Skip to main content

Drama Jaksa dari Selatan

Tiadanya barang bukti uang bisa meloloskan dua jaksa yang dituduh memeras bekas Direktur PT Jamsostek Achmad Djunaidi. Bukti yang ada hanya segepok sambungan telepon.

Kedua jaksa itu, Cecep Sunarto dan Burdju Ronni Allan Felix, tidak mengenakan "baju kebesarannya" saat tampil di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. Ia tidak sedang bertugas sebagai "jaksa penuntut", tapi justru menjadi orang yang dituntut alias terdakwa. Kedua jaksa itu juga lebih banyak tutup mulut. "Silakan tanya pengacara saya," kata Burdju menjawab berondongan pertanyaan wartawan.

Cecep, 38 tahun, dan Burdju, 35 tahun, keduanya jaksa dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, diduga melakukan pemerasan terhadap bekas Direktur PT Jamsostek, Achmad Djunaidi, sepanjang November sampai Desember tahun lalu. Kala itu Djunaidi tengah diperiksa berkaitan dengan dugaan kasus korupsi Rp 331 miliar yang dilakukannya.

Kasus yang menyeret dua jaksa ini bermula dari sidang pembacaan vonis Djunaidi, 27 April silam. Hakim yang diketuai Sri Mulyati mengganjar Djunaidi delapan tahun penjara, atau lebih ringan separuh dari tuntutan jaksa. Ketua tim jaksa, Heru Chairuddin, pun langsung menyatakan banding. Saat itulah Djunaidi berteriak. "Ini dendam pribadi, ya? Kamu ingin lihat saya mati," katanya. Tangan Djunaidi langsung menyambar sebuah papan nama dan melemparkannya ke muka Heru. Meleset, lemparannya membentur dinding.

Djunaidi buka kartu. Di depan hakim ia berteriak lantang sudah memberi uang Rp 600 juta untuk para jaksa. Nyanyian Djunaidi inilah yang membuat kasus "jaksa pemeras" ini terungkap. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memerintahkan kelima jaksa yang mengusut kasus Djunaidi ini diperiksa. Mereka adalah Heru Chairuddin, Pantono, M.Z. Idris, Cecep, dan Burdju. Kelimanya diperiksa Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada awal Mei, kelima jaksa itu dipertemukan dengan Aan Hadi Gusnanto, "kasir" Djunaidi. Saat ditanya kepada siapa berhubungan dan memberi uang, tanpa ragu Aan pun menunjuk Cecep dan Burdju. Waktu itu Cecep dan Burdju menyangkal tak kenal dan tak pernah menerima apa pun dari Aan. "Ya, itu hak dia," kata Aan.

Menurut seorang jaksa Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari pemeriksaan, memang hanya Cecep dan Burdju yang melakukan pemerasan terhadap Achmad. Saat pemeriksaan, ujar sumber itu, Heru Chaeruddin pernah mengingatkan keduanya tidak macam-macam. Cecep dan Burdju dijerat dengan
Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Jaksa Ali Mukartono, jaksa yang mengusut kasus ini, mendakwa keduanya melakukan pemerasan atau menerima hadiah.

Menurut Ali, kasus ini bermula dari permintaan Djunaidi kepada Aan untuk mencari tahu siapa jaksa yang memegang kasusnya. Djunaidi ingin kasusnya segera disidangkan atau mendapat tahanan luar. Aan lalu menghubungi kenalannya, Kenti Supriyatin, seorang pegawai Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Dari Kenti, Aan berkenalan dengan Cecep dan Burdju. Usai menyampaikan permintaan Djunaidi, Cecep bertanya, "Ada duitnya nggak." Aan menimpali, "Rupiah atau dolar?" Keesokan harinya, Aan sudah membawa Rp 100 juta. Uang itu diterimanya dari Djunaidi.

Dua hari setelah pertemuan itu, Cecep minta Rp 250 juta lagi. Permintaan ini dipenuhi. Lalu, bak ketagihan, pada Desember 2005 Cecep kembali menelepon Aan. Kali ini ia minta biaya operasional yang besarnya sama dengan permintaan kedua. Hanya, Djunaidi tak memenuhinya. Ia hanya memberi Rp 200 juta.

Uang itu dibawa Aan ke ruang kerja Cecep. Tapi Cecep meminta Aan menemui Burdju. Saat di ruang Burdju, sepotong SMS dari Cecep masuk. Isinya: "Dia sengaja tahan 50. Tolak saja kalau tak lengkap." Rupanya, Cecep keliru mengirim SMS. Pesan pendek itu ia maksudkan untuk Burdju. Aan tersinggung.
Uang itu dibawanya kembali. Tapi esoknya Burdju meneleponnya. Aan kembali ke kejaksaan dan memberi uang Rp 200 juta itu kepada Cecep.

