Mereka Tergiur Janji Manis
JANJI surga Rico tiga tahun lalu masih terasa segar dalam ingatannya. Pria 35 tahun itu menawarkan iming-iming yang sulit ditolaknya: membawa pulang Rp 30 juta hanya dalam enam bulan. Ros—bukan nama sebenarnya—tentu saja bergetar dan akhirnya menerima tawaran untuk bekerja di Malaysia. ”Ternyata saya dijadikan pelacur,” kata perempuan langsing itu, Kamis dua pekan lalu. Ia, hingga kini, masih mondok di pesantren rehabilitasi di Kota Cianjur, Jawa Barat.
Ros adalah satu dari ratusan korban perdagangan manusia (trafficking) di Jawa Barat. Institut Perempuan Bandung mencatat, provinsi ini merupakan salah satu ”eksportir” cukup penting di Indonesia, selain Jawa Timur dan Kalimantan Barat. ”Karena itu, kami mendesak peraturan daerah tentang anti-trafficking segera disahkan,” kata Direktur Institut Perempuan Elin Rozana. Sejak dua pekan lalu, Institut Perempuan mengedarkan petisi untuk menggalang dukungan pengesahan peraturan daerah (perda) yang mestinya ”ketuk palu” tahun lalu itu.
l l l
Seperti alur umum cerita penipuan, Ros bekerja tak seperti yang dijanjikan. Saat bertemu Rico di Pasirhayam, Cianjur, akhir 2004, Rico menawarkan pekerjaan di bidang hiburan. Namun, kenyataan berbicara lain. Tak berselang lama setelah perkenalan itu, ia pun diberangkatkan ke Jakarta, lalu ke Pontianak. Dari ibu kota Kalimantan Barat ini, Ros diseberangkan ke Malaysia melalui Entikong, Kalimantan Timur.
Ros diserahkan kepada seorang yang diingatnya bernama Ayong. Ia diinapkan selama seminggu. Alasannya, menunggu tenaga kerja lainnya. Setelah ada delapan orang, mereka pun dibawa ke ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur. ”Dari bandara kami dijemput dan dibawa ke sebuah penampungan. Saat itulah saya baru tahu mau diapakan,” kata Ros.
Ia tak bisa berbuat apa-apa karena diawasi ketat. Ia pun pasrah. Sehari-hari, dia bekerja di diskotek Fames dan Star In. Ia juga dipaksa melayani laki-laki. ”Setiap malam sedikitnya saya tiga kali di-booking,” kata Ros, mengenang saat-saat pahit itu. Untuk satu kali booking, bosnya mematok harga 900 ringgit—Ros hanya kebagian 30 ringgit. Alasan si bos, sebagian besar uang dipakai untuk membayar utang biaya perjalanan dan ongkos sehari-hari.
Ternyata ia tak sendirian. Ia bertemu dengan Puteri dan Diva—juga bukan nama sebenarnya. Dari obrolan mereka, Ros tahu bahwa dua perempuan di bawah 20 tahun itu diberangkatkan dari Cianjur dengan pola dan rute sama. Mereka juga korban pria bernama Rico. Setelah tiga bulan, Ros mulai tak tahan. Ia pun memilih kabur. Malam-malam di awal 2006, ia menyelinap keluar dari asrama dan lari ke KBRI. Dua rekannya melakukan hal yang sama, tapi tak seberuntung dia. Puteri dan Diva tertangkap penjaga asrama. Mereka lolos setelah lompat dari lantai II. Ketiganya dipulangkan ke Indonesia sebagai tenaga kerja ilegal, 2006.
Modus kejahatan yang sama juga dialami empat gadis asal Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya, mereka bertemu dengan sang sponsor itu di sebuah salon di Cibeureum Nyalindung. Janjinya, mereka akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran di Jakarta. Mereka lantas dibawa ke kantor Yayasan Karya Setiawan dengan dalih akan disalurkan.
