Yang Terakhir di Loket 525

Tangan Komisi Yudisial kini tak bisa menyentuh hakim. Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan hakim agung. Proses amendemen paling cepat enam bulan.
DUA ruangan yang berada dekat pintu masuk kantor Komisi Yudisial itu selalu tak pernah sepi. Yang satu ruang bernomor 526, tempat para wartawan berkumpul, yang lain nomor 525, ruang peng-aduan. Di sinilah, yang biasa disebut ”loket 525”, para pencari keadilan meng-adukan nasib. Biasanya mereka datang sembari menenteng segepok dokumen dan berharap besar komisi mengubah nasib mereka.
Tapi, sejak Jumat lalu, loket 525 yang berada di lantai lima gedung Indonesia Trade, Jakarta Pusat, tempat Komisi Yudisial berkantor, ditutup. Pekan lalu rapat pleno Komisi memutuskan untuk sementara tidak menerima laporan masyarakat soal perilaku hakim. ”Sampai ada Undang-Undang Komisi Yudisial yang baru,” kata anggota Komisi, Soekotjo Soeparto.
Ini memang buntut dari vonis Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal-pasal terkait pengawasan hakim dalam Undang-Undang Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Vonis yang diketuk Rabu pekan lalu di Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pen-ting Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim. ”Putusan ini merupakan satu langkah untuk kembali ke rel,” kata Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata Harifin A. Tumpa. Dengan putusan ini, kata Harifin, untuk sementara pengawasan hakim hanya ada di Mahkamah Agung.
Bukan hanya Komisi Yudisial yang ke-cewa dengan putusan ini. Sejumlah pengamat hukum pun menyatakan hal yang sama. ”Ini kemenangan mafia peradilan,” ujar Ketua Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis. Padahal, menurut dia, lembaga peradil-an merupakan lembaga yang antitransparasi dan Komisi Yudisial diharapkan ”membersihkan” lembaga tersebut.
Yang juga membuat kaget anggota Komisi, sebagian putusan Mahkamah Konstitusi sebenarnya tak diminta oleh 31 hakim agung yang mengajukan uji materiil Undang-Undang Komisi Yudi-sial. Dalam gugatannya, para hakim me-minta Mahkamah Konstitusi menyatakan hakim agung dan hakim konstitusi tidak termasuk obyek yang bisa diawasi Komisi Yudisial.
Dalam vonis pekan lalu, hakim konstitusi hanya menerima sebagian gugatan. Permintaan agar hakim konstitusi tak diawasi Komisi Yudisial dikabulkan, tapi untuk hakim agung justru ditolak. Ini pun bukan lantas membuat Komisi- gembira, sebab putusan itu juga menyatakan pasal-pasal yang berhubung-an dengan pengawasan hakim tak berlaku. ”Vonis ini benar-benar di luar du-gaan,” kata Wakil Ketua Komisi Yu-disi-al, -Thahir Saimima.
Saat sidang memasuki pemeriksaan saksi, kata Thahir, Komisi optimistis Mahkamah Konstitusi menolak gugatan hakim agung. Soalnya, keterangan saksi dari DPR dan pemerintah ”condong” ke Komisi. Soekotjo mengaku juga punya firasat sama. ”Gambaran ke arah mana putusan baru terbayang setelah majelis konstitusi mulai membacakan pertimbangan,” kata Soekotjo.
Dengan munculnya vonis semacam ini, menurut Thahir, terjadi kekosongan hukum di bidang pengawasan. Mahkamah Konstitusi memberi rekomendasi kepada pemerintah dan DPR untuk segera mengamendemen Undang-Undang Komisi Yudisial.
Tapi, inilah masalahnya. Mengubah undang-undang perlu waktu pan-jang. Apalagi jika harus disinkronkan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Kekuasa-an Ke-hakiman. ”Bisa-bisa lima tahun ke depan belum selesai,” kata pengacara Komisi Yudisial, Trimoelja D. Soerjadi.
Amendemen Undang-Undang Komisi- Yudisial sebenarnya sudah ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004–2009. Menurut Ketua Badan Legislasi DPR, F.X. Soekarno, lamanya waktu membahas amendemen undang-undang tergantung substansinya. Kalau bukan pasal yang prinsip, pembahasannya bisa cepat, sekitar enam bulan. ”Jika akan diamendemen harus diusulkan Oktober nanti, saat penyusunan Prolegnas 2007,” kata Soekarno.
Komisi Yudisial berharap dengan amendemen ini Komisi akan mempunyai kewenangan mengawasi para hakim. Selama ini, pengawasan hakim dan seleksi hakim agung merupa-kan dua -tugas terpenting yang dimiliki Komisi. Sumber daya yang menangani bidang pengawasan ”memakan” sepe-r-empat dari jumlah staf Komisi yang seluruhnya 113 orang. Sejak berdiri setahun lalu, Komisi sudah menerima 833 la-poran yang berkaitan dengan perila-ku hakim. Dari jumlah itu, sekitar 286 peng-aduan sudah ditangani.
Pengaduan Nurmahmudi Ismail soal hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memutus kasus sengketa pemi-lihan Wali Kota Depok pada 9 Agustus 2005 tercatat sebagai kasus pertama yang ditangani Komisi. Ketika itu Komisi memberi rekomendasi agar Ke-tua Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Nana Juwana, dinonaktifkan setahun.
Rekomendasi ini tak sepenuhnya dilakukan Mahkamah Agung. Baru tujuh bulan dijadikan hakim tanpa palu, bulan lalu Nana Juwana diangkat se-bagai Ketua Pengadilan Tinggi Jawa Te-ngah. Adapun pengaduan terakhir yang diterima Komisi adalah perilaku hakim di Pengadilan Negeri Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Pengaduan itu masuk di loket 525 pada Rabu pekan lalu, tepat saat Mahkamah Konstitusi memenangkan gugatan hakim agung.
Kendati kecewa, Soekotjo menyata-kan putusan Mahkamah Konstitusi tak lantas membuat fungsi pengawasan yang mereka lakukan berhenti. Mere-ka akan tetap merampungkan peme-riksaan yang sedang berjalan. Hanya, hasilnya kini tak lagi berupa rekomendasi. ”Hanya berbentuk laporan kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung,” kata Soekotjo.
Abdul Manan, Tito Sianipar
Majalah Tempo, Edisi. 27/XXXV/28 Agustus - 03 September 2006

Comments

Popular posts from this blog

Metamorfosa Dua Badan Intelijen Inggris, MI5 dan MI6

Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO