Tiket Masuk Televisi Partai
MURTI Kusuma W. dan kawan-kawan hanya bisa memantau lamat-lamat pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Rapat-rapat DPR yang tertutup menyulitkan anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran ini untuk mengawasi dari dekat. "Perkembangannya kerap mengejutkan," kata Murti, Rabu pekan lalu.
Termasuk yang mengejutkan Murti dkk adalah munculnya pasal tentang "lembaga penyiaran khusus" dalam draf revisi. Jika kelak disahkan, pasal itu memperbolehkan setiap partai politik memiliki stasiun televisi. "Pasal itu sebelumnya tak ada, tiba-tiba saja muncul," ujar Murti. Koalisi yang menaungi Murti dibentuk pada April tahun lalu, beranggotakan sekitar 160 akademikus, praktisi penyiaran, dan aktivis masyarakat sipil.
Komisi I DPR menggulirkan rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada tahun lalu. Pembahasan di tingkat komisi sudah rampung. Draf revisi memasuki tahap harmonisasi di Panitia Kerja Badan Legislasi DPR. Hasil dari Panitia Kerja akan dibahas dalam rapat pleno Badan Legislasi. Selanjutnya, draf revisi akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk disetujui sebagai rancangan resmi usulan Dewan.
Rencana merevisi Undang-Undang Penyiaran kali ini bukan yang pertama. DPR periode 2009-2014 juga membahas rancangan revisi undang-undang tersebut. Namun kala itu DPR dan pemerintah berbeda pendapat dalam banyak pasal. Akibatnya, pembahasan tak rampung sampai masa kerja DPR periode itu berakhir.
Sejak tahun lalu, DPR periode 2014-2019 melanjutkan proyek yang mandek di tengah jalan itu. Tapi pembahasan mulai dari awal lagi. Ketua Panitia Kerja RUU Penyiaran Meutya Hafid mengatakan pembahasan mulai dari awal karena DPR periode ini tak bisa langsung meneruskan hasil kerja Dewan periode sebelumnya. Menurut dia, sekitar 80 persen materi revisi juga berbeda dari rancangan undang-undang sebelumnya. "Banyak bahasan penting dalam rancangan baru. Hampir semuanya memicu perdebatan ramai," ucap Meutya.
Meski menjadi perdebatan di DPR, rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran tak banyak diketahui publik. Soal ini, Meutya beralasan, proses di DPR belum terbuka untuk umum karena yang dibahas masih berupa draf. Setelah resmi menjadi rancangan undang-undang, kata dia, "Akan kami buka dan minta masukan publik."
***
ATURAN tentang lembaga penyiaran khusus itu muncul dalam draf revisi RUU Penyiaran versi tanggal 7 Desember 2016. Pasal 103 draf itu menyatakan lembaga penyiaran khusus merupakan lembaga penyiaran nonkomersial yang didirikan dan dimiliki oleh lembaga negara, kementerian, partai politik, atau pemerintah daerah.
Menurut aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, pasal lembaga penyiaran khusus akan menjadi pintu masuk bagi partai politik untuk memiliki stasiun televisi. Yang membuat mereka bertanya-tanya, pasal tersebut belum ada dalam draf RUU versi Februari dan Agustus 2016. "Makanya kami terkejut," ujar Murti Kusuma, yang juga pengajar di Universitas Negeri Jakarta.
Sejumlah politikus Senayan menuturkan, pasal itu muncul lantaran ketidakpuasan atas sejumlah stasiun televisi swasta yang pemiliknya terafiliasi dengan partai politik tertentu. "Kami ingin ada keadilan," kata salah seorang penggagas pasal tersebut dalam sebuah rapat di Panitia Kerja DPR. Pengusul pasal ini umumnya berasal dari partai-partai yang belum "memiliki" stasiun televisi, di antaranya Partai Gerindra.
Politikus Gerindra, Elnino M. Husein Mohi, mengatakan stasiun TV partai diusulkan agar stasiun televisi publik dan swasta tidak disalahgunakan untuk kepentingan partai politik tertentu. Kelak pimpinan partai hanya boleh memakai stasiun televisi khusus partai ketika berkampanye, bukan stasiun televisi swasta seperti yang terjadi selama ini. "Pimpinan parpol mendapat perlakuan yang sama," ujar Elnino.