Lain janji, lain bukti. Mereka malah dikirim ke kawasan lokalisasi Amplang-amplang dan Teleju, Pekanbaru, Riau. ”Saya baru tahu setelah dibawa ke sebuah tempat dan harus melayani laki-laki,” kata salah satu korban, Laya—bukan nama sebenarnya. Setiap hari, perempuan 16 tahun itu sedikitnya harus melayani enam laki-laki. Tarifnya sekitar Rp 200 ribu. Namun, tak sepeser pun rupiah mengalir ke koceknya. Alasannya, uang itu untuk mengganti ongkos-ongkos dan biaya hidup di sana.
Merasa ditipu, mereka mencari jalan untuk kabur. Usaha itu gagal sampai akhirnya salah seorang dari mereka berhasil kontak dengan orang tuanya. Polisi bergerak dan memaksa penyalurnya memulangkan para korban penipuan ini. Mereka dipulangkan dari lokalisasi itu pada Mei 2005. Penyalurnya pun diringkus polisi. Dari mulut Laya diperoleh informasi, banyak perempuan seusia mereka yang bernasib sama. ”Selain dari Sukabumi, yang saya dengar kebanyakan mereka dari Cianjur,” kata Laya.
Umumnya para korban didekati calo—beberapa orang menyebutnya sponsor—secara langsung. Ada juga yang memilih jalan berputar melalui orang tua korban. Menurut Ketua Sanggar Teratai di Indramayu, Ahmad Yani, berdasarkan sejumlah kasus, cara itulah yang paling banyak dipakai dan dianggap ampuh untuk mendapatkan si gadis.
Biasanya, kata Yani, orang tua akan diberi uang panjar minimal Rp 2 juta. Begitu anaknya di Jakarta, orang tuanya diberi motor. Itu tak gratis alias harus dicicil orang tuanya. Akhirnya, mereka pun terikat untuk melunasi motor dan membiarkan anak mereka ”bekerja”. ”Cara-cara seperti inilah yang mereka gunakan agar sang orang tua terikat,” kata Yani.
Penyebab banyaknya kasus perdagangan manusia di Jawa Barat bermacam-macam. Menurut Tamami Zain dari Yayasan Bahtera, yang utama adalah kemiskinan dan rendahnya pendidikan. ”Mungkin juga karena perempuan Jawa Barat cantik-cantik,” kata dia, bercanda.
Elin Rozana tak setuju pendapat itu. ”Yang utama karena alasan ekonomi,” katanya. Ia menyebutkan cukup banyaknya praktek kawin muda di beberapa daerah di Jawa Barat. Akibatnya, menurut dia, angka perceraian juga tinggi. Perempuan yang bercerai ini yang jadi sasaran empuk trafficking. ”Di sini sumpek,” kata Elin, mengutip salah satu perempuan korban perdagangan orang.
Alasan ekonomi mungkin bukan satu-satunya sebab. Sanggar Teratai pernah melakukan penelitian pada 2007 terhadap 50 anak-anak perempuan yang pernah jadi korban trafficking dan dipekerjakan sebagai pekerja seks. Yang diteliti, umurnya berkisar 16 sampai 18 tahun. Saat ditanya alasannya, umumnya menjawab ”ingin membantu orang tua”. Namun, kata Ahmad Yani, mereka juga mengaku tergiur tetangga: pekerja seks, punya rumah lebih bagus, barang elektronik mewah, dan kendaraan. ”Jadi, ini juga dipicu cara berpikir jalan pintas untuk kaya,” kata dia.
l l l
Kasus perdagangan manusia di provinsi berpenduduk 38 juta jiwa ini kian mengkhawatirkan. Yayasan Bahtera, lembaga yang selama ini memulangkan korban trafficking, mencatat kecenderungan naiknya jumlah kasus ini. pada 2005, korban yang dia pulangkan 120 orang, tahun berikutnya menjadi 160 orang. Pada 2007, jumlahnya meningkat drastis: 326 orang. Ini seperti fenomena gunung es. ”Itu yang berhasil dipulangkan, tapi kasusnya sendiri lebih banyak dari itu,” kata Direktur Yayasan Bahtera, Tamami Zain.
