Kesandung Belanja Rutin
SJAHRIEL Darham kelihatan letih ketika meninggalkan ruang pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Rabu malam pekan lalu. Baju safari abu-abu dan peci hitamnya tak membuat bekas Gubernur Kalimantan Selatan (periode 2000-2005) itu kelihatan gagah seperti di masa dinas dulu. Maklum, lelaki kelahiran Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, yang kini 61 tahun itu baru diperiksa selama 12 jam. Ia pun tak berselera menjawab berbagai pertanyaan seputar pemeriksaan. ”Kalau sesuai dengan prosedur, ya, saya ikuti saja,” ujarnya pendek.
Ketika mengembalikan kartu tamu dan menukarnya dengan kartu tanda penduduk di meja keamanan KPK, tangan Sjahriel gemetar. Tapi ia tetap melempar senyum ke arah wartawan saat petugas berseragam menggiringnya ke mobil Kijang yang sudah menunggunya. Sjahriel diantar ke ruang tahanan Badan Reserse dan Kriminal di Markas Besar Kepolisian RI—yang jaraknya sekitar 30 menit dari kantor KPK.
Itu pemeriksaan kedua. Pada 11 Desember 2006, Sjahriel ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi anggaran belanja rutin pos kepala daerah Kalimantan Selatan. Ia didakwa merugikan negara sekitar Rp 5,4 miliar.
Kasus ini muncul setelah ada laporan sejumlah lembaga masyarakat ke KPK, antara lain laporan Gerakan Reformasi Indonesia (Gerindo) pada Juni 2004. ”Anggaran belanja rutin gubernur tak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000,” kata Ketua Gerindo, Syamsul Daulah.
Peraturan pemerintah tentang keuangan kepala daerah itu menyebutkan alokasi belanja rutin gubernur tergantung pendapatan asli daerah. Menurut Syamsul, kalau pendapatan Rp 200 miliar, seperti Kalimantan Selatan, belanja rutin kepala daerah harusnya Rp 700 juta sampai Rp 1 miliar. ”Alokasi gubernur ada yang sampai Rp 2,5 miliar setahun. Ini jelas menyimpang,” kata Syamsul.
Gerindo pun melakukan demonstrasi ke kantor KPK, lima bulan setelah laporan dilayangkan. Mereka minta kasus Sjahriel segera diusut. Saat itu, kata Syamsul, dia mendapat informasi bahwa KPK meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Banjarmasin turun. ”BPKP mulai memeriksa pada Februari 2005,” kata Ismet Ahmad, bekas Sekretaris Daerah Kalimantan Selatan kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Atas dasar laporan terakhir itulah KPK melakukan pemeriksaan.
Empat pejabat dan bekas pejabat daerah itu dipanggil. Istri Sjahriel, Herlinawati, juga diperiksa KPK. Menurut Ismet Ahmad, KPK menyodorkan temuan BPKP soal pengeluaran dan penggunaan tunjangan kepala daerah. Ismet mengaku tidak menandatangani satu kuitansi pun untuk pos tadi. Karena, kata Ismet, ”Tidak jelas untuk apa uang digunakan.” Karena dinilai tak loyal, Ismet dipecat pada Oktober 2004.
Dari keterangan Ismet dan bekas pejabat lain, KPK menduga Sjachriel menggunakan anggaran yang tak sesuai dengan peruntukannya. ”Sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi,” kata Johan Budi, juru bicara KPK. Antara lain, membeli kendaraan, toko, membayar asuransi, dan perbaikan rumah pribadi. Anggaran belanja rutin itu diduga juga diserahkan Sjahriel kepada istrinya, jumlahnya Rp 50 juta sebulan selama empat tahun (lihat tabel). Sjahriel didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Sjachriel menampik tudingan memakai uang daerah. ”Yang digunakan selama ini adalah uang saya sendiri,” katanya. Dia mengaku sudah dua kali mengembalikan uang ke kas daerah: pada Februari 2005 sebanyak Rp 400 juta dan September 2006 sebesar Rp 1,74 miliar. ”Karena dianggap tak jelas peruntukannya, ya sudah, saya kembalikan saja supaya tidak repot,” ujar Sjahriel.
Herlinawati, saat dimintai konfirmasi oleh Tempo, memilih tak menjawab. Ibu mantan gubernur itu langsung mematikan telepon. Ketika Tempo datang ke rumahnya di Banjarmasin, Rabu pekan lalu, pintu tertutup dan pagarnya diikat rantai besi. ”Ibu sudah ke Jakarta,” kata seorang penjaga rumah. Kediaman bekas gubernur itu catnya mulai suram dimakan usia. Pengacara Sjachriel, Yuliono, juga tak mau berkomentar. ”Kami sekarang berkonsentrasi pada penangguhan penahanan,” kata Yuliono.
Bukan tugas yang mudah agaknya.
Abdul Manan, Khaidir Rahman, Tito Sianipar
Comments