Skip to main content

Internet Mengubah Politik Kamboja dan Indonesia

Jakarta - Meningkatnya jumlah pengguna Internet di suatu negara ikut mempengaruhi peta politik, selain memacu pertumbuhan ekonomi, di negara tersebut. Indonesia dan Kamboja adalah salah satu buktinya. Soal ini menjadi salah satu tema yang mengemuka dalam sesi konferensi bertema "4M Jakarta: Informing the Web" di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, Selasa, 23 September 2014.


"Internet, khususnya di kalangan pemilih muda, menjadi pengubah pertarungan politik di Kamboja," kata Ou Ritthy, blogger dari Politikoffee Cambodia, kelompok diskusi politik di Kamboja. Menurut Rithhy, partai oposisi di Kamboja memanfaatkan fenomena itu dan menyasar orang muda pengguna Internet untuk menaikkan popularitasnya.

Hasilnya, kata Rithhy, hasil pemilihan umum Kamboja pada 28 Juli 2013 memberi bukti. Meski partai oposisi Cambodia National Rescue Party belum berhasil mengalahkan partai penguasa, Cambodian People's Party, perolehan suaranya kian mendekati partai pimpinan Hun Sen, Perdana Menteri Kamboja saat ini, tersebut. Cambodia National Rescue Party meraih 55 kursi, sedangkan Cambodian People's Party mendapatkan 68 kursi.

Pengaruh kampanye partai oposisi di dunia Internet ini juga membuat tokoh pemimpin oposisi, Sam Rainsy, menjadi sangat populer di kalangan pengguna Internet di Kamboja. Ini memang agak berbeda dengan sejumlah negara lain, termasuk di Indonesia, tempat figur yang sangat populer di kalangan pengguna Internet umumnya adalah selebritas.

Pertumbuhan pengguna Internet di Kamboja sangat melesat jauh dibanding beberapa tahun sebelumnya. Pen Bona dari Radio France International (RFI) Kamboja mengatakan, kini ada 4 juta pengguna Internet di negara yang populasinya 15 juta orang itu. Jumlah ini melompat jauh dibanding lima tahun lalu, saat pengguna Internet di negara ni baru sebanyak 10.000 orang.

Menurut Bona, meroketnya jumlah pengguna ini dimanfaatkan dengan baik oleh partai oposisi untuk menaikkan popularitas. "Partai oposisi cukup pintar menangkap tren ini dan menggunakannya saat pemilihan umum," kata Bona. Hasilnya tercermin dalam pemilihan umum negara itu tahun lalu yang memberi kemenangan cukup besar bagi oposisi.

Pada Pemilu 27 Juli 2008, Cambodian People's Party mendominasi perolehan suara dengan meraih 90 dari total 123 kursi. Sedangkan partai oposisi Cambodia National Rescue Party berada di peringkat kedua dengan perolehan 26 kursi, dan Human Rights Party di posisi ketiga dengan perolehan 3 kursi. Pada Pemilu 2013, kata Bona, partai penguasa kehilangan 22 kursi, sedangkan oposisi berhasil mendapatkan tambahan 26 kursi.

Fenomena serupa memang sudah terjadi di Indonesia. Arfi Bambani, pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, mengatakan negara ini memiliki tingkat penetrasi Internet yang sangat tinggi. Mengutip data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), Indonesia memiliki pengguna Internet sekitar 107 juta dari total populasi 250 juta. Pengguna telepon seluler yang terdaftar hampir sama dengan populasi penduduk.

Menurut Arfi, hal penting dari fenomena politik dan Internet di Indonesia adalah soal makin dekatnya representasi publik di dunia sosial media, selain munculnya "bisnis sampingan" dari tingginya pengguna sosial media. Bisnis di media sosial itu, antara lain, jasa buzzer, jasa pembuatan trending topic, jasa penambahan follower, jual-beli akun Twitter, dan maraknya penggunaan akun anonim sebagai alat propaganda.

Arfi mengutip penelitian lembaga peneliti PoliticaWave yang menganalisis percakapan politik di media sosial soal kandidat yang bertarung dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 lalu. Menurut PoliticaWave, hasil analisis percakapan di media sosial menunjukkan bahwa percakapan soal Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama sebanyak 54,9 persen, sedangkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli 45,1 persen.

Suara di media sosial itu, kata Arfi, mendekati hasil riil Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Hasil pemilihan pada 20 September 2012 menunjukkan bahwa Jokowi-Basuki meraih 53,82 persen suara dan Fauzi Bowo-Nachrowi 46,18 persen suara. "Demografi Internet mulai mencerminkan aspirasi warga," kata redaktur portal berita Viva.co.id itu.

Hasil serupa juga bisa dilihat dalam Pemilihan Gubernur Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Bali (2013) serta pemilihan presiden Juli lalu. Kuatnya pengaruh Internet itulah, kata Arfi, yang membuat "kampanye di dunia digital atau online kini sama pentingnya dengan kampanye secara langsung seperti sebelumnya".

Kata Arfi, contoh lain soal bukti kuatnya pengaruh Internet dan media sosial terhadap politik dan perubahan antara lain juga tercermin dalam kasus Prita Mulyasari dan kasus Cicak vs Buaya. Kasus pertama bermula dari sengketa antara Prita dan RS Omni Internasional. Kasus Cicak vs Buaya adalah sebutan untuk perselisihan antara Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kedua kasus ini terjadi pada 2009.

Konferensi "4M Jakarta: Informing the Web", yang merupakan hasil kerja sama CFI (Prancis), Aliansi Jurnalis Independen, Universitas Atma Jaya, Institut Français Indonesia, dan Regional Cooperation Delegation France-ASEAN, ini, dimulai hari ini hingga besok, 24 September 2014. Konferensi membahas sejumlah isu mutakhir seputar media online, dari perannya dalam politik, jurnalisme warga, hingga model bisnis di media ini.

Abdul Manan

http://www.tempo.co/read/news/2014/09/23/118609149/Internet-Mengubah-Politik-Kamboja-dan-@AJIIndo

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236