Skip to main content

Ceritera dari Negeri Utara

Korea Utara adalah negeri penuh rahasia. Di tangan pemimpin besar Kim Il-sung, dan kini dilanjutkan putranya, Kim Jong-il, Korea Utara hidup terisolasi dari dunia luar, termasuk dari jiran ”sedarah”-nya: Korea Selatan. Sejak tahun 2000, Korea Utara mulai membuka diri melalui jalur ekonomi. Se­perti apa wajah­nya kini? Abdul Manan dari Tempo bersama wartawan dari sejumlah negara melawat ke sana beberapa waktu lalu. Berikut ini laporannya.

PEREMPUAN 28 tahun itu adalah satu dari jutaan orang yang beruntung. Kris Shin bukan bagian dari sekitar 10 juta orang Korea Selatan yang terpaksa berpisah dengan keluarga setelah Perang Korea, 1950-1953. Tak ada saudara yang harus dirindukannya di bagian utara ”Negeri Ginseng” itu. ”Ini juga perjalanan pertama saya,” kata Kris, pemandu kami menuju Korea Utara.

Pada 14 Maret itu, peserta konferensi khusus yang digelar Federasi Jurnalis Internasional dan Asosiasi Jurnalis Korea, dengan tema Perdamaian dan Rekonsiliasi di Semenanjung Korea, akan melawat ke Utara—yang nama resminya Republik Demokratik Rakyat Korea (RDRK). Dengan enam bus, 100 jurnalis dari 70 negara akan melintasi perbatasan sebelum mencapai kawasan Pegunungan Kumgang.

Kumgang berada di tenggara Korea Utara. Letaknya sekitar 150 kilometer dari Pyongyang, ibu kota RDRK, dan 250 kilometer dari Seoul, ibu kota Korea Selatan. Pembangunan kawasan ini dimulai pada Januari 1989, dan sebelas tahun kemudian barulah turis pertama tiba dengan kapal pesiar. Dari Seoul, akses terpendek lewat darat ke Kumgang adalah melalui Daejin, dengan menyusuri pinggir pantai Korea yang berbatasan dengan Laut Jepang. Seoul-Daejin sekitar 200 kilometer.

Di Daejin, rombongan kami berhenti di Hwajinpo Asan Resting Place. Yu Jin, karyawan Hyundai Asan di Korea Utara, bergabung bersama rombongan ini. Ia membagikan visa dan tanda masuk Hyundai Asan—perusahaan asal Korea Selatan yang membangun kawasan wisata pegunungan ini.

Selain paspor, barang bawaan juga diperiksa. Korea Utara memang melarang sejumlah barang dan peralatan masuk ke negeri Kim Jong-il itu. Pada awal konferensi kami sudah diwanti-wanti perkara ini. Binokular, teleskop dengan sepuluh kali pembesaran, kamera dengan lensa lebih dari 160 mm, dan kamera video dengan zoom sampai 24 kali optik, tak boleh dibawa.

Radio, pita rekam, pemutar MP3, global positioning system (GPS), bahkan telepon seluler idem dito. Kemudian: buku, koran, majalah, barang cetakan dari Selatan, juga termasuk haram. Dan yang tak kalah penting, tak boleh memotret. ”Demi kenyamanan bersama,” kata Kris. Tak jelas ”bersama” siapa.

Sepanjang perjalanan Seoul-Daejin, lebih dari tiga kali Kris mewanti-wanti ”pamali” ini. ”Kenapa tak boleh mengambil gambar?” salah seorang wartawan bertanya. ”Karena tak boleh,” kata Kris. ”Kenapa?” peserta lain mendesak. Kris berusaha menjelaskan, yang buntut-buntutnya adalah urusan keamanan. ”Ya, inilah Korea Utara,” kata Kris, sebagai jawaban pemungkas yang membuat kami tak lagi berselera melempar pertanyaan.

Dari Hwajinpo diperlukan sekitar 15 menit untuk sampai di Donghae Highway Transit Office. Kantor imigrasi, bea cukai, dan karantina Korea Selatan ini besar adanya, didominasi besi dan kaca. Arsitekturnya modern. Dengan enam loket imigrasi, tak sampai lima menit saya mengantre.

