Skip to main content

Bukan Republik Bulukumba

Pemerintah daerah menolak keras rencana pemberlakuan hukum potong tangan. Dipicu kekecewaan terhadap penegak hukum.

MUSYAWARAH pimpinan daerah di kantor Pemerintah Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, Rabu pekan lalu itu terkesan serius. Pejabat dari kepala desa sampai bupati hadir serentak. Isu yang dibahas juga lumayan berat: rencana pemberlakuan hukum potong tangan bagi pencuri di Kecamatan Gantarang.

”Tak boleh ada aturan yang bertentangan dengan hukum positif kita,” kata Wakil Bupati Bulukumba, Padasi, Kamis pekan lalu. Isu hangat yang memicu kontroversi ini bermula dari pertemuan wakil 20 kepala desa di Masjid At-Taqwa, Desa Padang, Kecamatan Gantarang, Bulukumba, 18 November lalu.

Seraya duduk bersila, mereka membahas situasi keamanan yang dinilai memburuk. ”Hampir tiap malam ada warga yang kecurian,” kata Andi Rukman Jabbar, Kepala Desa Padang. Dalam dua bulan terakhir, kasus pencurian di 12 desa meningkat drastis.

Warga Gantarang pun resah. Polisi dianggap tak bekerja maksimal. Jarang pencuri tertangkap. Kalaupun ada, hukumannya ringan. Wakil kepala desa dan tokoh masyarakat itu pun akhirnya menyepakati pembentukan Forum Peduli Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Rukman ditunjuk sebagai ketua.

Setelah Forum terbentuk, dibahaslah program kerjanya. Kasus pencurian jadi perhatian utama. Dalam pertemuan itu, ada yang menceritakan, ”Ada maling yang sampai lima kali masuk penjara tapi tak kapok juga.” Maka muncul usul supaya pencuri yang tertangkap diberi ”tanda” agar jera.

”Tentu saja harus ada dasar hukumnya, entah hukum negara atau Islam,” kata Rukman. Kalau merujuk hukum negara, Rukman melanjutkan, pelakunya harus diserahkan ke polisi. Kalau merujuk pada hukum Islam, ya, hukum potong tangan itu.

Ternyata sebagian besar peserta setuju dengan wacana potong tangan. ”Biar jera,” kata seorang peserta. Tapi ada juga yang tak sependapat. ”Ini bisa jadi konflik baru,” kata yang lain.

Soalnya, sebagian besar pelaku pencurian berasal dari luar daerah. ”Bagaimana kalau mereka membalas dendam?” Didiskusikan juga soal bagaimana menghadapi pencuri jika akhirnya diserahkan kepada polisi. Ada yang usul, sebaiknya ”dilumpuhkan” lebih dulu sebelum diserahkan ke polisi.

Dalam pertemuan sekitar dua jam itu, kata Rukman, malah ada usul ekstrem: pencuri yang tertangkap ”diselesaikan saja”. Untunglah gagasan ini ditolak mayoritas peserta.

Masalahnya jadi rame setelah muncul di media. Dua hari setelah pertemuan, Camat Gantarang Andi M. Pawali menelepon Rukman. Yang ditelepon menjelaskan, itu bukan kesepakatan, baru wacana dan bagian dari program kerja Forum. ”Itu juga mesti kami konsultasikan,” kata Rukman.

Empat hari setelah pertemuan, giliran Wakil Bupati Bulukumba, Padasi, memanggil 20 kepala desa yang disebut hadir dalam pertemuan di Masjid At-Taqwa itu ke kantornya. Di akhir pertemuan, Padasi mengingatkan, tak boleh bertindak di luar hukum negara. ”Syariat Islam belum disepakati di Indonesia,” kata Padasi, seperti ditirukan salah satu kepala desa.

Puncaknya, Bupati menggelar musyawarah pimpinan daerah, dengan mengundang semua kepala desa di Kecamatan Gantarang. Musyawarah menyatakan tak boleh ada hukum potong tangan. ”Pertemuan menolak hukum potong tangan ini karena dinilai tidak ada dasar hukumnya, dilihat dari sudut mana pun,” kata Kepala Kepolisian Resor Bulukumba Ajun Komisaris Besar Ponadi.

Polisi kemudian diminta membentuk forum kemitraan polisi dan masyarakat untuk mengatasi masalah keamanan. Tapi Ponadi menilai kasus pencurian di Gantarang masih dalam ambang normal, meski dia tak menyebut jumlah kasusnya.

