Skip to main content

Jalur Pintas Haji Ilegal

SAIFUL Anam terkaget-kaget ketika melihat tayangan berita televisi dua pekan lalu. Ia melihat wajah ibunya, Sumiati, tersorot kamera di balik jeruji besi. Padahal, beberapa hari sebelumnya, Saiful mengantar sang ibu ke Bandar Udara Juanda, Surabaya, untuk mengikuti ibadah haji. "Saya langsung menangis," kata Saiful ketika menceritakan lagi kejadian itu di rumahnya di Pasuruan, Jawa Timur, Rabu pekan lalu.


Sumiati tak sendirian. Ia satu dari 177 warga Indonesia yang ditahan petugas imigrasi Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, Filipina, pada 19 Agustus lalu. Mereka ketahuan menggunakan paspor Filipina secara ilegal ketika hendak berangkat ke Arab Saudi.

Saiful sebenarnya sudah melihat kejanggalan sejak mendaftarkan sang ibu ke Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) Arafah, Pasuruan, pada Januari lalu. Pengurus KBIH waktu itu menjanjikan bahwa ibunya bisa berangkat haji tahun ini. Padahal Saiful telah mendengar kabar bahwa untuk naik haji harus antre sampai 20 tahun.

Tentu saja, karena jalur haji untuk Sumiati memakai jalan tol, ongkosnya lebih mahal. Sementara biaya naik haji reguler hanya sekitar Rp 35 juta, paket haji istimewa ini ongkosnya sekitar Rp 150 juta. Karena usia Sumiati sudah 72 tahun, Saiful khawatir sang bunda tak sempat menunaikan rukun Islam kelima ini bila harus antre di jalur reguler. Demi memberangkatkan Sumiati tahun ini, Saiful dan anggota keluarga inti pun sepakat urunan.

Pada Mei lalu, Sumiati mengikuti manasik haji di KBIH Arafah selama sepuluh hari. Tanpa setahu keluarga, kata Saful, Sumiati dibawa "jalan-jalan" ke Filipina. "Waktu itu kami mulai curiga," ujar Saiful. Pemilik KBIH Arafah, Nurul Huda, mengakui memberangkatkan 12 calon anggota jemaah haji lewat Filipina. Salah seorang dari mereka adalah Sumiati.

Senasib dengan Sumiati antara lain Nurdin bin Palla, 50 tahun. Warga Kelurahan Pompanua, Kecamatan Ajangale, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan itu juga gagal naik haji karena ditahan otoritas Filipina.

Anak Nurdin, Muhammad Tahir, bercerita bahwa ayahnya mendaftar haji melalui biro perjalanan PT Aulad Amin di Makassar. Tahir sejak awal tahu bahwa ayah dia akan melakukan ibadah haji melalui negeri tetangga. Biayanya Rp 135 juta. Namun Tahir mengaku tak paham bahwa berhaji melalui negara lain itu ilegal. "Namanya orang kampung, punya niat baik. Apa pun kami lakukan demi berangkat haji," kata dia.

Pengelola PT Aulad Amin Tours tak bisa ditemui. Ketika Tempo menyambangi kantor biro perjalanan itu di rumah toko Pasar Grosir Daya Modern (Pagodam), Makassar, pintunya tertutup rapat. Petugas pengamanan Pagodam, Hamzah, mengatakan sudah sepekan kantor itu tak buka. "Tak terlihat kegiatan lagi di sana," ujar dia.

***

PADA mulanya semua berjalan lancar. Sumiati, Nurdin, dan 175 anggota jemaah haji asal Indonesia lain baru terantuk masalah beberapa saat sebelum terbang ke Tanah Suci dari Bandara Ninoy Aquino. Kala itu sebagian jemaah sudah naik ke pesawat Philippine Airlines. Petugas imigrasi Filipina curiga ketika melihat beberapa anggota jemaah haji berpaspor Filipina memakai busana berbeda.

Di antara rombongan itu ada yang memakai peci dan sarung. Padahal jemaah haji asal Filipina umumnya bercelana cingkrang. Petugas imigrasi lalu menanyai mereka dengan bahasa Tagalog. Benar saja, jemaah haji berbusana asing itu tak mengerti bahasa lokal. Seorang di antara mereka tiba-tiba berteriak, "I am Indonesian."