Meutya Hafid membenarkan kabar bahwa pasal itu diusulkan antara lain karena sejumlah koleganya menganggap stasiun televisi banyak yang menjadi partisan dalam pemilihan umum. "Parpol yang mau punya stasiun TV diberi ruang saja." Dengan begitu, kata Meutya, masyarakat akan tahu mana stasiun televisi milik partai dan mana yang bukan.
Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran lainnya, Nina Armando, mengatakan kecemburuan antarpartai politik muncul karena selama ini ada saluran TV swasta yang kerap dimanfaatkan pemiliknya—yang juga petinggi partai—untuk berkampanye. Kendati begitu, Koalisi menolak lembaga penyiaran khusus untuk partai. Alasannya, "Kami khawatir sekali media penyiaran akan menjadi ajang propaganda."
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran sudah menyampaikan penolakan atas lembaga penyiaran khusus ketika bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di kantornya pada 3 Februari lalu. Menurut Murti, Koalisi menyampaikan aspirasi ke Kementerian Komunikasi karena lembaga itu yang akan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Penyiaran.
Menanggapi reaksi Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Meutya mengatakan apa yang dibahas DPR masih draf yang belum final. "Masih bisa berubah," ucap Meutya. Lagi pula, menurut politikus Partai Golkar ini, jika pasal itu disahkan, belum tentu semua partai politik akan memanfaatkan peluang untuk mendirikan stasiun televisi. "Bikin stasiun TV itu tidak mudah," katanya.
Meutya menambahkan, hal yang paling diperdebatkan di DPR bukan urusan stasiun televisi partai, melainkan pengaturan frekuensi. Soalnya, digitalisasi teknologi siaran bisa membuat jumlah stasiun televisi melonjak. Jumlah frekuensinya mungkin tetap seperti saat ini, sebanyak 12 frekuensi. Setelah digitalisasi, setiap frekuensi bisa dipakai untuk 8-12 kanal stasiun televisi.
Dalam pembahasan di Panitia Kerja, menurut Meutya, ada tiga opsi yang muncul: single mux, multi-mux, dan kombinasi. Dalam sistem single mux, frekuensi akan dikelola oleh negara atau badan independen yang ditunjuk negara. Selanjutnya, stasiun televisi menyewa kanal dalam frekuensi tertentu.
Dalam sistem multi-mux, sementara itu, frekuensi dikelola perusahaan pemilik stasiun TV yang ada saat ini. Mereka pula yang kemudian menyewakan kanal ke pemilik stasiun televisi lain. "Komisi I menyepakati prinsip single mux," ujar Meutya seraya menyebutkan pilihan itu akan memicu reaksi dari para pemilik stasiun TV.
Pilihan model pengaturan frekuensi ini juga sempat dipersoalkan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran. Soalnya, sampai draf revisi versi Februari dan Agustus 2016, pengaturan hal itu belum jelas. Ketika Komisi I DPR menyepakati opsi single mux dalam sidang awal Februari lalu, Koalisi pun mendukungnya. "Yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar usul itu tak berubah di Baleg," kata Nina Armando.
Koalisi juga mempersoalkan tidak adanya pasal pembatasan kepemilikan stasiun TV dan radio dalam draf revisi. Dalam Undang-Undang Penyiaran yang masih berlaku, larangan pemusatan kepemilikan stasiun televisi dan radio serta media cetak ada di Pasal 18. Pengaturan lebih detail ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Aturannya, antara lain, satu badan hukum paling banyak dibolehkan memiliki dua izin stasiun televisi di dua provinsi.
Elnino Husein membenarkan aturan pembatasan kepemilikan sempat luput dari pembahasan Panitia Kerja. "Mungkin karena Panja sibuk dengan pasal-pasal lain yang dibahas alot." Tapi, menurut dia, aturan pembatasan kepemilikan akhirnya dibahas di Komisi I DPR. "Kami pertegas untuk memenuhi prinsip diversity of ownership," ujar Elnino.
Komisi I DPR telah mengirimkan draf revisi Undang-Undang Penyiaran ke Badan Legislasi DPR pada Rabu dua pekan lalu. Menurut Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, sejauh ini ada aspirasi kuat untuk mempertahankan frekuensi sebagai aset negara. "Jangan sampai jatuh ke tangan beberapa kelompok saja," ucap Supratman.
