Skip to main content

Peluangnya Fifty-Fifty?

KEJAKSAAN Agung harus bekerja ekstrakeras jika hendak bertarung di pengadilan perdata. Ini lantaran dokumen yang menjadi modal menggugat ternyata banyak yang berupa fotokopian. ”Sebagian dokumen fotokopi, tapi sebagian asli,” kata Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak yang juga ketua tim pengacara negara Dachmer Munthe, sembari menunjukkan sejumlah dokumen asli kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Soeharto, sang Jenderal Besar, orang terkuat pada masa Orde Baru, digugat lantaran menyalahgunakan uang Yayasan Supersemar untuk berbagai kepentingan yang melanggar undang-undang. Dalam yayasan yang didirikan pada 16 Mei 1974 ini, setidaknya ada aset Rp 1,5 triliun. Uang itu dihimpun dari bank BUMN yang diwajibkan menyetor keuntungan 2,5 persen. Selain untuk tujuan sosial, dananya juga mengalir ke perusahaan keluarga dan kerabat Soeharto. Fulus itu antara lain dikirim ke Bank Duta, PT Sempati Air, dan PT Kiani Lestari.

Dengan sebagian bukti berupa dokumen fotokopi, banyak yang pesimistis negara bisa menang dalam gugatan perdata ini. ”Dalam perkara perdata, surat itu lebih tinggi kekuatan pembuktiannya dibanding saksi,” kata pengacara publik di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Taufik Basari. Dalam perkara pidana, kedudukan saksi lebih penting.

Juru bicara Kejaksaan Agung Salman Maryadi menyadari kelemahan ini. Bobot dokumen dalam sidang pidana dan perdata memang berbeda. Dalam kasus perdata harus benar-benar diajukan alat bukti yang bersifat formal. ”Harus asli,” kata dia. Dalam soal pidana, yang lebih penting justru pembuktian material, sehingga kalau tidak ada dokumen asli, alat bukti fotokopian masih bisa dipakai.

Menurut pengajar hukum perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Soeharnoko, selain dokumen, alat bukti lainnya adalah saksi fakta, pengakuan di muka hakim, dan persangkaan hakim. Tapi, kata dia, ”Dalam hukum acara perdata, bukti tulisan, yaitu akta, merupakan alat bukti yang paling utama.”

Mohammad Assegaf, pengacara Soeharto dalam kasus pidana, malah tandas mematahkan. Dokumen fotokopian merupakan bukti yang sangat lemah. ”Karena dokumen yang difotokopi itu sangat mudah direkayasa,” kata dia. Ia yakin, dengan bukti lemah seperti itu, para pengacara Soeharto bisa menangkisnya di persidangan. ”Gugatannya bisa ditolak hakim,” kata pengcara gaek ini.

Namun Dachmer Munthe tak khawatir. ”Dokumen fotokopian itu bisa diperkuat dengan dilegalisir dan keterangan saksi,” katanya. Beberapa dokumen asli yang sudah di tangan tim pengacara negara antara lain anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yayasan, surat keputusan Menteri Keuangan yang mewajibkan BUMN menyetor sebagian keuntungannya kepada yayasan, serta hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas yayasan. Adapun dokumen surat perintah pembayaran uang yayasan kepada perusahaan keluarga dan kerabat Soeharto, hanya sebagian yang asli.

Soeharnoko menilai apa yang dilakukan pengacara negara sudah tepat. ”Kalau mengajukan bukti dalam bentuk fotokopian, harus diperkuat dengan keterangan saksi atau alat bukti lainnya,” ujarnya. Dia juga menambahkan, untuk memperkuat bobot gugatan, sebaiknya gugatan ini diikuti dengan permintaan penyitaan aset. Dalam kasus ini, tuntutan ganti rugi yang akan diminta pengacara negara sekitar Rp 1,5 triliun.

Yang penting dipahami, dalam sidang perdata, kedudukan penggugat dan yang digugat sama. Kejaksaan Agung, yang menjadi pengacara negara, tak bisa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, termasuk untuk meminta keterangan, dokumen, apalagi menyita, seperti saat mereka menyidik perkara pidana. Mohammad Assegaf menambahkan, kalau jaksa menggunakan kekuasaannya, pasti akan muncul protes. ”Dalam kasus perdata, kedudukan jaksa itu sama seperti saya sebagai pengacara profesional,” tuturnya.

Dengan bukti semacam ini, menurut Soeharnoko, peluang untuk menang atau kalah sama. Fifty-fifty. Taufik Basari menilai bahwa semuanya tergantung kemampuan dan kemauan Kejaksaan Agung. Celakanya, kata dia, reputasi Kejaksaan Agung dalam perkara perdata tidak teruji. Mereka sering kalah dalam kasus pencemaran lingkungan. Kemauannya juga dipertanyakan. ”Semuanya masih tanda tanya besar,” kata Direktur Bantuan Hukum YLBHI ini.

Abdul Manan, Wahyu Dhyatmika, Arif Kuswardono

Majalah Tempo, Edisi. 16/XXXIIIIII/11 - 17 Juni 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236