Skip to main content

Diplomasi Lady Qui

Jenewa - Dua tahun lalu, koran Le Monde melaporkan pandangan menghakimi dari seorang birokrat Prancis yang menyebut Catherine Ashton adalah "nulle" alias "bukan siapa-siapa". "Lady Qui (Nyonya Siapa)?" begitu kata pejabat Prancis saat bicara tentang Ashton, yang saat itu sudah menjadi Perwakilan Tinggi Uni Eropa Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan dan juga Wakil Presiden Komisi Eropa.


Namun, 24 November 2013 lalu di Jenewa, Swiss, ia membalik persepsi itu setelah sukses menengahi kesepakatan perjanjian nuklir antara Iran dengan negara P5+1, yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Cina, Prancis, Inggris, dan Jerman. Kesepakatan awal itu merupakan terobosan diplomasi baru dalam perseteruan Iran dengan negara Barat, yang mencurigainya akan membangun senjata nuklir.

Perkembangan signifikan ini, tidak diragukan lagi karena perubahan fundamental pemerintahan di Teheran setelah tokoh reformis naik ke tampuk pemerintahan, Hasan Rouhani, menggantikan pendahulunya yang dikenal beraliran keras, mahmud Ahmadinejad. Faktor lainnya, karena pemerintah Barack Obama mulai serius berbicara dengan Iran setelah perseteruannya lebih dari tiga dekade.

Di tengah arus perubahan itu, Ashton memainkan diplomasinya melalui puluhan pertemuan rumit dan panjang. Format pembicaraan nuklir Iran di Jenewa memang agak memusingkan. Ada pertemuan bilateral antara Iran dengan masing-masing enam negara, serta sesi tak terhitung jumlahnya antara dua dari enam negara. Lalu ada pleno yang dihadiri semua.

Dalam diplomasi multi-dimensi dan kompleks ini, satu-satunya yang selalu hadir dalam setiap pertemuan itu adalah Ashton. Sebagai juru runding utama yang mewakili enam negara besar, ia bertanggungjawab meringkas hasil pembicaraan, membujuk pihak yang terlibat, mempersempit perbedaan, dan menerima pesan secara bolak-balik antara Iran dan enam negara.

Kerja keras Ashton, yang negosiasinya maju mundur, terbayar Ahad lalu saat delegasi Iran yang dipimpin Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif dan enam negara besar mendapatkan titik temu. Inti dari kesepakatan yang berlaku enam bulan itu adalah, Iran setuju pembekuan aktivitas penting nuklirnya dengan kompensasi pencabutan sanksi ekonomi dan pemberian bantuan.

Ashton, yang awalnya sempat dicemooh karena tak memiliki pengalaman diplomasi, kini menuai pujian. Usai penandatangan itu, Menteri Luar Negeri AS John Kerry memeluk erat Ashton dan memujinya sebagai "negosiator gigih dan tekun." Pujian serupa datang dari Jose Manuel Barroso, presiden Komisi Eropa, "Untuk prestasi yang merupakan hasil keterlibatan tak kenal lelah dan dedikasinya untuk masalah ini selama empat tahun terakhir."

Sebelumnya, Ashton kurang diperhitungkan. Saat Inggris diminta mengajukan calon untuk mengisi pos yang ditempati Ashton saat ini, Perdana Menteri Gordon Brown menunjuk pendahulunya, Tony Blair. Usul ini diblokir sebagian anggota Uni Eropa yang takut politisi Buruh itu akan membayangi-bayangi anggota komisi yang lain. Ashton adalah calon keempat yang diajukan, dan diterima.

Ashton membangun jalur diplomatik Uni Eropa dari awal, tapi ia diragukan karena dianggap tak punya pengalaman --dan perempuan. Kritik menyakitkan ini membuatnya menjadi low profile, gila kerja, malang-melintang di dunia, menghindari media, perlahan-lahan membangun hubungan pribadi dengan koleganya di Iran, Cina, dan Amerika Serikat. Usahanya ini membuahkan hasil dan negosiasi nuklir Iran adalah salah satunya.

Guardian | Daily Telegraph | Telegraph | Haaretz | Abdul Manan

KORAN TEMPO | 27 November 2013

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236