Berdasarkan data Yayasan Bahtera tahun lalu, sebagian besar korban dikirim menjadi pekerja rumah tangga. Namun, yang jadi pekerja seks tak sedikit: 152 orang. Sebagian besar korban itu perempuan, hanya dua yang laki-laki. Umurnya, sebanyak 64 orang masih di bawah 18 tahun. Dari pengalaman Bahtera, kata Tamami, korban yang dibawa ke Kepulauan Riau, Batam, dan Pontianak biasanya dijadikan pekerja seks. Kalau ke Malaysia, Singapura, atau Taiwan menjadi pembantu rumah tangga. ”Tapi, ada juga yang ke luar negeri jadi pekerja seks,” kata dia.
Pemerintah dan DPRD Jawa Barat mengaku memiliki kekhawatiran yang sama. Karena itu, ide untuk membuat peraturan daerah ini sudah ada sejak empat tahun lalu. Hanya saja, lagi-lagi kenyataan berbicara lain. Komisi E DPRD Jawa Barat mengajukan peraturan daerah ini pada September tahun lalu, tapi pembahasannya tak selesai sampai 2007 lewat.
Dalam draf DPRD, namanya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia, dengan 23 pasal. Pemda Jawa Barat juga punya draf bernama Raperda Penanggulangan Perdagangan Orang. Sanksi pidananya merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, minimal tiga tahun penjara dan maksimal seumur hidup.
Banyak sekali alasan soal tak rampungnya perda ini. Mulai dari banyaknya libur dan reses anggota Dewan, juga karena kalah bersaing dengan agenda lain. ”Memang selalu tersalip perda lain,” kata anggota Komisi E DPRD Jawa Barat Diah Nurwita Sari. Kepala Biro Hukum Pemda Jawa Barat Achadiat Supratman mengatakan, ”Karena mepet ke akhir tahun anggaran, akhirnya disepakati dibahas 2008.” Bagi anggota Komisi E Iemas Masithoh, ini menunjukkan perda ini belum jadi prioritas. Faktanya, kata Iemas, perda baru dibahas tahun ini setelah kasus trafficking terus meningkat.
Abdul Manan, Deden A. Azis, Ivansyah, Erik P. Hardi
Majalah Tempo, Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008
Ros adalah satu dari ratusan korban perdagangan manusia (trafficking) di Jawa Barat. Institut Perempuan Bandung mencatat, provinsi ini merupakan salah satu ”eksportir” cukup penting di Indonesia, selain Jawa Timur dan Kalimantan Barat. ”Karena itu, kami mendesak peraturan daerah tentang anti-trafficking segera disahkan,” kata Direktur Institut Perempuan Elin Rozana. Sejak dua pekan lalu, Institut Perempuan mengedarkan petisi untuk menggalang dukungan pengesahan peraturan daerah (perda) yang mestinya ”ketuk palu” tahun lalu itu.
l l l
Seperti alur umum cerita penipuan, Ros bekerja tak seperti yang dijanjikan. Saat bertemu Rico di Pasirhayam, Cianjur, akhir 2004, Rico menawarkan pekerjaan di bidang hiburan. Namun, kenyataan berbicara lain. Tak berselang lama setelah perkenalan itu, ia pun diberangkatkan ke Jakarta, lalu ke Pontianak. Dari ibu kota Kalimantan Barat ini, Ros diseberangkan ke Malaysia melalui Entikong, Kalimantan Timur.
Ros diserahkan kepada seorang yang diingatnya bernama Ayong. Ia diinapkan selama seminggu. Alasannya, menunggu tenaga kerja lainnya. Setelah ada delapan orang, mereka pun dibawa ke ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur. ”Dari bandara kami dijemput dan dibawa ke sebuah penampungan. Saat itulah saya baru tahu mau diapakan,” kata Ros.