Kami kembali meneruskan perjalanan. Setelah melewati Tongil Tower, pos pemantauan militer Ko-rea Selatan di perbatasan, kami pun masuk zona demiliterisasi. Dua kilometer zona ini berada di Korea Selatan, dua kilometer di Korea Utara. Ditandai dengan dua lapis kawat berduri di tiap sisinya, zona ini membentang 248 kilometer dari ujung barat ke timur Korea. Titik tengahnya garis demarkasi militer.

Zona ini dibangun setelah gencatan senjata Pe-rang Korea ditandatangani, 27 Juli 1953. Perang tak hanya menewaskan sekitar 1 juta penduduk di kedua sisi sempadan, tapi juga memisahkan 10 juta keluarga. Jalan darat melintasi zona demiliterisasi ini baru dibuka untuk turis empat tahun lalu.

Di sepanjang empat kilometer yang saya lewati tak ada rumah, kendaraan, atawa ternak. Hanya hamparan ilalang yang sebagian besar menguning, sisa musim kering. Korea pada awal Maret memang tak seindah dalam drama Negeri Ginseng yang cukup populer di Indonesia: Dejanggem atau Winter Sonata.

Di garis demarkasi militer, jangan berharap ada ucapan selamat datang. Cuma ada pagar beton di kiri dan kanan jalan. Kabarnya, itu menjadi batu penghalang pertama jika salah satu negara menyerbu lewat darat. Jika pagar beton itu dirobohkan, butuh 15 menit untuk membersihkannya sebelum kendaraan-kendaraan lapis baja melintas.

Setelah dua kilometer perjalanan, kami sampai di Kusunbong, Korea Utara. Kantor imigrasi ini tak ubahnya tenda militer. Ada tentara berjaga di pintu masuk. Di kanan dan kiri jalan tentara berseragam berdiri tegak dengan mata awas. Yang memeriksa paspor pun bukan petugas imigrasi, melainkan serdadu.

Tak ada senyum, apalagi ucapan selamat datang. Kontras dengan Donghae. Tak ada kafe, dan jangan harap ada gerai penukaran uang. Satu-satunya fasilitas umum yang tersedia adalah toilet: enam di pintu masuk, enam di pintu keluar.

Kami kembali meneruskan perjalanan. Lagi-lagi kami diingatkan: tak boleh memotret. Saya merasa baru tahu arti larangan ini setelah kendaraan melaju 15 menit dari imigrasi. ”Kamu lihat itu? Itu peluncur roket,” kata teman seiring saya, Michael Yu, sambil menunjuk ke sisi kiri.

Meski dari jarak 1,5 kilometer, samar-samar terlihat tiga peluncur roket parkir di mulut terowongan. ”Jarak jangkaunya bisa ke seberang bukit,” kata Yu, sembari menunjuk ke perbukitan di sisi kanan. Dia tak asing dengan instalasi semacam itu karena pernah di angkatan udara Taiwan semasa 14 bulan wajib militer.

Itu bukan satu-satunya. Kira-kira satu kilometer sebelum lokasi ini, saya juga melihat tank dari jarak satu kilometer. Letaknya hampir tersembunyi di kaki perbukitan. Moncong enam tank itu mengarah ke jalan, seakan menggertak siapa pun yang melintas. Sepanjang jalan dari pos imigrasi ke Korea Utara, hampir tiap 500 meter saya melihat tentara tegak berjaga. Ada yang di pinggir jalan, tapi ada juga yang di tengah pematang.

Menjelang sore, kami sampai di Onjeonggak Area. Dari sini kita bisa menjangkau semua tujuan wisata Pegunungan Kumgang. Ada Danau Samilpo, Puncak Bukit Batu Mamulsang, dan Lembah Dongseokdong. Kami ke Cultural Center. Dengan tiket US$ 30 per orang, kami menikmati satu jam suguhan atraktif Pyongyang Moranbong Acrobatic.

Banyak fasilitas umum di Onjeonggak ini. Selain Cultural Center, juga ada tiga hotel, paviliun, restoran, dan tempat belanja. Tapi, jangan keburu merasa berbahagia. Meski banyak uang, kita tak bisa berbelanja sesukanya di sini. Pemerintah membatasi pembelian suvenir yang bisa dibawa pulang.

Untuk minuman asing, cuma diizinkan membeli satu botol. Minuman lokal boleh dua botol. Tak boleh membeli produk pertanian lebih dari lima kilogram. Nilai belanja juga dibatasi. Masing-masing orang tak boleh membawa suvenir lebih dari US$ 300. Mata uang Korea Utara adalah won, tapi transaksi di sini menggunakan dolar.

