Skip to main content

'Medan Perang Baru' John Kerry

Washington - Kesepakatan yang dicapai Iran dengan Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, Prancis dan Jerman pada 14 Juli lalu menutup perundingan panjang untuk mengakhiri sengketa soal nuklir Iran. Negara Barat menuding Iran mengembangkan senjata nuklir, tapi Teheran mengatakan itu untuk tujuan damai.


Kesepakatan yang dicapai di Wina itu mensyaratkan Iran menghentikan ambisinya membangun nuklir, dengan imbalan pencabutan sanksi PBB, Uni Eropa dan Amerika Serikat yang menghantam ekonomi Republik Islam itu secara serius. Pencabutan sanksi akan membuat Iran bisa mengakses dana segar sekitar US$ 100 miliar.

Setelah pertemuan di Wina, tugas Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, juru runding AS dalam pembahasan nuklir Iran, belum bisa dikatakan selesai. 'Medan perang' berikutnya adalah bagaimana memenangkan dukungan dari Kongres AS dan menenangkan negara sekutunya di Timur Tengah.

Kesepakatan nuklir itu harus disetujui Iran dan Kongres AS. Parlemen Iran menunggu sampai 80 hari sebelum melakukan voting soal itu. Mereka kini membentuk komisi khusus untuk membahasnya. Menurut analis yang dikutip New York Times, kemarin, penundaan itu sepertinya untuk mengetahui sikap Kongres AS lebih dulu.

Kongres AS memiliki waktu dua bulan untuk melakukan kajian atas kesepakatan yang dilakukan pemerintahan Barack Obama itu sebelum memutuskan menerima atau menolaknya. Obama berjanji akan menggunakan hak veto jika Kongres menolak. Jika itu terjadi, Senat dan DPR AS memerlukan dukungan dua pertiga suara untuk mematahkan veto itu.

Untuk menenangkan koleganya di Timur Tengah, John Kerry akan datang dalam pertemuan Negara Kerjasama Teluk di Doha, ibukota Qatar. "Saya akan melakukan perjalanan ke Doha dalam beberapa minggu untuk bertemu dengan seluruhnya (Negara Dewan Kerjasama Teluk)," kata Kerry dalam wawancara kepada suratkabar Arab, al-Sharq al-Awsat, yang diterbitkan kemarin. Dewan kerjasama Teluk itu terdiri Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Oman, dan Qatar.

Sebagian sekutu AS di negara Teluk yang kaya, di depan umum menyambut baik kesepakatan itu, meski sebelumnya menuduh pemerintah Tehran yang Syiah ikut campur dalam konflik di sejumlah negara Arab dan berusaha keras untuk meningkat pengaruhnya di kawasan ini. Dana segar miliaran dolar yang akan didapatkan Iran dari pencabutan sanksi, dikhawatirkan akan digunakan untuk mendukung sekutu-sekutunya.

Di Timur Tengah, Israel yang secara terus terang menentang kesepakatan itu dan mendesak Kongres AS menolaknya. Sekutu AS lainnya, yaitu Arab Saudi, yang diperintah oleh penguasa Muslim yang Sunni, curiga bahwa kesepakatan itu hanya akan menguntungkan Teheran yang selama ini dituduh Saudi mengobarkan konflik sektarian di kawasan ini melalui perang di Yaman, Irak, dan Suriah.

Saudi, yang dikenal sebagai saingan berat Iran, diprediksi akan melakukan hal yang sama jika Teheran memiliki nuklir. Jika ini terjadi, perlombaan senjata akan terjadi dan itu akan membuat kawasan ini lebih tidak stabil. "Saya pikir Arab Saudi serius akan mencoba untuk mendapatkan bom jika Iran membuatnya," kata Jamal Khashoggi, kepala jaringan berita Arab yang dimiliki pangeran Saudi. Jamal mengibaratkan hubungan Arab Saudi-Iran seperti India-Pakistan. Bertahun-tahun Pakistan mengatakan tak ingin memiliki nuklir, tapi buru-buru melakukannya ketika India mendapatkannya.

John Kerry membela kesepakatan itu yang diyakini akan menghadang langkah Iran memiliki senjata mematikan itu. "Kami telah menegosiasikan kesepakatan nuklir untuk alasan sederhana. Kami percaya jika Anda akan mendesak mundur Iran lebih baik saat ia tanpa senjata nuklir daripada saat ia memilikinya," kata politisi veteran ini.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan kepada para pendukungnya pada hari Sabtu lalu bahwa kebijakan AS di wilayah itu "180 derajat" menentang Iran dan negaranya akan terus mendukung sekutunya di negara-negara Arab. Kerry mengatakan kepada televisi Al Arabiya bahwa komentar Khamenei itu "sangat mengganggu" dan "meresahkan".

Di dalam negeri, tugas Kerry juga tak ringan. Ia yang ditugaskan oleh Barak Obama, bersama Menteri Energi Ernest Moniz dan Menteri Keuangan Jack Lew, untuk membela kesepakatan nuklir itu dalam dengar pendapat di Kongres AS, Kamis waktu setempat.  Obama juga mengirim Menteri Pertahanan Ashton Carter ke Yerusalem untuk menenangkan sekutu pentingnya itu.

Republik, yang meguasai mayoritas mayoritas di Senat, selama ini menjadi pengkritik vokal dari kesepakatan itu, dan menyebut hasil perundingan Wina lemah dan tidak memberikan jaminan kuat bahwa Iran tidak akan membangun senjata nuklir secara diam-diam.  Penentang lainnya adalah
American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Citizens for a Nuclear Free Iran, United Against a Nuclear Iran dan Republican Jewish Coalition. Menurut USA Today, mereka mengalokasikan dana iklan US$ 20 sampai $ 40 juta untuk kampanye menolak kesepakatan itu.

ABDUL MANAN (GLOBEANDMAIL.COM | USATODAY.COM | NEW YORK TIMES | REUTERS)

Tulisan ini dimuat di Koran Tempo edisi Kamis, 23 Juli 2015, dengan versi lebih pendek. Tulisan dalam format .pdf bisa dibaca di sini.

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236