Ia tak bisa berbuat apa-apa karena diawasi ketat. Ia pun pasrah. Sehari-hari, dia bekerja di diskotek Fames dan Star In. Ia juga dipaksa melayani laki-laki. ”Setiap malam sedikitnya saya tiga kali di-booking,” kata Ros, mengenang saat-saat pahit itu. Untuk satu kali booking, bosnya mematok harga 900 ringgit—Ros hanya kebagian 30 ringgit. Alasan si bos, sebagian besar uang dipakai untuk membayar utang biaya perjalanan dan ongkos sehari-hari.
Ternyata ia tak sendirian. Ia bertemu dengan Puteri dan Diva—juga bukan nama sebenarnya. Dari obrolan mereka, Ros tahu bahwa dua perempuan di bawah 20 tahun itu diberangkatkan dari Cianjur dengan pola dan rute sama. Mereka juga korban pria bernama Rico. Setelah tiga bulan, Ros mulai tak tahan. Ia pun memilih kabur. Malam-malam di awal 2006, ia menyelinap keluar dari asrama dan lari ke KBRI. Dua rekannya melakukan hal yang sama, tapi tak seberuntung dia. Puteri dan Diva tertangkap penjaga asrama. Mereka lolos setelah lompat dari lantai II. Ketiganya dipulangkan ke Indonesia sebagai tenaga kerja ilegal, 2006.
Modus kejahatan yang sama juga dialami empat gadis asal Sukabumi, Jawa Barat. Awalnya, mereka bertemu dengan sang sponsor itu di sebuah salon di Cibeureum Nyalindung. Janjinya, mereka akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran di Jakarta. Mereka lantas dibawa ke kantor Yayasan Karya Setiawan dengan dalih akan disalurkan.
Lain janji, lain bukti. Mereka malah dikirim ke kawasan lokalisasi Amplang-amplang dan Teleju, Pekanbaru, Riau. ”Saya baru tahu setelah dibawa ke sebuah tempat dan harus melayani laki-laki,” kata salah satu korban, Laya—bukan nama sebenarnya. Setiap hari, perempuan 16 tahun itu sedikitnya harus melayani enam laki-laki. Tarifnya sekitar Rp 200 ribu. Namun, tak sepeser pun rupiah mengalir ke koceknya. Alasannya, uang itu untuk mengganti ongkos-ongkos dan biaya hidup di sana.
Merasa ditipu, mereka mencari jalan untuk kabur. Usaha itu gagal sampai akhirnya salah seorang dari mereka berhasil kontak dengan orang tuanya. Polisi bergerak dan memaksa penyalurnya memulangkan para korban penipuan ini. Mereka dipulangkan dari lokalisasi itu pada Mei 2005. Penyalurnya pun diringkus polisi. Dari mulut Laya diperoleh informasi, banyak perempuan seusia mereka yang bernasib sama. ”Selain dari Sukabumi, yang saya dengar kebanyakan mereka dari Cianjur,” kata Laya.
Umumnya para korban didekati calo—beberapa orang menyebutnya sponsor—secara langsung. Ada juga yang memilih jalan berputar melalui orang tua korban. Menurut Ketua Sanggar Teratai di Indramayu, Ahmad Yani, berdasarkan sejumlah kasus, cara itulah yang paling banyak dipakai dan dianggap ampuh untuk mendapatkan si gadis.
Biasanya, kata Yani, orang tua akan diberi uang panjar minimal Rp 2 juta. Begitu anaknya di Jakarta, orang tuanya diberi motor. Itu tak gratis alias harus dicicil orang tuanya. Akhirnya, mereka pun terikat untuk melunasi motor dan membiarkan anak mereka ”bekerja”. ”Cara-cara seperti inilah yang mereka gunakan agar sang orang tua terikat,” kata Yani.
Penyebab banyaknya kasus perdagangan manusia di Jawa Barat bermacam-macam. Menurut Tamami Zain dari Yayasan Bahtera, yang utama adalah kemiskinan dan rendahnya pendidikan. ”Mungkin juga karena perempuan Jawa Barat cantik-cantik,” kata dia, bercanda.
