Skip to main content

Semua Gara-Gara Kunci

Sipir itu membuatkan tiga kunci duplikat untuk Gunawan. Narapidana itu kabur dan sang sipir kehilangan pekerjaan.

IMING-IMING itu tidak hanya membuat Wahyudin, 31 tahun, kehilangan pekerjaan, tapi juga membuatnya kini meringkuk di penjara. Berkat Wahyudin inilah, pada Mei 2006, Gunawan Santosa berhasil ”menembus” berlapis-lapis pintu penjara Cipinang khusus narkotik. Wahyudin memberikan sejumlah kunci duplikat kepada Gunawan dan loloslah narapidana hukuman mati ini dari penjara yang dijuluki penjara dengan penjagaan supermaksimum itu.

Wahyudin kini mendekam di penjara Tangerang. Di sana ia mendiami sebuah sel berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi. ”Dia masih menjalani masa hukuman,” kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta Gusti Tamardjaya, Senin pekan lalu, kepada Tempo.

Menurut polisi, Wahyudin memberikan tiga kunci duplikat kepada Gunawan untuk bekal membuka sejumlah pintu dan kabur dari kamarnya di Blok C Nomor 110. Inilah rute Gunawan untuk kabur: dari Blok C ia menuju pintu gedung utama, lalu masuk dan melewati ruang tempat menjenguk tahanan, kemudian melenggang keluar melewati pintu gerbang.

Wahyudin rela melakukan semua itu lantaran Gunawan menjanjikan akan memberinya sejumlah uang. Untuk tahap awal, misalnya, ia mendapat Rp 2,5 juta. Janji lainnya, ”Ia dibuatkan wartel dan tempat biliar,” kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana.

Empat hari setelah Gunawan raib, Wahyudin ditangkap, diperiksa polisi, dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat dengan pasal-pasal tentang penyuapan dan pasal-pasal membantu orang melarikan diri dari penjara. Sejak saat itu, Wahyudin mendekam di tahanan Polda Metro Jaya, sebelum divonis Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dikirim ke penjara Tangerang.

Tidak seperti rekan-rekannya—para sipir—yang kebanyakan lulusan SMA, anak ketiga dari empat bersaudara ini lulusan Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus. Kata ”penjara” juga tidak asing untuk Wahyudin. Bapaknya, Yamin, dulu juga bertugas sebagai pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I-A Pemuda, Tangerang. Wahyudin dan ketiga saudaranya sejak kecil juga bertempat tinggal di rumah dinas Departemen Kehakiman, Jalan Taman Makam Pahlawan Taruna, Kelurahan Suka Asih, Kota Tangerang. Dari bapaknya yang kini sudah pensiun itulah dia dulu banyak mendengar cerita seputar kehidupan penjara.

Kepada Tempo, Kepala Penjara Cipinang Wibowo Djoko Harjono menyesalkan munculnya kabar yang menyebutkan Wahyudin tidak dihukum dan hanya dimutasikan menjadi sipir di Balikpapan. ”Dia sudah mendapatkan hukuman sepadan,” kata Djoko. ”Kabar yang menyebut ia dimutasikan tidak benar.”

Wahyudin bukan satu-satunya korban akibat kaburnya Gunawan dari penjara Cipinang. Korban lainnya adalah Kepala LP Cipinang Wawan Suwandi dan Kepala Keamanan Taufikurrahman. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia saat itu, Hamid Awaludin, mencopot Suwandi dan menarik Wibowo Djoko Harjono, yang saat itu menjabat Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas I Surabaya, mengisi posisi Suwandi.

Adapun Taufikurrahman digantikan Lilik Sujandi, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Rumah Tahanan Kelas I Salemba. ”Pergantian kepemimpinan itu untuk kelancaran pemulihan kondisi dan situasi di LP Narkotika,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan saat itu, Mardjaman.

Walau kehilangan jabatan, nasib Wawan Suwandi dan Taufikurrahman memang lebih beruntung ketimbang Wahyudin. Keduanya tak pernah duduk di depan meja hijau.

Abdul Manan, Ayu Cipta, Zaky Almubarok

Majalah Tempo, Edisi. 23/XXXIIIIII/30 Juli - 05 Agustus 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236