Ketimbang Sembunyi-sembunyi
Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman perilaku hakim. Seharusnya hakim dilarang menerima bingkisan apa pun.
DIRILIS pada akhir Mei lalu, pedoman perilaku hakim itu langsung menuai pro-kontra. Aturan setebal 36 halaman yang dikeluarkan Mahkamah Agung tersebut dinilai memberi celah bagi hakim untuk menerima bingkisan. “Ini bisa menggerogoti independensi dan martabat hakim. Mestinya tidak ada toleransi,” kata Ketua Komite Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin.
Dalam pedoman yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan itu, setidaknya ada dua hal yang memantik kontroversi: soal penerapan prinsip berperilaku jujur dan berintegritas tinggi. Penjelasan prinsip hakim harus berperilaku jujur dalam pedoman tersebut, ditegaskan bahwa hakim atau keluarganya tak boleh meminta atau menerima hadiah dari pihak yang sedang atau mungkin beperkara.
Tapi, aturan ini ternyata bukan harga mati. Hadiah itu boleh diterima asal dari saudara, teman, atau pihak lain, dalam perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan, atau peringatan lainnya. Yang penting jumlahnya wajar dan bukan untuk mempengaruhi hakim. Ini yang dikritik Firmansyah. “Meski jumlahnya kecil atau nilainya tak berharga, tak ada yang bisa menjamin itu tidak mempengaruhi independensi hakim,” ujarnya.
Mahkamah Agung punya alasan kenapa hakim boleh menerima bingkisan. “Ini sesuai dengan realitas. Ketimbang mereka sembunyi-sembunyi, ya, kita buka,” kata juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menegaskan hanya barang-barang kecil yang boleh diterima. Bagir memberi contoh karangan bunga. “Masa, orang bisa dipengaruhi hanya karena satu karangan bunga?” kata Bagir.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Dian Rositawati, yang juga ikut membantu perumusan pedoman hakim, mengatakan soal pemberian hadiah itu sempat jadi perdebatan dalam tim. Ada yang minta dilarang, tapi ada hakim yang mengaku sulit menolak pemberian kecil-kecil yang diyakini tak mempengaruhi independensi. “Akhirnya, komprominya di situ,” kata Dian.
Selain bisa menerima “barang-barang kecil”, yang juga menjadi sorotan dalam pedoman itu adalah soal bantuan pemerintah daerah. Pedoman hakim menyebutkan, “Masih ditoleransi pemberian pemda atau sesama koleganya selama pemberian sewajarnya diduga tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan.” Salah satu alasannya, lantaran minimnya dana dari pemerintah untuk pengadilan.
Firmansyah mengecam kelonggaran ini. Menurut dia, bantuan dari pemda berbahaya karena bisa mempengaruhi proses hukum kasus korupsi. “Apalagi saat ini banyak kasus korupsi di daerah,” ujarnya. Tapi, menurut Djoko, bantuan dari pemerintah daerah sekarang sebenarnya sudah tak ada. “Kalaupun ada, itu karena kebaikan pemerintah daerah,” ujarnya.
Kendati idenya sebenarnya sudah lama, pedoman yang memicu kontroversi ini baru dibahas secara serius ketika Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Surabaya pada 2002. Kala itu, salah satu komisi dalam rapat merumuskan 11 norma sebagai “pedoman perilaku aparat peradilan”. Pada awal 2005 draf pertama pedoman perilaku hakim itu selesai. Setelah draf mengalami beberapa perubahan, akhir Mei silam Ketua Mahkamah Agung mengesahkan pedoman itu.
Satu lagi perubahan yang mencolok menyangkut laporan pemberian hadiah. Dalam pedoman dikatakan, hakim punya kewajiban melapor ke Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah menerima gratifikasi. Ini berbeda dengan draft awal yang menyertakan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang juga harus dilapori. Sayangnya, Djoko enggan menerangkan kenapa ini berubah. “Jangan tanya soal itu. Ini hasil rapat kerja,” katanya.
Selain Mahkamah Agung, Komisi Konstitusi juga memiliki pedoman untuk para hakimnya. Seperti tak mau kalah, Komisi Yudisial juga berencana membuat pedoman untuk para hakim. “Versi Komisi Yudisial tidak memperbolehkan hakim menerima pemberian apa pun, baik hari besar keagamaan, upacara adat, ataupun acara perpisahan,” kata Wakil Ketua Komisi Yudisial, Thahir Saimima. Tapi, menurut Djoko, pedoman hakim itu seharusnya cukup satu. “Itu idealnya,” ujarnya.
Perlunya satu pedoman perilaku hakim sebenarnya pernah dibicarakan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Menurut Wakil Direktur LeIP, Asril, dalam sebuah pertemuan pada Agustus 2005, ketiga lembaga itu sepakat perlunya satu pedoman hakim. Tapi, belakangan pembicaraan satu pedoman itu tak berlanjut seiring konflik yang terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. “Saya menduga pengesahan pedoman ini juga tak lepas dari konflik itu,” kata Asril. ***
Abdul Manan, Evy Flamboyan, Fanny Febiana
DIRILIS pada akhir Mei lalu, pedoman perilaku hakim itu langsung menuai pro-kontra. Aturan setebal 36 halaman yang dikeluarkan Mahkamah Agung tersebut dinilai memberi celah bagi hakim untuk menerima bingkisan. “Ini bisa menggerogoti independensi dan martabat hakim. Mestinya tidak ada toleransi,” kata Ketua Komite Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Firmansyah Arifin.