Dari lima jaringan pencuri ternak warga, satu ditangkap. Saat ini pun ada tiga pencuri kambuhan yang ditahan polisi. Ponadi menepis anggapan bahwa aparatnya tak bekerja maksimal. ”Kami selalu memproses sesuai hukum,” katanya. Soal dihukum ringan oleh pengadilan, itu bukan wewenangnya.

Padasi menambahkan, pertemuan di Desa Padang itu sebetulnya untuk membentuk Forum Peduli Keamanan. Memang, dibicarakan juga soal hukum potong tangan. ”Tapi itu bukan keputusan,” katanya.

Rukman sebetulnya juga diundang ke musyawarah melalui telepon. Awalnya ia menyanggupi datang. Tapi belakangan batal karena ada anggota keluarganya yang meninggal. Hasil musyawarah itu ia terima dari kepala desa lain. ”Saya ini bawahan,” kata Rukman. ”Yang penting, aspirasi masyarakat yang meminta pencuri ditindak tegas diperhatikan.”

l l l

DI Sulawesi Selatan, Bulukumba memang cukup aktif memproduksi peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam. Antara lain tentang larangan, pengawasan, penertiban, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol; tentang pengelolaan zakat profesi, infak, dan sedekah; tentang berpakaian muslim dan muslimah; dan tentang pandai membaca Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin.

Sejak 2003, 12 desa di Kabupaten Bulukumba ditetapkan sebagai kawasan percontohan penerapan peraturan daerah. Desa-desa itu disebut ”Desa Muslim”. Desa Padang, yang berpenduduk 3.700 jiwa, merupakan salah satu percontohannya.

Jangan heran, misalnya, jika di rumah kepala desa ada pengumuman: ”Maaf, tidak melayani tamu wanita yang tidak berjilbab”. Pengecualian diberikan bagi orang yang belum tahu aturan itu karena baru pertama kali datang ke daerah ini.

Jika ada tamu wanita yang tidak berpakaian muslimah, ia akan dipinjami busana muslimah. ”Semua warga desa ini muslim,” kata Rukman. Berbeda dengan kecamatan lain di Bulukumba, Gantarang memiliki peraturan desa tentang perbuatan tak menyenangkan. Peraturan ini menyediakan hukuman cambuk bagi para pelanggarnya.

Aturan yang dibuat pada 2005 itu hingga kini telah memakan setidaknya tiga korban, masing-masing Suharman, Nasir, dan Arifin. Suharman dicambuk 40 kali karena berkirim surat kepada istri orang, Nasir dilecut 5 kali lantaran meninju seorang siswa sekolah dasar, dan Arifin dipecut 5 kali karena menempeleng warga.

Meski bukan yang pertama di luar Aceh yang menerapkan syariat Islam melalui sejumlah peraturan daerah, Bulukumba bisa disebut pelopor pemberlakuan hukum cambuk. ”Mungkin Bulukumba satu-satunya di luar Aceh yang menerapkan hukum cambuk,” kata Direktur Wahid Institute Achmad Suaedy.

Komentar keras datang dari Ketua DPRD Moh. Arif. Menurut dia, peraturan seperti itu tak benar dan tak bisa diterapkan. ”Kalau bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, harusnya gugur dengan sendirinya,” kata Arif. ”Ini Republik Indonesia, bukan Republik Bulukumba.”

Anggota Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan, Aswar Hasan, mengatakan kabupaten lain juga memiliki peraturan daerah syariat Islam. Ia menyebut Selayar, Pangkep, dan Enrekang. Bedanya, di daerah itu masih sebatas zakat, busana muslim, minuman keras, judi, dan perzinaan. Dia menilai wacana hukum potong tangan itu merupakan kemajuan. ”Tapi, soal penerapannya, itu masih terlalu jauh,” katanya.

Sosiolog Mohamad Darwis menyatakan tak terlalu heran dengan fenomena Bulukumba ini. Penerapan syariat Islam di Sulawesi Selatan, khususnya di kabupaten yang jaraknya 180 kilometer dari Makassar itu, lebih karena faktor sosial politik.

Bupati Bulukumba periode sebelumnya, Patabai Pabokori, cukup getol mengenalkan syariat Islam. Dengan kultur paternalistik yang cukup tinggi di daerah ini, ide itu mudah diterima. ”Apalagi masyarakat Makassar Bugis kan pada dasarnya memang religius,” kata pengajar sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin itu.

Abdul Manan, Irmawati (Makassar)

Majalah Tempo
Edisi. 41/XXXVI/03 - 9 Desember 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236