Elin Rozana tak setuju pendapat itu. ”Yang utama karena alasan ekonomi,” katanya. Ia menyebutkan cukup banyaknya praktek kawin muda di beberapa daerah di Jawa Barat. Akibatnya, menurut dia, angka perceraian juga tinggi. Perempuan yang bercerai ini yang jadi sasaran empuk trafficking. ”Di sini sumpek,” kata Elin, mengutip salah satu perempuan korban perdagangan orang.
Alasan ekonomi mungkin bukan satu-satunya sebab. Sanggar Teratai pernah melakukan penelitian pada 2007 terhadap 50 anak-anak perempuan yang pernah jadi korban trafficking dan dipekerjakan sebagai pekerja seks. Yang diteliti, umurnya berkisar 16 sampai 18 tahun. Saat ditanya alasannya, umumnya menjawab ”ingin membantu orang tua”. Namun, kata Ahmad Yani, mereka juga mengaku tergiur tetangga: pekerja seks, punya rumah lebih bagus, barang elektronik mewah, dan kendaraan. ”Jadi, ini juga dipicu cara berpikir jalan pintas untuk kaya,” kata dia.
l l l
Kasus perdagangan manusia di provinsi berpenduduk 38 juta jiwa ini kian mengkhawatirkan. Yayasan Bahtera, lembaga yang selama ini memulangkan korban trafficking, mencatat kecenderungan naiknya jumlah kasus ini. pada 2005, korban yang dia pulangkan 120 orang, tahun berikutnya menjadi 160 orang. Pada 2007, jumlahnya meningkat drastis: 326 orang. Ini seperti fenomena gunung es. ”Itu yang berhasil dipulangkan, tapi kasusnya sendiri lebih banyak dari itu,” kata Direktur Yayasan Bahtera, Tamami Zain.
Berdasarkan data Yayasan Bahtera tahun lalu, sebagian besar korban dikirim menjadi pekerja rumah tangga. Namun, yang jadi pekerja seks tak sedikit: 152 orang. Sebagian besar korban itu perempuan, hanya dua yang laki-laki. Umurnya, sebanyak 64 orang masih di bawah 18 tahun. Dari pengalaman Bahtera, kata Tamami, korban yang dibawa ke Kepulauan Riau, Batam, dan Pontianak biasanya dijadikan pekerja seks. Kalau ke Malaysia, Singapura, atau Taiwan menjadi pembantu rumah tangga. ”Tapi, ada juga yang ke luar negeri jadi pekerja seks,” kata dia.
Pemerintah dan DPRD Jawa Barat mengaku memiliki kekhawatiran yang sama. Karena itu, ide untuk membuat peraturan daerah ini sudah ada sejak empat tahun lalu. Hanya saja, lagi-lagi kenyataan berbicara lain. Komisi E DPRD Jawa Barat mengajukan peraturan daerah ini pada September tahun lalu, tapi pembahasannya tak selesai sampai 2007 lewat.
Dalam draf DPRD, namanya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia, dengan 23 pasal. Pemda Jawa Barat juga punya draf bernama Raperda Penanggulangan Perdagangan Orang. Sanksi pidananya merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, minimal tiga tahun penjara dan maksimal seumur hidup.
Banyak sekali alasan soal tak rampungnya perda ini. Mulai dari banyaknya libur dan reses anggota Dewan, juga karena kalah bersaing dengan agenda lain. ”Memang selalu tersalip perda lain,” kata anggota Komisi E DPRD Jawa Barat Diah Nurwita Sari. Kepala Biro Hukum Pemda Jawa Barat Achadiat Supratman mengatakan, ”Karena mepet ke akhir tahun anggaran, akhirnya disepakati dibahas 2008.” Bagi anggota Komisi E Iemas Masithoh, ini menunjukkan perda ini belum jadi prioritas. Faktanya, kata Iemas, perda baru dibahas tahun ini setelah kasus trafficking terus meningkat.
Abdul Manan, Deden A. Azis, Ivansyah, Erik P. Hardi
Majalah Tempo, Edisi. 51/XXXVI/11 - 17 Februari 2008
Comments