Dalam pedoman yang ditandatangani Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan itu, setidaknya ada dua hal yang memantik kontroversi: soal penerapan prinsip berperilaku jujur dan berintegritas tinggi. Penjelasan prinsip hakim harus berperilaku jujur dalam pedoman tersebut, ditegaskan bahwa hakim atau keluarganya tak boleh meminta atau menerima hadiah dari pihak yang sedang atau mungkin beperkara.
Tapi, aturan ini ternyata bukan harga mati. Hadiah itu boleh diterima asal dari saudara, teman, atau pihak lain, dalam perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan, atau peringatan lainnya. Yang penting jumlahnya wajar dan bukan untuk mempengaruhi hakim. Ini yang dikritik Firmansyah. “Meski jumlahnya kecil atau nilainya tak berharga, tak ada yang bisa menjamin itu tidak mempengaruhi independensi hakim,” ujarnya.
Mahkamah Agung punya alasan kenapa hakim boleh menerima bingkisan. “Ini sesuai dengan realitas. Ketimbang mereka sembunyi-sembunyi, ya, kita buka,” kata juru bicara Mahkamah Agung, Djoko Sarwoko. Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menegaskan hanya barang-barang kecil yang boleh diterima. Bagir memberi contoh karangan bunga. “Masa, orang bisa dipengaruhi hanya karena satu karangan bunga?” kata Bagir.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Dian Rositawati, yang juga ikut membantu perumusan pedoman hakim, mengatakan soal pemberian hadiah itu sempat jadi perdebatan dalam tim. Ada yang minta dilarang, tapi ada hakim yang mengaku sulit menolak pemberian kecil-kecil yang diyakini tak mempengaruhi independensi. “Akhirnya, komprominya di situ,” kata Dian.
Selain bisa menerima “barang-barang kecil”, yang juga menjadi sorotan dalam pedoman itu adalah soal bantuan pemerintah daerah. Pedoman hakim menyebutkan, “Masih ditoleransi pemberian pemda atau sesama koleganya selama pemberian sewajarnya diduga tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan.” Salah satu alasannya, lantaran minimnya dana dari pemerintah untuk pengadilan.
Firmansyah mengecam kelonggaran ini. Menurut dia, bantuan dari pemda berbahaya karena bisa mempengaruhi proses hukum kasus korupsi. “Apalagi saat ini banyak kasus korupsi di daerah,” ujarnya. Tapi, menurut Djoko, bantuan dari pemerintah daerah sekarang sebenarnya sudah tak ada. “Kalaupun ada, itu karena kebaikan pemerintah daerah,” ujarnya.
Kendati idenya sebenarnya sudah lama, pedoman yang memicu kontroversi ini baru dibahas secara serius ketika Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Surabaya pada 2002. Kala itu, salah satu komisi dalam rapat merumuskan 11 norma sebagai “pedoman perilaku aparat peradilan”. Pada awal 2005 draf pertama pedoman perilaku hakim itu selesai. Setelah draf mengalami beberapa perubahan, akhir Mei silam Ketua Mahkamah Agung mengesahkan pedoman itu.
Satu lagi perubahan yang mencolok menyangkut laporan pemberian hadiah. Dalam pedoman dikatakan, hakim punya kewajiban melapor ke Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi, setelah menerima gratifikasi. Ini berbeda dengan draft awal yang menyertakan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang juga harus dilapori. Sayangnya, Djoko enggan menerangkan kenapa ini berubah. “Jangan tanya soal itu. Ini hasil rapat kerja,” katanya.
Selain Mahkamah Agung, Komisi Konstitusi juga memiliki pedoman untuk para hakimnya. Seperti tak mau kalah, Komisi Yudisial juga berencana membuat pedoman untuk para hakim. “Versi Komisi Yudisial tidak memperbolehkan hakim menerima pemberian apa pun, baik hari besar keagamaan, upacara adat, ataupun acara perpisahan,” kata Wakil Ketua Komisi Yudisial, Thahir Saimima. Tapi, menurut Djoko, pedoman hakim itu seharusnya cukup satu. “Itu idealnya,” ujarnya.
Perlunya satu pedoman perilaku hakim sebenarnya pernah dibicarakan oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Menurut Wakil Direktur LeIP, Asril, dalam sebuah pertemuan pada Agustus 2005, ketiga lembaga itu sepakat perlunya satu pedoman hakim. Tapi, belakangan pembicaraan satu pedoman itu tak berlanjut seiring konflik yang terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. “Saya menduga pengesahan pedoman ini juga tak lepas dari konflik itu,” kata Asril. ***
Abdul Manan, Evy Flamboyan, Fanny Febiana
Comments