Petugas imigrasi tak hanya menahan jemaah bersarung itu. Petugas pun menurunkan jemaah yang telanjur naik pesawat. Lima warga lokal yang mendampingi mereka di bandara juga ditahan. "Pemerintah akan memburu sindikat yang mengeluarkan paspor Filipina," kata juru bicara imigrasi Filipina, Antonette Mangrobang, seperti dilansir inquirer.net, 30 Agustus lalu.

Calon jemaah haji asal Indonesia yang tertahan di Filipina terdiri atas 99 perempuan dan 78 laki-laki. Sebanyak 44 orang sudah berusia di atas 60 tahun. Sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan, yakni 101 orang.  Sisanya dari Jawa Tengah (19 orang), Kalimantan Timur (13), Jawa Timur (12), Kalimantan Utara (7), Jakarta (6), Jawa Barat (6), Banten (4), Jambi (4), Yogyakarta (2), Sumatera Utara (1), Kepulauan Riau (1), dan Sulawesi Barat (1).

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Rabu pekan lalu mengatakan 168 warga Indonesia itu sudah bisa dipulangkan. Sisanya akan tetap di Manila untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.

Inilah untuk pertama kalinya jemaah haji asal Indonesia tertangkap secara massal di Filipina. Sebelumnya, tak ada catatan berapa banyak calon haji Indonesia yang lolos dari pemeriksaan petugas imigrasi Filipina. Salah satu dari mereka sebut saja Sumarjo, 50 tahun. Warga Tarakan, Kalimantan Timur, ini berhasil naik haji lewat Filipina tahun lalu.

Sumarjo bercerita, semula ia diajak seorang kenalan untuk memanfaatkan kuota ibadah haji Filipina yang berlebih. Sumarjo menerima tawaran itu karena mempertimbangkan usia yang sudah berkepala lima. Ia pun tak sabar menunggu antrean haji reguler yang begitu panjang.

Pada Juni 2015, Sumarjo berangkat ke Filipina dengan menyamar sebagai wisatawan. Tujuan Sumarjo sebenarnya mengurus kartu tanda penduduk sementara Filipina. Kartu itu merupakan salah satu syarat mendapatkan paspor Filipina. Seorang perantara asal Filipina membantu Sumarjo mengurus dokumen itu. Sumarjo pun berganti nama menjadi Muhammad Rio.

Seminggu di Filipina, Sumarjo kembali ke Indonesia. Ketika musim haji tiba, pada Agustus 2015, Sumarjo kembali berangkat ke Filipina. Di Bandara Soekarno-Hatta, Sumarjo bertemu dengan sekitar 100 calon anggota jemaah haji lain yang akan berangkat lewat Filipina.

Sumarjo dan rombongan kala itu tak berbusana mencolok. Mereka umumnya hanya membawa tas kecil dengan pakaian layaknya orang bepergian biasa. Setibanya di Filipina, paspor dan visa sudah siap. Sebelum masuk bandara, perantara lokal kembali mengingatkan agar Sumarjo dan anggota jemaah lain bersikap dan berpakaian layaknya orang Filipina.

Sumarjo tak menemui masalah di pintu imigrasi Filipina. Di Tanah Suci, Sumarjo bergabung dengan rombongan warga Filipina. Meski begitu, Sumarjo lebih akrab mengobrol dengan jemaah asal Indonesia. Bila ada yang bertanya mengapa dia lancar berbahasa Indonesia, Sumarjo sudah punya jawaban: "Saya pernah kuliah di Yogyakarta."

Setelah musim haji selesai, Sumarjo pulang lewat Filipina, sebelum masuk ke Indonesia. Ongkos naik haji lewat Filipina, menurut Sumarjo,  sekitar Rp 35 juta plus biaya pengurusan dokumen sekitar Rp 15 juta. Semua itu dia serahkan ke perantara di Filipina.

Pemilik KBIH Arafah, Nurul Huda, juga mengungkapkan peran "calo" asal Filipina itu. Huda mengaku mengetahui jalur haji tanpa antre dari Andi, orang Jakarta yang mengaku bekerja di biro travel Ramona. Huda membayar US$ 8.500 per calon anggota jemaah kepada Andi. Dari setiap anggota jemaah, Huda memungut biaya US$ 10 ribu.

