Skip to main content

Rahasia Pertemuan Setelah Grasi

Antasari Azhar mengaku tak lagi menyimpan dendam atas masa-masa sulit selama tujuh tahun di balik jeruji besi. Namun pengakuan itu tak mengurangi desakan Antasari agar polisi mengusut kembali apa yang dia laporkan enam tahun lalu. "Sekarang saya ingin mencari kebenaran," kata bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu, Jumat pekan lalu.


Antasari mendatangi Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 1 Februari lalu. Itu persis 16 hari setelah ia mendapat grasi (pengampunan) dari Presiden Joko Widodo atas kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran.

Antasari menanyakan lagi hasil pengusutan pesan pendek (SMS) yang ia laporkan pada 25 Agustus 2011. Kala itu ia menyebutkan pesan berisi ancaman di telepon Nasrudin Zulkarnaen merupakan "SMS palsu". Pesan pendek itu pula yang menyeret Antasari ke pengadilan dan membuatnya dihukum 18 tahun penjara.

Pesan pendek itu konon berbunyi, "Maaf mas, permasalahan ini hanya kita saja yang tahu. Kalau sampai terbongkar, Anda tahu konsekuensinya." Pesan itu pernah ditunjukkan Nasrudin kepada teman-teman dekatnya beberapa hari sebelum dia ditembak pada 14 Maret 2009. Nasrudin ditembak setelah bermain golf di Modernland, Tangerang, sekitar pukul 14.00. Ia meninggal keesokan harinya.

Dua bulan kemudian, Polda Metro Jaya menetapkan Antasari Azhar sebagai tersangka dan langsung menjebloskannya ke tahanan. Menurut polisi, Antasari mengancam Nasrudin karena ia punya hubungan asmara dengan Rani Juliani, istri Nasrudin. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada 11 Februari 2010, memvonis Antasari bersalah karena menganjurkan pembunuhan Nasrudin.

Upaya hukum Antasari berikutnya selalu mentok. Pengadilan Tinggi Jakarta menolak permohonan banding Antasari. Permohonan kasasi ke Mahkamah Agung juga kandas. Antasari menempuh upaya hukum luar biasa, melalui peninjauan kembali, yang ditolak Mahkamah Agung pada 13 Februari 2012.

Antasari tak menyerah. Dia berencana mengajukan permohonan peninjauan kembali untuk kedua kalinya. Tapi rencana itu terbentur Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang membatasi permohonan peninjauan kembali hanya sekali. Antasari lantas menguji materi pasal ini ke Mahkamah Konstitusi. Pada 6 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Antasari.

Celah untuk memohon peninjauan kembali terbuka. Tapi Antasari tak sempat memanfaatkan peluang itu. Pasalnya, Mahkamah Agung mengeluarkan aturan bahwa peninjauan kembali hanya bisa diajukan sekali. "Saya tak mengajukan PK lagi karena pasti ditolak," kata Antasari, yang juga bekas direktur penuntutan di Kejaksaan Agung.

Yang tersisa tinggal pintu grasi. Namun Antasari tak langsung memohon pengampunan pada 2014. Dia masih jeri oleh peristiwa pada 9 Maret 2012, ketika menikahkan anak perempuannya. Antasari hanya diberi izin menjadi wali pada acara akad nikah. Ia tak diperbolehkan menghadiri malam resepsi. "Resepsi anak saja tak boleh hadir, apalagi minta grasi," ujarnya.

Pergantian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh Joko Widodo membawa harapan baru bagi Antasari. Masalahnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 membatasi grasi hanya bisa diajukan setahun setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap. Sedangkan putusan kasasi Antasari telah lewat tiga tahun.

Antasari mengesampingkan kendala hukum itu. Ia berpegang pada Pasal 1 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal itu menyatakan, "Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya."

Keyakinan itulah yang membuat Antasari mengajukan permohonan grasi pada 20 Februari 2015. "Kami melampirkan surat dukungan dari sejumlah tokoh, termasuk keluarga almarhum Nasrudin," kata Boyamin Saiman, kuasa hukum Antasari.

Dalam berkas permohonan grasi, Antasari beralasan telah diperlakukan tidak adil. Dia juga menyinggung "bukti yang tak cukup" ketika divonis bersalah. Baju Nasrudin yang ada bercak darahnya, misalnya, tak ditemukan. Peluru yang bersarang di tubuh korban pun tak cocok dengan senjata yang dipakai penembak. Antasari juga mempersoalkan kesimpulan polisi yang berbeda dengan hasil visum. Menurut polisi, Nasrudin tewas karena tembakan dua peluru. Tapi hasil visum menyebutkan di kepala korban ada tiga luka tembak.

