Menolak tapi Menerima
HUJAN interupsi membuat alot Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sleman, medio Desember lalu. Dari 34 orang anggota Dewan yang hadir, hanya lima yang tidak setuju draf Rancangan Perubahan Peraturan Daerah tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota. Pimpinan sidang melakukan voting. Akhirnya lima wakil rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak itu pun keok.
Draf yang disusun untuk menyikapi terbitnya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 itu ditetapkan dengan pola maksimal. Besarnya, tiga kali uang representasi ketua dewan. Itu yang dipersoalkan dan menjadi dasar penolakan kelima wakil rakyat tersebut. Alasannya, penetapan itu tidak mempertimbangkan beban kerja dan kemampuan daerah.
Wakil Ketua Dewan Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Rahman Agus Sukamto, mengatakan bahwa berdasarkan keputusan itu, 45 orang anggota Dewan Kabupaten Sleman akan menerima tunjangan komunikasi intensif masing-masing Rp 75,6 juta per tahun. Berarti, daerah harus menyiapkan Rp 3,402 miliar untuk membayar rapel anggota Dewan.
Jumlah itu masih ditambah tunjangan komunikasi intensif untuk pimpinan dewan yang besarnya enam kali uang representasi atau Rp 12,6 juta per bulan. Dan untuk dua orang wakil ketua masing-masing empat kali uang representasi atau Rp 6,4 juta tiap bulan. Itu baru tunjangan komunikasi intensif, belum tunjangan operasional dan tunjangan lain yang dalam pasal 10 peraturan tersebut jumlahnya mencapai 10 item.
Menurut Rahman, dalam lima tahun terakhir, Kabupaten Sleman menggunakan sistem anggaran defisit, bukan sistem anggaran berimbang. Karena itu wajar bila dengan penambahan rapel gaji 2006 pun defisit. Misalnya, APBD menetapkan penerimaan Rp 633 miliar dengan anggaran belanja Rp 700 miliar. ”Tiap akhir tahun kami selalu surplus karena banyak pos yang dikurangi untuk menutup defisit. Tahun anggaran 2006, kami masih punya saving Rp 192 miliar,” tuturnya.
Daerah lain yang juga memiliki pendapatan asli daerah (PAD) cukup baik adalah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Dengan PAD Rp 33 miliar, Simalungun mampu menyiapkan Rp 7 miliar untuk tunjangan Dewan. ”Tapi sejujurnya, kami menginginkan pembayaran tunjangan komunikasi intensif itu cukup dua kali atau bahkan satu kali uang representasi,” tutur Bupati Simalungun, Zulkarnaen Damanik.
Daerah surplus seperti Sleman dan Simalungun mungkin tidak terlalu terbebani. Tapi untuk daerah yang memiliki sumber dana terbatas, peraturan pemerintah ini akan menjadi masalah besar. Kepentingan rakyat bisa ”lewat” demi membayar gaji Dewan. Ketua Komite Pemantau Legislatif Makassar, Syamsuddin Alimsyah, menyatakan bahwa tambahan penghasilan bagi anggota DPRD sudah jelas akan semakin memperkecil alokasi anggaran untuk masyarakat.
Kabupaten-kabupaten di Sulawesi umumnya memiliki sumber pendapatan asli daerah rendah. Beberapa daerah bahkan hanya memiliki PAD riil di bawah Rp 5 miliar. Tambahan tunjangan komunikasi intensif dan operasional untuk 30 orang anggota Dewan saja butuh Rp 2.580.480.000 per tahun. ”Ini bukan jumlah kecil untuk daerah yang memiliki PAD riil rendah,” ujar Syamsuddin.
Keluhan juga terjadi di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Maringan Lumbang Tobing, mengatakan bahwa pihaknya belum menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu. Anggota Dewan Zakaria Bangun mengakui, keluarnya peraturan itu mempersulit kedudukan Dewan di masyarakat. “Peraturan ini menghilangkan wibawa anggota Dewan,” tutur anggota Fraksi PDIP ini.
Muhammad Nuh, anggota Fraksi PKS dari DPRD Sumatera Utara, mengaku dirinya sebenarnya berat hati menerima tunjangan komunikasi sebesar tiga kali uang representasi atau Rp 7,6 juta per bulan. “Secara pribadi rasanya tidak pantas kami menerima sebanyak itu. Apalagi melihat kondisi masyarakat saat ini,” tuturnya. Tak mudah memang menentukan gaji untuk diri sendiri.
