Skip to main content

Lantaran Ditutup Sebelum Waktunya

Untuk pertama kalinya Mahkamah Agung menghidupkan lagi bank yang sudah dibekukan Bank Indonesia. Pemegang saham yakin ada investor baru.

GEDUNG berlantai tiga di Jalan Gajah Mada, Denpasar, itu terkunci. Tak ada penjaga, apalagi lalu-lalang pegawai berbaju rapi layaknya karyawan bank. Kan­tor pusat Bank Dagang Bali itu kini bagai gedung tak bertuan. Tiga tahun silam Bank Indonesia memang telah menca­but izin operasi bank kebanggaan­ ma­syarakat Bali itu. ”Kalau BI meng­izin­kan, Bank Dagang Bali bisa kembali berope­rasi,” kata I Gusti Made Oka, sang pemilik saham, Rabu pekan lalu.

Pria 74 tahun itu tidak sedang bermimpi. Mahkamah Agunglah yang me­nerbitkan harapannya. Akhir tahun la­lu, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi yang membatalkan surat keputusan Gubernur Bank Indonesia yang menyatakan sejak 8 April 2004 Bank Dagang Bali tidak boleh berope­rasi. Putusan itu juga memerintahkan Bank Indonesia memulihkan bank ke kondisi semula. Walau vonis itu diputuskan akhir tahun lalu, pemilik Bank Dagang Bali baru dua pekan lalu men­dengarnya.

Awal kasus ini bermula saat Bank Dagang Bali, pada akhir 2003, dibelit masalah keuangan. Rasio kecukupan modal (CAR)-nya terus menurun. Melihat ”kapal” Bank Dagang Bali goyang, Bank Indonesia meminta pemegang saham ”menginjeksi” modal. Lewat surat tertanggal 28 Januari 2004, Bank Indonesia menyatakan bank ini dalam peng­awasan khusus. Bank ini diberi tenggat 28 April 2004 untuk menyehatkan diri. Tapi, pada 8 April, Bank Indonesia ­mencabut izin Bank Dagang Bali. Se­kitar 700 karyawan bank itu menjadi penganggur.

I Gusti Made Oka langsung menggugat pembekuan banknya ke Peng­adil­an Tata Usaha Negara Jakarta. Ia menu­­ding Bank Indonesia bertindak ­sewenang-wenang. ”Diberi waktu sampai 28 April, tapi 8 April sudah dibekukan,” ujar­nya. Oka menganggap Bank Indonesia juga tak membantu banknya yang ingin mencairkan dananya di Bank CIC, NISP, Eksekutif, dan Asiatic, yang jumlahnya sekitar Rp 1,2 triliun.

PTUN Jakarta mengabulkan gugat­an Oka. Namun, di Pengadilan Tinggi Ta­ta Usaha Negara, ia kalah. Oka pun mengajukan permohonan kasasi. Kali ini harapannya terkabul. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadil­an Tinggi Tata Usaha Negara. Menurut Ketua majelis hakim kasus ini, Paulus Efendi Lotulung, Bank Indonesia telah menjatuhkan sanksi sebelum tenggat­nya­ lewat. ”Kalau memberi batas waktu, harus ditaati,” kata Paulus.

Menurut Paulus, kalaupun ada alasan lain yang memaksa, misalnya pemegang saham tak mampu menambah modal, seharusnya hal itu masuk pertimbang­an keputusan pembekuan. ”Jadi pertim­bangannya harus jelas.” Lewat pu­tus­an ini, Bank Indonesia diperintahkan memulihkan kedudukan Bank Dagang Bali sebelum pembekuan. Meski ada upaya peninjauan kembali, putusan ini, ujar Paulus, harus tetap dilaksanakan.

Bank Indonesia mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan itu. Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong me­nyesalkan hakim tak mempertimbangkan latar belakang pembekuan bank ini. ”Pemberian waktu 28 Januari sampai 28 April 2004 itu adalah kesempatan kedua,” ujarnya.

Sebelumnya, ujar Oey, pemegang saham sudah diberi waktu dari Oktober 2003 sampai Januari 2004. Apalagi Bank Indonesia menganggap pemegang saham sudah ”melempar handuk”, menyerah. ”Pada 31 Maret 2004, di depan notaris, pemegang saham sudah menyatakan tak sanggup menambah mo­dal,” kata Oey.

Bagi Bank Indonesia, kata Oey, kesehatan perbankan itu penting untuk menghindari kerugian negara lebih besar. Dengan pembekuan pada 8 April saja, pemerintah sudah mengeluarkan dana program penjaminan sekitar Rp 1,4 triliun. ”Penutupan 8 April itu untuk mencegah kerugian negara lebih besar,” kata Oey.