Permohonan grasi, menurut Boyamin, juga mengutip SMS ancaman yang meragukan itu. Bukti SMS tak pernah ditunjukkan dalam sidang. Di samping itu, dalam bukti tagihan Antasari, tak ada pengeluaran akibat pengiriman SMS itu. Toh, dengan segala argumen dan bukti itu, permohonan grasi pertama Antasari ditolak Jokowi. Permohonan grasi, kata Boyamin, dianggap kedaluwarsa.

Ketika permohonan grasi itu ditolak, Antasari mendekati masa-masa akhir di penjara. Pada November 2015, Antasari mulai menjalani asimilasi. Dia bisa berada di luar pada siang hari, tapi harus kembali ke penjara pada malam hari. Di masa asimilasi, Antasari menjadi penasihat di Kantor Notaris M. Handoko Halim di Tangerang. Antasari mendapatkan pembebasan bersyarat pada 10 November 2016. Sejak itu dia hanya wajib lapor sebulan sekali.

Meski sudah di ujung masa hukuman, Antasari tak menghentikan upaya mendapat grasi. Selain menempuh jalur hukum, menurut Boyamin, Antasari mendekati sejumlah tokoh yang punya akses kepada Jokowi. Salah satunya Wali Kota Solo F.X. Hadi Rudyatmo, yang menjadi wakil Jokowi ketika menjabat Wali Kota Solo periode 2005-2012.

Rudyatmo mengakui pernah bertemu dengan Antasari yang menjalani masa asimilasi. Namun dia membantah telah membantu Antasari untuk urusan grasi. "Tidak pernah. Kelas saya kan cuma ketua RT," kata Rudyatmo, Kamis pekan lalu.

Di luar jalur "politik", Boyamin berusaha melapangkan jalan. Dia menguji materi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010, khususnya aturan yang membatasi grasi setahun setelah putusan inkrah. Tapi kali ini Boyamin tak mengatasnamakan Antasari. Ia mengajukan judicial review atas nama Suud Rusli, terpidana mati kasus pembunuhan bos PT Asaba, Boedyharto Angsono. Pada 15 Juni 2016, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Suud Rusli. Kemenangan Suud ini membuka peluang bagi Antasari.

Antasari mengajukan kembali permohonan grasi pada September 2016. Meski memohon pengampunan, seperti dalam berkas grasi sebelumnya, Antasari kali ini pun tak mengaku bersalah. "Aturan mana yang mengharuskan pengakuan bersalah untuk mengajukan grasi?" ujar Antasari. "Grasi itu hak konstitusional presiden."

Upaya Antasari kali ini berbuah manis. Pada 16 Januari lalu, Presiden Jokowi mengabulkan permintaan grasi. Presiden mengurangi hukuman Antasari selama enam tahun. "Alasannya, salah satunya, adalah pertimbangan Mahkamah Agung yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo," kata juru bicara Presiden, Johan Budi S.P.

Mahkamah Agung memang memberi lampu hijau kepada Presiden. "Mahkamah Agung tak lagi mempertimbangkan perkaranya. Kami melihat pengabdian Antasari Azhar selama ini sebagai penegak hukum," ucap juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, Jumat pekan lalu. "Selain itu, kan ada surat dukungan persetujuan dari keluarga korban."

Sepuluh hari setelah memberikan grasi, Jokowi mengundang Antasari ke Kantor Kepresidenan. Antasari tak mau membocorkan pembicaraan empat mata dengan Presiden itu. "Yang tahu cuma Pak Jokowi. Tidak untuk konsumsi publik. Itu rahasia," kata Antasari, Jumat pekan lalu. Jokowi pun menutup rapat isi pertemuan dengan Antasari. "Mau tau aja," ujar Jokowi seraya menempatkan telunjuk di bibir ketika ditanya wartawan di sela-sela kunjungan ke Magelang, Jawa Tengah, pada 27 Januari lalu.

Boyamin juga mengaku tak tahu apa yang dibicarakan Antasari dengan Presiden. Namun ia melihat Antasari bersemangat lagi menuntut pengusutan "SMS gelap" setelah bertemu dengan Jokowi. Padahal, sewaktu keluar dari penjara pada 10 November 2015, Antasari menyatakan tak akan mengungkit-ungkit kasus yang menyeret dia ke bui. "Saya sudah ikhlas. Benci dan dendam sudah saya tinggal di dalam penjara," ucap Antasari.

Abdul Manan | Itsman M.P. | Ahmad Rafiq | Ayu Cipta

Dimuat di Majalah Tempo edisi 13-19 Februari 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236