Abdul Manan
Dimuat di Majalah Tempo edisi 27 Februari - 5 Maret 2017
Termasuk yang mengejutkan Murti dkk adalah munculnya pasal tentang "lembaga penyiaran khusus" dalam draf revisi. Jika kelak disahkan, pasal itu memperbolehkan setiap partai politik memiliki stasiun televisi. "Pasal itu sebelumnya tak ada, tiba-tiba saja muncul," ujar Murti. Koalisi yang menaungi Murti dibentuk pada April tahun lalu, beranggotakan sekitar 160 akademikus, praktisi penyiaran, dan aktivis masyarakat sipil.
Komisi I DPR menggulirkan rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada tahun lalu. Pembahasan di tingkat komisi sudah rampung. Draf revisi memasuki tahap harmonisasi di Panitia Kerja Badan Legislasi DPR. Hasil dari Panitia Kerja akan dibahas dalam rapat pleno Badan Legislasi. Selanjutnya, draf revisi akan dibawa ke sidang paripurna DPR untuk disetujui sebagai rancangan resmi usulan Dewan.
Rencana merevisi Undang-Undang Penyiaran kali ini bukan yang pertama. DPR periode 2009-2014 juga membahas rancangan revisi undang-undang tersebut. Namun kala itu DPR dan pemerintah berbeda pendapat dalam banyak pasal. Akibatnya, pembahasan tak rampung sampai masa kerja DPR periode itu berakhir.
Sejak tahun lalu, DPR periode 2014-2019 melanjutkan proyek yang mandek di tengah jalan itu. Tapi pembahasan mulai dari awal lagi. Ketua Panitia Kerja RUU Penyiaran Meutya Hafid mengatakan pembahasan mulai dari awal karena DPR periode ini tak bisa langsung meneruskan hasil kerja Dewan periode sebelumnya. Menurut dia, sekitar 80 persen materi revisi juga berbeda dari rancangan undang-undang sebelumnya. "Banyak bahasan penting dalam rancangan baru. Hampir semuanya memicu perdebatan ramai," ucap Meutya.
Meski menjadi perdebatan di DPR, rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran tak banyak diketahui publik. Soal ini, Meutya beralasan, proses di DPR belum terbuka untuk umum karena yang dibahas masih berupa draf. Setelah resmi menjadi rancangan undang-undang, kata dia, "Akan kami buka dan minta masukan publik."
***
ATURAN tentang lembaga penyiaran khusus itu muncul dalam draf revisi RUU Penyiaran versi tanggal 7 Desember 2016. Pasal 103 draf itu menyatakan lembaga penyiaran khusus merupakan lembaga penyiaran nonkomersial yang didirikan dan dimiliki oleh lembaga negara, kementerian, partai politik, atau pemerintah daerah.
Menurut aktivis Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, pasal lembaga penyiaran khusus akan menjadi pintu masuk bagi partai politik untuk memiliki stasiun televisi. Yang membuat mereka bertanya-tanya, pasal tersebut belum ada dalam draf RUU versi Februari dan Agustus 2016. "Makanya kami terkejut," ujar Murti Kusuma, yang juga pengajar di Universitas Negeri Jakarta.
Sejumlah politikus Senayan menuturkan, pasal itu muncul lantaran ketidakpuasan atas sejumlah stasiun televisi swasta yang pemiliknya terafiliasi dengan partai politik tertentu. "Kami ingin ada keadilan," kata salah seorang penggagas pasal tersebut dalam sebuah rapat di Panitia Kerja DPR. Pengusul pasal ini umumnya berasal dari partai-partai yang belum "memiliki" stasiun televisi, di antaranya Partai Gerindra.
Politikus Gerindra, Elnino M. Husein Mohi, mengatakan stasiun TV partai diusulkan agar stasiun televisi publik dan swasta tidak disalahgunakan untuk kepentingan partai politik tertentu. Kelak pimpinan partai hanya boleh memakai stasiun televisi khusus partai ketika berkampanye, bukan stasiun televisi swasta seperti yang terjadi selama ini. "Pimpinan parpol mendapat perlakuan yang sama," ujar Elnino.