Bank Indonesia juga menepis tuding­an tak membantu Bank Dagang Bali me­narik depositonya di empat bank. Me­nurut Oey, pihaknya sudah menge­­cek keempat bank yang disebut me­nyim­pan uang Bank Dagang Bali. ”Ternyata itu tagihan bodong,” kata Oey. Sebagian besar deposito itu, kata Oey, sudah di-set off oleh bank-bank tersebut karena Bank Dagang Bali juga punya kewajiban kepada bank lain. ”Sekarang bank itu mau dihidupkan lagi? Mau jadi bank zombi?” kata Oey.

Tapi, lewat pengacaranya, Bachtiar ­Yacob, I Gusti Made Oka berkukuh pu­nya tagihan terhadap keempat bank tersebut. Menurut Yacob, keuangan Bank Dagang Bali akan sehat kalau uangnya sebesar Rp 1,2 triliun di ke­empat bank itu bisa ditagih.

Yacob menyadari putusan Mahkamah Agung ini tak serta-merta membuat bank kliennya beroperasi kembali. ”Bagaimana bisa beroperasi, tim likuidasi masih ada sampai sekarang,” katanya tentang tim yang dibentuk berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Denpasar pada 11 Juni 2004 silam. Ya­cob berharap putusan Mahkamah Agung itu dipatuhi Bank Indonesia. ”Saya ­optimistis, bila BDB diizinkan beroperasi kembali, akan ada investor yang membiayai.”

Di mata pengamat perbankan Iman Sugema, inilah pertama kalinya ada bank yang dibekukan bisa hidup kembali. Menurut Iman, seharusnya Mahkamah Agung menghormati otoritas bank sentral yang punya kewenangan memberikan penilaian kesehatan bank. ”Itu semua di luar otoritas pengadilan, kecuali ada pelanggaran hukum,” kata pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor ini. Kalaupun ada selisih hari, kata dia, itu masalah ­administrasi. ”Substansinya harus di­li­­hat, jangan semata mendahulukan prosedur administrasi.”

Kemenangan Bank Dagang Bali itu sendiri tidak langsung disambut gegap-gempita oleh para bekas karyawannya. Menurut koordinator bekas pekerja Bank Dagang Bali, Anak Agung Sudipta Panji, mereka kini lebih berfokus untuk memperjuangkan sisa pesangon tiga kali gaji—dari lima kali yang dijanjikan—yang sampai saat ini belum dibayar.

Urusan pesangon itu kini juga sudah sampai di Mahkamah Agung, setelah tim likuidasi menyatakan kasasi atas pu­tusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang mengatakan sisa pesangon­ itu menjadi kewajiban tim likuidasi. ”Inilah se­karang yang kami pentingkan. Soal bank itu akan hidup lagi, itu urusan lain,” kata Anak Agung Sudipta Panji.

Abdul Manan, Made Mustika


Boks: Perjalanan Bank Oka

BANK Dagang Bali didirikan I Gusti Made Oka pada 22 Agustus 1970. Sekitar 90 persen sahamnya dimiliki Oka dan selebihnya dimiliki anggota keluarganya. Bank yang berkantor pusat di Denpasar ini berfokus pada sektor kredit usaha kecil. Hingga ditutup pada 2004, bank ini memiliki tujuh kantor dan sekitar 700 karyawan. Inilah kronologi penutupan bank itu.

28 Januari 2004
Bank Indonesia memberikan kesempatan kedua kepada Bank Dagang Bali untuk menambah modal. Tenggatnya 28 April 2004. Kesempatan pertama diberikan pada Oktober 2003 sampai Januari 2004.

31 Maret 2004
Melalui pernyataan di depan notaris, pemilik saham Bank Dagang Bali menyatakan tak sanggup menambah modal.

8 April 2004
Bank Indonesia menerbitkan surat keputusan Gubernur Bank Indonesia tentang pencabutan izin usaha Bank Dagang Bali.

Mei 2004
I Gusti Made Oka, pemilik saham Bank Dagang Bali, mengajukan gugatan atas pencabutan izin banknya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

11 Juni 2004
Pengadilan Negeri Denpasar mengeluarkan penetapan pembentukan Tim Likuidasi Bank Dagang Bali.

20 Oktober 2004
PTUN mengabulkan gugatan Oka dan membatalkan surat keputusan Gubernur BI.

3 Mei 2005
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

25 Juli 2005
Oka mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

4 September 2006
MA menerima kasasi Oka, membatalkan surat keputusan Gubernur BI, dan mewajibkan BI memulihkan Bank Dagang Bali.

Majalah Tempo, Edisi. 51/XXXV/12 - 18 Februari 2007

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236