L.N. Idayanie, A. Manan, Syaiful Amin (Sleman), Hambali Batubara (Sumatera Utara)
Majalah Tempo, Edisi. 47/XXXV/15 - 21 Januari 2007
Draf yang disusun untuk menyikapi terbitnya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 itu ditetapkan dengan pola maksimal. Besarnya, tiga kali uang representasi ketua dewan. Itu yang dipersoalkan dan menjadi dasar penolakan kelima wakil rakyat tersebut. Alasannya, penetapan itu tidak mempertimbangkan beban kerja dan kemampuan daerah.
Wakil Ketua Dewan Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Rahman Agus Sukamto, mengatakan bahwa berdasarkan keputusan itu, 45 orang anggota Dewan Kabupaten Sleman akan menerima tunjangan komunikasi intensif masing-masing Rp 75,6 juta per tahun. Berarti, daerah harus menyiapkan Rp 3,402 miliar untuk membayar rapel anggota Dewan.
Jumlah itu masih ditambah tunjangan komunikasi intensif untuk pimpinan dewan yang besarnya enam kali uang representasi atau Rp 12,6 juta per bulan. Dan untuk dua orang wakil ketua masing-masing empat kali uang representasi atau Rp 6,4 juta tiap bulan. Itu baru tunjangan komunikasi intensif, belum tunjangan operasional dan tunjangan lain yang dalam pasal 10 peraturan tersebut jumlahnya mencapai 10 item.
Menurut Rahman, dalam lima tahun terakhir, Kabupaten Sleman menggunakan sistem anggaran defisit, bukan sistem anggaran berimbang. Karena itu wajar bila dengan penambahan rapel gaji 2006 pun defisit. Misalnya, APBD menetapkan penerimaan Rp 633 miliar dengan anggaran belanja Rp 700 miliar. ”Tiap akhir tahun kami selalu surplus karena banyak pos yang dikurangi untuk menutup defisit. Tahun anggaran 2006, kami masih punya saving Rp 192 miliar,” tuturnya.
Daerah lain yang juga memiliki pendapatan asli daerah (PAD) cukup baik adalah Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Dengan PAD Rp 33 miliar, Simalungun mampu menyiapkan Rp 7 miliar untuk tunjangan Dewan. ”Tapi sejujurnya, kami menginginkan pembayaran tunjangan komunikasi intensif itu cukup dua kali atau bahkan satu kali uang representasi,” tutur Bupati Simalungun, Zulkarnaen Damanik.
Daerah surplus seperti Sleman dan Simalungun mungkin tidak terlalu terbebani. Tapi untuk daerah yang memiliki sumber dana terbatas, peraturan pemerintah ini akan menjadi masalah besar. Kepentingan rakyat bisa ”lewat” demi membayar gaji Dewan. Ketua Komite Pemantau Legislatif Makassar, Syamsuddin Alimsyah, menyatakan bahwa tambahan penghasilan bagi anggota DPRD sudah jelas akan semakin memperkecil alokasi anggaran untuk masyarakat.
Kabupaten-kabupaten di Sulawesi umumnya memiliki sumber pendapatan asli daerah rendah. Beberapa daerah bahkan hanya memiliki PAD riil di bawah Rp 5 miliar. Tambahan tunjangan komunikasi intensif dan operasional untuk 30 orang anggota Dewan saja butuh Rp 2.580.480.000 per tahun. ”Ini bukan jumlah kecil untuk daerah yang memiliki PAD riil rendah,” ujar Syamsuddin.
Keluhan juga terjadi di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Maringan Lumbang Tobing, mengatakan bahwa pihaknya belum menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu. Anggota Dewan Zakaria Bangun mengakui, keluarnya peraturan itu mempersulit kedudukan Dewan di masyarakat. “Peraturan ini menghilangkan wibawa anggota Dewan,” tutur anggota Fraksi PDIP ini.
Muhammad Nuh, anggota Fraksi PKS dari DPRD Sumatera Utara, mengaku dirinya sebenarnya berat hati menerima tunjangan komunikasi sebesar tiga kali uang representasi atau Rp 7,6 juta per bulan. “Secara pribadi rasanya tidak pantas kami menerima sebanyak itu. Apalagi melihat kondisi masyarakat saat ini,” tuturnya. Tak mudah memang menentukan gaji untuk diri sendiri.
L.N. Idayanie, A. Manan, Syaiful Amin (Sleman), Hambali Batubara (Sumatera Utara)
Majalah Tempo, Edisi. 47/XXXV/15 - 21 Januari 2007
Comments