
Jaksa juga menyebut kongres luar biasa di Villa Panewood yang mendeklarasikan Negeri Karunia Tuan Semesta Alam sebagai upaya makar. Sebab, dalam kongres itu, Mushaddeq dkk mendirikan organisasi yang strukturnya menyerupai negara, yaitu ada presiden, wakil presiden, menteri, dan gubernur.
Jaksa mendakwa Mushaddeq dkk melanggar Pasal 110 ayat 1 KUHP. Jaksa mendasarkan dakwaan makar pada kesaksian Kartika, bekas anggota Gafatar. Menurut jaksa, Kartika menyebutkan bahwa sebagian dana yang digalang dari massa Gafatar akan digunakan untuk membeli senjata.
Kuasa hukum Mushaddeq dkk, Pratiwi Febri, mempersoalkan dakwaan jaksa. Tuduhan penodaan agama, menurut Pratiwi, hanya berdasarkan keterangan Dwi Ari Budianti, saksi yang diperiksa penyidik tapi tidak dihadirkan dalam persidangan. "Kami tak bisa mengkonfirmasi kesaksiannya," kata Pratiwi.
Rauf membenarkan kabar bahwa saksi Dwi Ari Budianti tak bisa dihadirkan ke persidangan. Namun Rauf beralasan jaksa sudah berusaha mendatangkan dia. Karena saksi tak bisa hadir dengan alasan yang jelas, jaksa membacakan keterangan dari berita acara pemeriksaan (BAP) dia. "Kan, sudah disumpah," tuturnya.
Pratiwi kembali mempertanyakan kesahihan kesaksian dari BAP. Sebab, di sidang, ada beberapa saksi yang menarik kesaksian dalam BAP yang mereka sebut di bawah tekanan. Abdul Rauf lagi-lagi mengklaim sudah berusaha menghadirkan Kartika, tapi perempuan itu tak bisa datang.
Menepis dakwaan jaksa, Pratiwi mengutip keterangan saksi bernama Muhammad Hadi Suparyono. "Millah Abraham tidak pernah masuk ke ranah peribadatan secara ritual," kata Pratiwi. Dia juga mengutip kesaksian pengikut Millah Abraham, Deni Herdian, yang mengatakan tak pernah mendengar ajaran bahwa salat, puasa, zakat, dan haji tak perlu dilakukan karena "belum waktunya".
Toh, dalam hal penodaan agama, majelis hakim sependapat dengan dakwaan jaksa. Dalam pertimbangannya, hakim mengutip keterangan Dwi Ari Budianti. Menurut hakim, paham Millah Abraham sama dengan paham Al-Qiyadah yang diajarkan Mushaddeq sebelumnya. "Itu bertentangan dengan ajaran Islam," kata hakim ketika membacakan putusan. Hakim pun menyimpulkan bahwa Millah Abraham menyinggung dan menodai kemurnian ajaran Islam.
Dalam hal pidana makar, hakim tak sependapat dengan argumen jaksa. Pertimbangan putusan hakim menguraikan, sejumlah saksi memang mengakui pernah mengikuti pembinaan dalam bentuk sarasehan, diskusi, dan aksi sosial. Tapi, menurut hakim, tak satu pun saksi yang menyebutkan ketiga terdakwa pernah membicarakan rencana menggulingkan pemerintah.
Hukuman terhadap Mushaddeq dan kawan-kawan ternyata tak memuaskan jaksa. "Kami akan mengajukan permohonan banding," ucap Rauf. Alasannya, vonis hakim masih jauh di bawah tuntutan jaksa agar Mushaddeq dkk dihukum 12 tahun penjara. Jaksa pun tak terima karena hakim membebaskan ketiga terdakwa dari jerat makar. Sebaliknya, kuasa hukum Mushaddeq dkk belum menentukan sikap. "Kami masih pikir-pikir," kata Yudistira Arif Rahman Hakim.
Kalangan pegiat hak asasi manusia menilai vonis terhadap Mushaddeq dkk melanggar kebebasan berkeyakinan. Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan vonis itu memperpanjang tren pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dan berkeyakinan. "Hak warga negara diberangus dengan tuduhan penodaan agama," ujar Hendardi. Dia pun menganggap putusan itu sebagai preseden buruk. "Kaum minoritas akan semakin waswas dan terpinggirkan."
Abdul Manan
Majalah Tempo, 13 Maret 2017
Comments