Skip to main content

AJI: Impunitas Picu Naiknya Kekerasan terhadap Jurnalis

KAMIS, 06 JANUARI 2011 | 20:16 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan, ada sejumlah faktor penyebab naiknya jumlah kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia. "Yang utama adalah karena faktor impunitas," kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Margiyono, saat dihubungi Tempo, Kamis (6/1/2011). Impunitas adalah pembebasan pelaku kejahatan dari tanggungjawab hukum. 

Di tahun 2010, ada empat kasus pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia, yang menyebabkan Indonesia masuk dalam list Committee to Protect Journalists (CPJ) sebagai satu dari lima negara 'berbahaya' bagi jurnalis di tahun 2010.  

Empat jurnalis tewas itu masing-masing: kepala biro Kompas wilayah Kalimantan, Muhammad Syaifullah pada 26 Juli; reporter Merauke TV Ardiansyah Matra’is, 30 Juli; jurnalis Sun TV Ridwan Salamun, 21 Agustus; dan Pemimpin Redaksi Mingguan Pelangi, Maluku, Alfrets Mirulewan, 16 Desember 2010. 

Praktik impunitas, kata Margiyono, membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis seperti merasa di atas angin. "Dari semua kasus pembunuhan terhadap jurnalis, hanya pembunuh AA Prabangsa yang diadili," kata jurnalis Radio Voice of Human Right yang akrab disapa Megi, itu. "Karena pelaku kekerasan tidak dihukum, maka tak ada efek jera dan edukasi."

AA Prabangsa adalah jurnalis Radar Bali yang ditemukan tewas dalam keadaan mengambang di perairan Selat Lombok di dekat pantai Kabupaten Karangasem, Bali bagian timur, 16 Februari 2009. Enam pelaku akhirnya bisa diadili dan dihukum bervarisasi dari 8 sampai 20 tahun. Kasasi yang mereka ajukan ke Mahkamah Agung, juga ditolak. 

Menurut Megi, pola umum dari kasus pembunuhan terhadap jurnalis itu karena mereka tidak suka dengan pemberitaan atau tak ingin ada pemberitaan tentang hal-hal tertentu. "Praktik itu bisa dihentikan kalau setiap kekerasan dihukum," kata Megi. Itu artinya, ada tanggungjawab negara di dalamnya. Sebab, salah satu tugas negara adalah melindungi warganya, termasuk dari pembunuhan.

Hanya saja, kata Megi, tanggungjawab untuk melindungi warga negara --termasuk jurnalis-- itu tak dijalankan. "Ada pembiaran, yang mengesankan pelakunya seolah kebal hukum," kata Megi. Inilah faktor utama yang menyebabkan kasus kekerasan, juga pembunuhan terhadap jurnalis, seperti tak kunjung berhenti --kalau bukan malah bertambah banyak.

Megi menyadari bahwa tanggungjawab untuk menyeret pelaku kekerasan itu ke proses hukum adalah tugas negara. Bagi perusahaan media dan organisasi profesi, kata Megi, yang bisa dilakukan adalah dengan membuat protokol keselamatan liputan untuk memperkecil risiko bagi pekerjanya. "Protokol ini penting untuk liputan-liputan yang berisiko," kata Megi. Ada tiga hal yang dicatatnya sebagai area liputan yang berisiko: wilayah konflik, kasus korupsi dan lingkungan.

Abdul Manan

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236