Skip to main content

Setelah Lepas Tali Sepatu

SELASA dua pekan lalu, Maftuh Fauzi masih dalam keadaan sadar di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. “Ngomong-nya juga masih lancar,” kata ibundanya, Mumfatimah, 54 tahun. Keadaan berubah drastis ketika Maftuh dikirim ke Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta, malam itu.

Mahasiswa Akademi Bahasa Asing Universitas Nasional korban kekerasan polisi itu langsung masuk ruang gawat darurat. Esoknya, dokter mengabarkan: Maftuh koma dan sakit parah.

Setelah itu, Maftuh masuk ruang isolasi, dan kedua orang tuanya hanya bisa menunggu di luar. Selang dua hari, dokter memberikan kabar duka: Maftuh wafat sekitar pukul 11.20. Menjelang sore, jenazahnya dibawa keluarga ke rumahnya di Desa Adikarto, Kelurahan Adimulyo, Kebumen, Jawa Tengah.

Cerita Maftuh bermula pada 23 Mei lalu. Hari itu, pria 27 tahun ini kuliah malam. Dari tempatnya bekerja sebagai anggota staf marketing, ia langsung ke kampus. Sudah empat bulan dia bekerja di perusahaan itu.

Sekitar pukul 21.00, ia berencana pulang. Niatnya tertahan karena mahasiswa menggelar orasi menolak kenaikan harga bahan bakar minyak di depan kampus. Ia ikut bergabung.

Raihan Yulfi, koleganya di kampus, sempat berbicara dengan Maftuh sekitar pukul 02.00. Setelah itu, Maftuh ke ruang serba guna di bagian belakang kampus. Ketika pagi menyingsing, suasana berubah tegang: mahasiswa dan polisi saling melempar.

Tak lama kemudian, polisi menyerbu masuk. Raihan, bersama seratusan mahasiswa, mundur ke lapangan bola di bagian belakang kampus. Polisi, dengan pentungan dan tameng, terus memburu. Sebagian mencari mahasiswa di ruang kelas, senat, dan unit kegiatan.

Setelah itu, informasi simpang-siur, pandangan mereka terhalang gas air mata. Tapi Dono, kolega sekelas Maftuh, punya cerita lebih rinci. Dalam perjalanan ke lapangan, Maftuh melindungi kepala dengan dua tangannya. Di tengah jalan, tali sepatunya lepas. Ketika ia membungkuk hendak mengikat tali sepatu, sebuah pukulan menerpa kepalanya.

Ada sekitar 150 mahasiswa diangkut ke kantor Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Di sinilah mereka baru bertegur sapa. “Pusing, Cep,” kata Maftuh ketika disapa Chepy. Mereka dites urine. Hasil tes Maftuh negatif. Luka robek di belakang kepalanya mendapat satu jahitan.

Pagi 25 Mei, 74 mahasiswa dibebaskan. Sorenya, 42 lagi menyusul bebas. Tapi 31 mahasiswa berstatus tersangka, termasuk Maftuh. Ke-31 mahasiswa itu dibagi dua. Maftuh satu sel dengan Raihan. Menurut Raihan, setiap hari Maftuh mengeluh pusing dan minta obat. Sekali ia muntah seusai makan.

Mereka akhirnya dibebaskan pada 2 Juni, dengan status wajib lapor. Maftuh diantar ke kampus. Acie, koleganya, melihat perbedaan menyolok pada Maftuh. “Dia tampak lelah dan seperti menahan sakit.” Dono menimpali, “Dia juga lebih lambat menangkap pertanyaan orang.”

Dono mengatakan Maftuh masih pergi ke kantornya di Ratu Plaza, Jakarta, keesokan harinya. Hari Kamis pekan itu, dia juga masih lapor ke polisi. Setelah itu, kesehatannya terus memburuk.

Pada 10 Juni, Maftuh dilarikan ke Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta. Karena tak ada kamar, ia dibawa ke Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, sebelum akhirnya ke Rumah Sakit Pertamina.

Pada hari wafat Maftuh, Wakil Direktur Medis Rumah Sakit Pertamina dr Widya S. mengatakan korban meninggal karena infeksi berat pada fungsi sistemiknya. Tapi dia tak mau menjelaskan penyakitnya.

Ketika didesak mahasiswa, akhirnya Widya mengatakan, “Hasil yang kami terima, pemeriksaan screening HIV itu positif.” Saat dikonfirmasi Tempo, Rumah Sakit Pertamina tak mau memberikan penjelasan. “Kini ditangani Departemen Kesehatan,” kata juru bicara rumah sakit itu, Tri Prasetyowati.

Pakar forensik Dr Mun’im Idries memberikan pandangannya setelah Tempo menyodorkan hasil diagnosis Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia yang disampaikan ke Rumah Sakit Pertamina. Dari laporan itu, kata Mun’im, Maftuh menderita commotio cerebri alias gegar otak. “Kalau cuma gegar otak, tidak akan mati,” kata Mun’im.

Mahasiswa dan orang tua Maftuh tak percaya begitu saja hasil pemeriksaan dokter. Pekan lalu, tim gabungan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo Purwokerto, dan Universitas Diponegoro Semarang mulai melakukan pemeriksaan. Tapi Muhammad Syahdi, ayah Maftuh, mengaku tak akan terpengaruh hasil temuan itu. “Wong anak saya sudah meninggal,” katanya.

Abdul Manan, Aris Ardianto, Cornila Desyana, G.W. Titiyoga

Majalah Tempo, Edisi 30 Juni 2008

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236