Huda mengaku tak tahu di mana Andi berkantor. Bila ke Jakarta, Huda biasanya bertemu dia di Bandara Soekarno-Hatta. Ketika meyakinkan Huda, Andi menyebutkan punya kenalan seorang tokoh agama asal Filipina bernama Syekh Rosyidi. Menurut Andi, Rosyidi sudah berkali-kali memberangkatkan jemaah haji asal Indonesia melalui Filipina.

Dihubungi berulang kali ke nomor telepon selulernya, Andi tak menjawab. Ia pun tak membalas pesan pendek yang dikirim Tempo.

Nama Syekh Rosyidi juga disebut-sebut memfasilitasi keberangkatan 18 calon anggota jemaah asal Barru, Sulawesi Selatan. "Mereka dibawa oleh seseorang bernama Syekh Rosyidi," kata Machmud, 54 tahun, warga Barru, ketika dihubungi Tempo pada Rabu pekan lalu. Beberapa tahun terakhir, rumah Machmud menjadi tempat mendaftar calon jemaah haji yang diberangkatkan jaringan Syekh Rosyidi.

Machmud mengaku mengenal Rosyidi sejak tiga tahun lalu. Kala itu Rosyidi datang ke Barru dan memperkenalkan diri sebagai orang Filipina. Rosyidi menawarkan bantuan kepada siapa saja yang mau berhaji dengan cepat.

Rosyidi fasih pula membandingkan kuota haji yang diberikan pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia dan Filipina. Di Indonesia, katanya, kuota haji jauh lebih sedikit dibanding jumlah peminat. Sedangkan di Filipina, kuota tak pernah terisi penuh. "Dia bilang kuota Filipina 8.000, tapi hanya 6.000 yang terisi," ujar Machmud.

Sejumlah warga Barru kontan tertarik mendengar tawaran Rosyidi. Pada 214, ada 10 warga Barru yang mendaftar. Tahun berikutnya 20 orang. Tahun ini 18 orang Barru beribadah haji lewat Filipina. Adapun ongkosnya bervariasi, dari Rp 110 juta sampai Rp 130 juta.

Di Nunukan, Kalimantan Timur, cerita sedikit berbeda. Pemberangkatan haji melalui Filipina difasilitasi orang-orang yang sebelumnya berhasil memakai jalur itu. Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan, Muhammad Shaberah, mengatakan tahun ini ada 12 orang Nunukan yang tertangkap di Filipina. "Yang tertahan itu kloter ketiga. Sudah ada yang lolos karena mereka ikut rombongan pertama dan kedua," ujar Shaberah.

Shaberah memperkirakan tahun ini ada 35 warga Nunukan yang mendaftar haji melalui Filipina. Berhaji melalui negeri tetangga, menurut  Shaberah, menjadi alternatif bagi sebagian warga Nunukan karena daftar tunggu haji reguler di sana mencapai 24 tahun. "Mungkin ini yang membuat mereka tergiur," kata dia.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama Abdul Jamil  tak menampik antrean yang panjang sebagai faktor pendorong munculnya jalur haji ilegal. "Ini karena faktor ketidaksabaran," kata Abdul Jamil, Rabu pekan lalu.

Tahun ini Indonesia mendapat kuota haji 168 ribu orang, sedangkan calon anggota jemaah haji yang sudah mendaftar tak kurang dari tiga juta orang. Berdasarkan data Kementerian Agama, wilayah dengan daftar tunggu terlama adalah Sulawesi Selatan. Di sana, orang antre naik haji sampai 30 tahun. Adapun di Jawa, antrean naik haji bisa sampai 20 tahun.

Menteri Agama Lukman Hakim berharap polisi membongkar tuntas jaringan haji ilegal. Menurut Lukman, biro travel yang memberangkatkan calon haji lewat Filipina umumnya tak mengantongi izin. Mereka pun memberangkatkan haji tanpa dokumen resmi. "Kami berharap polisi mengusut kasus ini sampai tuntas," kata Lukman, Senin pekan lalu.

Sejauh ini polisi masih terus memanggil saksi. Menurut Kepala Divisi Humas Kepolisian RI Boy Rafli Amar, polisi sudah memeriksa 69 saksi. "Di antara mereka ada yang bisa jadi tersangka," kata Boy.

A. Manan, N. Santi, Syailendra, A. Faiz, Danang F. (Jakarta), Nur Hadi (Pasuruan), A. Rahman (Makassar), Firman H. (Samarinda)

Dimuat di Majalah Tempo edisi 5 September 2016

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236