Bukan hanya pembatasan, sanksi juga lumayan banyak. Turis yang kehilangan kartu tanda masuk ke Hyundai akan didenda US$ 5. Kalau visanya yang raib, dendanya US$ 5-100. ”Makanya negeri ini dijuluki negeri penalti,” kata Kris.

Acara hari itu diakhiri dengan makan malam di Okryukwan, restoran khas Korea Utara. Seusai makan, saya bergabung dengan para kolega di bar Hotel Oekumgang. Sambil minum kopi, kami menikmati alunan lembut dua biduan.

Tak berselang lama, Inday Espina Varona bergabung. Kepala Urusan Luar Negeri Serikat Nasional Jurnalis Filipina ini langsung akrab dengan logat kedua penyanyi itu. ”Mereka orang Filipina,” kata-nya. Ketika para penyanyi itu beristirahat, Espina menghampiri dan mewawancarai mereka. Hingga menjelang pagi, sebagian anggota rombongan masih bertahan di bar.

* * *

KEESOKAN harinya kami ke Danau Samilpo. Di tengah jalan saya melihat gedung tujuh lantai Family Reunion Center yang belum selesai. Ini akan menjadi tempat reuni bagi keluarga dua Korea yang tercerai-berai akibat perang tiga tahun dulu. Gedung yang berfungsi sama juga sudah ada di Panmunjeom, persis di garis demarkasi militer di bagian barat.

Jalan menuju Samilpo melewati beberapa desa. Di ujung Desa Yangji, misalnya, ada pos tentara. Ketika rombongan kami lewat, tentara berseragam berdiri tegak dengan mata awas. Suasananya sama ketika ka-mi melintasi Desa Onjeong. Seorang tentara menghentikan semua pejalan kaki dan sepeda ketika enam bus rombongan kami melintas menuju Danau Samilpo.

Jalan menuju danau sudah disiapkan. Satu-dua tentara berdiri di hampir setiap ujung jalan, kecuali rute yang harus kami lewati. Hanya 30 menit di sini sebelum akhirnya kami pergi. Tapi kami tak bisa bergegas pulang karena ada insiden siang itu.

Ini bermula dari seorang Korea Utara yang menjual lukisan. Saya ikut menengok, mengambil gambar, dan segera kembali ke bus. Wartawan Italia, Pio Demilia, mewawancarainya. Tentara Korea Utara datang melarang. Demilia memprotes pelarangan itu. Wartawan asal Israel, Menachem Hadar, merekam cekcok itu. Keduanya dibawa ke pos militer.

Tentara Korea Utara menghapus rekaman cekcok sekitar 3 menit itu dari kamera Hadar, sedangkan kamera Demilia tak bisa dilihat karena alasan baterainya habis. Gara-gara ini, panitia berkeliling dari bus nomor 1 sampai nomor 6, menanyakan apa ada yang punya baterai Panasonic. Interogasi dua wartawan itu membuat rombongan kami tertahan hampir satu jam.

Insiden kecil lainnya menimpa saya dan Ketua Asosiasi Jurnalis Korea, Chung Il-Yong. Di sebuah tikungan, ia mengajak memotong jalan. Tak dinyana, terdengar sempritan peluit dari arah tentara Korea Utara di ujung jalan. Ia mengibaskan bendera merah layaknya wasit menangkap basah pemain sepak bola yang melanggar aturan. Chung Il cuma tertawa kecut.

Ini bukan insiden terakhir dalam dua hari di Korea Utara. Insiden kecil terjadi saat kami pulang ke Seoul, tepatnya di Imigrasi Korea Utara. Pemicunya adalah wartawan Polandia, Bertold Jercy Kittel, yang memotret di lokasi itu. Ia pun digiring dan diperiksa. Hasilnya? Tentara Korea Utara menghapus semua jerih-payahnya gara-gara beberapa jepretan di Kusunbong itu.

Dua hari yang sangat berkesan bagi saya. Juga bagi Kris. ”Selama 28 tahun di Korea Selatan, saya belum merasakan artinya kebebasan. Setelah semalam di Korea Utara, saya baru tahu apa artinya kebebasan,” kata perempuan asal Korea Selatan ini.

Rubrik: Selingan
Majalah Tempo, Edisi. 08/XXXIIIIII/16 - 22 April 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236