Meutya Hafid membenarkan kabar bahwa pasal itu diusulkan antara lain karena sejumlah koleganya menganggap stasiun televisi banyak yang menjadi partisan dalam pemilihan umum. "Parpol yang mau punya stasiun TV diberi ruang saja." Dengan begitu, kata Meutya, masyarakat akan tahu mana stasiun televisi milik partai dan mana yang bukan.
Anggota Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran lainnya, Nina Armando, mengatakan kecemburuan antarpartai politik muncul karena selama ini ada saluran TV swasta yang kerap dimanfaatkan pemiliknya—yang juga petinggi partai—untuk berkampanye. Kendati begitu, Koalisi menolak lembaga penyiaran khusus untuk partai. Alasannya, "Kami khawatir sekali media penyiaran akan menjadi ajang propaganda."
Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran sudah menyampaikan penolakan atas lembaga penyiaran khusus ketika bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di kantornya pada 3 Februari lalu. Menurut Murti, Koalisi menyampaikan aspirasi ke Kementerian Komunikasi karena lembaga itu yang akan mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU Penyiaran.
Menanggapi reaksi Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran, Meutya mengatakan apa yang dibahas DPR masih draf yang belum final. "Masih bisa berubah," ucap Meutya. Lagi pula, menurut politikus Partai Golkar ini, jika pasal itu disahkan, belum tentu semua partai politik akan memanfaatkan peluang untuk mendirikan stasiun televisi. "Bikin stasiun TV itu tidak mudah," katanya.
Meutya menambahkan, hal yang paling diperdebatkan di DPR bukan urusan stasiun televisi partai, melainkan pengaturan frekuensi. Soalnya, digitalisasi teknologi siaran bisa membuat jumlah stasiun televisi melonjak. Jumlah frekuensinya mungkin tetap seperti saat ini, sebanyak 12 frekuensi. Setelah digitalisasi, setiap frekuensi bisa dipakai untuk 8-12 kanal stasiun televisi.
Dalam pembahasan di Panitia Kerja, menurut Meutya, ada tiga opsi yang muncul: single mux, multi-mux, dan kombinasi. Dalam sistem single mux, frekuensi akan dikelola oleh negara atau badan independen yang ditunjuk negara. Selanjutnya, stasiun televisi menyewa kanal dalam frekuensi tertentu.
Dalam sistem multi-mux, sementara itu, frekuensi dikelola perusahaan pemilik stasiun TV yang ada saat ini. Mereka pula yang kemudian menyewakan kanal ke pemilik stasiun televisi lain. "Komisi I menyepakati prinsip single mux," ujar Meutya seraya menyebutkan pilihan itu akan memicu reaksi dari para pemilik stasiun TV.
Pilihan model pengaturan frekuensi ini juga sempat dipersoalkan Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran. Soalnya, sampai draf revisi versi Februari dan Agustus 2016, pengaturan hal itu belum jelas. Ketika Komisi I DPR menyepakati opsi single mux dalam sidang awal Februari lalu, Koalisi pun mendukungnya. "Yang harus diantisipasi adalah bagaimana agar usul itu tak berubah di Baleg," kata Nina Armando.
Koalisi juga mempersoalkan tidak adanya pasal pembatasan kepemilikan stasiun TV dan radio dalam draf revisi. Dalam Undang-Undang Penyiaran yang masih berlaku, larangan pemusatan kepemilikan stasiun televisi dan radio serta media cetak ada di Pasal 18. Pengaturan lebih detail ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Aturannya, antara lain, satu badan hukum paling banyak dibolehkan memiliki dua izin stasiun televisi di dua provinsi.
Elnino Husein membenarkan aturan pembatasan kepemilikan sempat luput dari pembahasan Panitia Kerja. "Mungkin karena Panja sibuk dengan pasal-pasal lain yang dibahas alot." Tapi, menurut dia, aturan pembatasan kepemilikan akhirnya dibahas di Komisi I DPR. "Kami pertegas untuk memenuhi prinsip diversity of ownership," ujar Elnino.
Komisi I DPR telah mengirimkan draf revisi Undang-Undang Penyiaran ke Badan Legislasi DPR pada Rabu dua pekan lalu. Menurut Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, sejauh ini ada aspirasi kuat untuk mempertahankan frekuensi sebagai aset negara. "Jangan sampai jatuh ke tangan beberapa kelompok saja," ucap Supratman.
Abdul Manan
Dimuat di Majalah Tempo edisi 27 Februari - 5 Maret 2017
Comments