Skip to main content

Mohon Ampun, Telah Berjasa

Anggota dan pejabat Komisi Pemilihan Umum yang dihukum karena kasus korupsi akan mengajukan permohonan grasi. Dikhawatirkan bakal menjadi preseden buruk.

SURAT tiga lembar itu akan beredar dari penjara ke penjara. Penulisnya adalah Mulyana W. Kusumah, kriminolog yang kini terjun langsung ke dalam penjara Salemba. Itulah draf surat permohonan grasi para anggota dan pejabat Komisi Pemilihan Umum yang kini sedang ”bertapa” di bui lantaran kasus korupsi. ”Mungkin pekan depan sudah kami kirim ke Presiden,” kata Mulyana.

Surat itu memang meminta persetujuan para anggota dan pejabat KPU yang diterungku secara terpisah. Mulyana di Salemba, rekannya, Nazaruddin Sjamsuddin dan Rusadi Kantaprawira, di penjara Cipinang, sedangkan Daan Dimara di ruang tahanan Polda Metro Jaya. Paling jauh Safder Jusac dan Bambang Budiarto: di penjara Sukamiskin, Bandung.

Surat ”permohonan ampun” kepada Presiden itu merupakan hasil pertemuan anggota KPU, Ramlan Surbakti, Valina Singka Subekti, dan Chusnul Mariyah dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kamis dua pekan lalu. ”Kami minta supaya mereka diberi perhatian karena telah berjasa kepada negara,” kata Valina. Dia berharap para sejawatnya diberi keringanan semaksimal mungkin. ”Kalau bisa, bebas.”

Mereka divonis dengan hukuman beragam. Nazaruddin kena tujuh tahun karena terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan. Daan Dimara kebagian empat tahun dalam kasus pengadaan segel sampul surat suara. Rusadi Kantaprawira mendapat empat tahun terkait tender tinta.

Adapun Mulyana divonis dua tahun tujuh bulan karena menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan, Khairiansyah Salman. Bekas Sekretaris Jenderal KPU, Safder Jusac, dan bekas Kepala Biro Umum, Bambang Budiarto, sama hukumannya, yakni empat tahun, karena terbukti melakukan korupsi pencetakan buku Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemilu.

Sebetulnya, pertemuan KPU dengan Wakil Presiden itu hanya untuk melaporkan perkembangan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Di sela-sela pertemuan satu jam itulah, Ramlan, Valina, dan Chusnul ”melaporkan” nasib kolega mereka yang mendekam di penjara. ”Mereka menyampaikan kondisi anggota dan pejabat KPU agar mendapat perhatian,” kata Sekretaris Jenderal KPU, Aries Djaenuri.

Respons Wakil Presiden ternyata positif. Kalla menyatakan, pemerintah memang bisa saja memberikan keringanan hukuman kepada anggota KPU. ”Instrumen yang bisa dipakai adalah grasi,” katanya. Menurut Mulyana, Kalla memang tidak memberi janji khusus. ”Kata teman-teman, dia hanya menyatakan akan membicarakan dengan Presiden soal kemungkinan memberikan grasi.”

Bagi Mulyana, pertemuan rekan-rekannya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan harapan baru untuk ”memetik” keringanan hukuman. Sebelumnya, upaya yang sama sudah dilakukan Ramlan, Valina, dan Chusnul ketika bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 Maret 2006 untuk melaporkan pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan presiden.

Seperti pertemuan dengan Wakil Presiden, di sela-sela pembicaraan dengan Presiden SBY pun ketiga anggota KPU itu menyampaikan permohonan agar rekan-rekan mereka yang dijerat Undang-Undang Antikorupsi mendapat perhatian. ”Presiden waktu itu menyatakan tak bisa mengintervensi proses hukum,” kata Aries. ”Tapi, menurut Presiden, ia memiliki kewenangan memberikan amnesti, grasi, dan abolisi.”

Menurut sumber Tempo, setelah berjumpa Presiden, sejumlah anggota KPU mengadakan pertemuan di Polda Metro Jaya tempat Daan Dimara dan Nazaruddin ditahan. Namun, ketika dihubungi, Daan menyangkal bahwa pertemuan itu membahas grasi. ”Kami membahas judicial review anggota KPU terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya.

Yang pasti, seusai pertemuan anggota KPU dengan Presiden itu, Mulyana dan para anggota KPU yang ditahan mengirimkan surat permintaan amnesti. Mereka meminta Presiden memberi pengampunan atas kasus pidana yang mereka hadapi. Menurut Mulyana, kasus mereka merupakan masalah kesalahan administrasi dan seharusnya hanya diberi sanksi administratif, bukan pidana.

”Suratnya kami kirim sebulan setelah pertemuan itu,” kata Mulyana. Sampai tiga bulan berselang, jawaban tak kunjung datang. Surat kedua pun dikirim, tapi hasilnya sama juga. Kemudian terjadilah pertemuan rekan-rekannya dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kini, tiga lembar draf permohonan grasi itu siap dikirim Mulyana dari selnya di Blok B, Bo. 9 Salemba, kepada rekan-rekannya di penjara lain. Dua lembar pertama berisi alasan permohonan grasi, satu lembar lagi untuk tanda tangan. Mulyana sendiri ada kemungkinan sudah mendapat pembebasan bersyarat bulan depan. ”Saya mungkin akan kembali jadi akademisi,” katanya.

Menurut Aries, permohonan grasi kepada pemerintah itu bukan semata-mata hanya untuk anggota dan pejabat KPU di pusat, tapi juga untuk mereka yang di daerah. Selama ini banyak kasus yang membuat anggota KPU di daerah terjerat hukum dan masuk bui. Hanya saja, KPU tak memiliki datanya. ”Sebab, KPU daerah tak semua melapor kepada kami,” kata Aries.

Pakar pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, menunjuk pemberian grasi, yang diatur lewat UU No. 2/2002, memang kewenangan Presiden. Hanya saja, katanya, selama ini keringanan hukuman dalam bentuk grasi biasanya diberikan untuk kasus politik atau hukuman mati. ”Setahu saya belum pernah ada grasi untuk kasus korupsi.”

Direktur Masyarakat Pemantau Peradilan, Hasril Hertanto, juga sependapat. Pemberian grasi kasus korupsi, ujar Hasril, tak pernah terjadi sebelumnya. ”Kalau itu dilakukan, bisa jadi preseden buruk,” dosen Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, itu menambahkan. Grasi untuk kasus korupsi, kata Hasril, akan membuat para koruptor tak takut dipenjarakan karena mereka berpikir suatu saat mereka pun bisa mendapat grasi.

Abdul Manan, Sutarto

Majalah Tempo, Edisi. 20/XXXIIIIII/09 - 15 Juli 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236