Kepada Tempo, Achmad Djunaidi membenarkan cerita pada dakwaan jaksa. Menurut dia, permintaannya melalui Aan semata agar sidangnya dipercepat. "Bukan supaya saya dibebaskan," kata pria kelahiran Lubuklinggau ini. Dia yakin tak merugikan negara dalam kasus ini. "Ini kan perkara perdata."

Salah satu pengacara Burdju dan Cecep, Elza Syarief, menunjuk isi dakwaan itu tak jelas. Menurut Elza, jaksa tak yakin ini kasus pemerasan atau penyuapan. Kalau penyuapan, ujarnya, mestinya Djunaidi dan Aan juga diadili. Menurut Elza, Burdju mengaku tak pernah bertemu dan menerima uang dari Aan. "Dakwaan ini bolong karena tak menyertakan barang bukti," katanya. "Tak ada uang yang disita."

Jaksa Ali Mukartono tak bersedia menjawab tudingan Elza. Kepada Tempo, ia menyebut alasannya. "Itu sudah masuk materi perkara." Namun, dia memastikan, meski tak ada barang bukti, tak berarti dakwaan ini lemah. Tim jaksa, ujarnya, punya sejumlah alat bukti, seperti catatan sambungan telepon dan sejumlah keterangan saksi.

Elza yakin jaksa tak memiliki bukti pembicaraan telepon. "Cuma ada missed call saja," katanya. Tapi, lain Elza, lain pula Aan. Menurut Aan, Tim Pemberantasan Korupsi memiliki bukti sambungan telepon dirinya dengan Cecep dan Burdju. "Ada 30-an bukti, ada yang sampai empat menit," kata Aan. "Jadi, tak mungkin missed call saja."

Aan percaya, kendati jaksa tak bisa menghadirkan barang bukti uang Djunaidi itu, bukti-bukti yang dipegang Tim Pemberantasan Korupsi akan bisa mengirim dua jaksa itu ke bui. Salah satu bukti yang ia miliki, "SMS salah kirim" dari Cecep, misalnya, juga sudah ia serahkan ke Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Kedua jaksa itu pasti tidak akan lolos," ujarnya.

Abdul Manan, Ramidi, Fanny Febiana


Terjerat Surat Utang

SEMUA bermula pada 2001. Ketika itu Achmad Djunaidi, Direktur Utama PT Jamsostek, menyetujui pembelian surat utang jangka menengah (medium term notes) senilai Rp 311 miliar. Pembelian surat utang itu muncul atas penawaran dari PT Dahana sebesar Rp 97,8 miliar, PT Sapta Pranajaya Rp 100 miliar, PT Surya Indo Pradana Rp 80 miliar, dan PT Volgren Rp 33,2 miliar. Pembayaran surat utang itu belakangan macet. Djunaidi pun berurusan dengan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Djunaidi, 63 tahun, didakwa tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan investasi seperti diatur dalam Undang-Undang Jamsostek. Menurut jaksa penuntut umum Heru Chairuddin, direksi harus memperhatikan keamanan kekayaan perusahaan dan keamanan penyimpanan uang saat berinvestasi. Djunaidi juga dinilai tidak melakukan uji kelayakan untuk menilai bonafiditas empat perusahaan penjual surat utang tersebut.

Heru menjerat Djunaidi dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pria kelahiran Lubuklinggau, Sumatera Selatan, ini dituntut 16 tahun penjara, denda Rp 200 juta, dan mengganti kerugian negara Rp 133,250 miliar.

Tuntutan itu tak sepenuhnya dikabulkan hakim. Pada 27 April 2006, majelis hakim yang diketuai Sri Mulyani menghukum Djunaidi delapan tahun penjara, denda Rp 200 juta, serta membayar uang pengganti Rp 66,625 miliar. Uang pengganti itu ditanggung renteng dengan Andy Rahman, bekas Direktur Investasi Jamsostek yang juga dihukum delapan tahun penjara. Menurut Sri, Djunaidi dan Andy terbukti melanggar prinsip kehati-hatian dalam investasi dana Jamsostek.

Djunaidi mengajukan banding. Tapi, pertengahan Oktober lalu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tak mengubah hukuman penjara Djunaidi. Hakim hanya menghapus kewajibannya membayar kerugian negara Rp 66,625 miliar. Kini Djunaidi mengajukan kasasi. ”Tak ada bukti ia korupsi atau mendapat kucuran dana dari kebijakan investasinya itu,” kata M. Sholeh, pengacara Djunaidi.

AM

Majalah Tempo, Edisi. 38/XXXV/13 - 19 November 2006

Comments

Popular posts from this blog

Melacak Akar Terorisme di Indonesia

Judul: The Roots of Terrorism in Indonesia: From Darul Islam to Jemaah Islamiyah Penulis: Solahudin Penerbit: University of New South Wales, Australia Cetakan: Juli 2013 Halaman: 236