Hapus Anggaran untuk Wartawan di Departemen
(Jakarta) Sejumlah organisasi pers seperti Aliansi Jurnalis Independent (AJI) dan Dewan Pers mengkampanyekan antisuap. Lembaga – lembaga itu mendesak Wakil Presiden (Wapres) Muhammad Jusuf Kalla menghapus anggaran untuk wartawan yang ada disetiap departemen. Penyediaan anggaran akan sangat menggangu profesionalisme wartawan. Wapres sendiri setuju dengan usulan tersebut.
Demikian dikemukakan Ketua AJI, Heru Hendratmoko di kantor Wapres, Jakarta, Jumat (21/7), sesuai bertemu dengan Wapres. Hadir juga pada pertemuan itu anggota Dewan Pers Leo Batubara, Sekretaris Jenderal AJI Abdul Manan, Pemimpin Redaksi SCTV Rosiana Silalahi, Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Ulin Ni’am Nusron, Ketua AJI Jakarta Jajang Djamaludin.
Heru menjelaskan, kampanye antisuap ini adalah bagian dari sebuah proses untuk mendorong pemerintah memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi yang diberitakan terus menerus oleh media massa harus dimulai dari pekerja pers itu sendiri. caranya tidak menerima amplop dari nara sumber. Meskipun menurut Rosiana, antara pemberian amplop dan pemberitaan sama sekali tidak ada hubunganya. Karena sebuah berita sebelum ditayang atau diturunkan pasti melalui proses penggodokan di redaksi. Yang diperlukan adalah wartawan itu harus kerja profesional. “perlu kita beritahukepada nara sumber bahwa tidak ada kaitanya antara pemberian amplop dan pemberitaan atau promosi terhadap narasumber,” katanya.
Menurut survei Aji Jakarta 2005, 68 persen dari 400 responden yang tersebar di 117 kota di Indonesia berpendapat budaya amplop dari nara sumber mempengaruhi liputan seorang jurnalis. Kategori amplop menurut responden yang semua wartawan itu mulai dari dari pemberian uang, barang – barang bernilai souvenir, perjalanan peliputan dan akomodasi selama liputan, jamuan makan sampai fasilitas gratis.
Leo Batubara menambahkan, ada kesamaan agenda antara pemerintah dengan organisasi – organisai wartawan yaitu memberantas korupsi. Seperti juga dikemukakan Heru, pemberantasan korupsi itu mulai dari para pekerja pers dulu yaitu dengan menghapus budaya amplop untuk wartawan. Karena budaya itu mempertaruhkan kredibilitas wartawan itu sendiri.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang kencangnya tuntutan penghapusan budaya amplop dikalangan wartawan sementara gaji wartawan sangat rendah, Ulin Ni’am menegaskan, wartawan harus berani membentuk organisasi karyawan di perusahaan masing – masing untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan para wartawan. Karena tanpa organisasi, perjuangan peningkatan kesejahteraan akan sia- sia.
Terkait dengan kesejahteraan wartawan, AJI Jakarta, sudah menetapkan gaji seorang wartawan fresh graduate Minimal RP. 3,1 juta perbulan. Tetapi perjuangan untuk itu, memang tidak mudah. Upaya pembrantasan budaya amplop ini harus perlahan – lahan mulai dari wartwan sampai tingkat pimpinan redaksi.(A-21)
Suara Pembaruan, 22 Juli 2006. Halaman 3
Demikian dikemukakan Ketua AJI, Heru Hendratmoko di kantor Wapres, Jakarta, Jumat (21/7), sesuai bertemu dengan Wapres. Hadir juga pada pertemuan itu anggota Dewan Pers Leo Batubara, Sekretaris Jenderal AJI Abdul Manan, Pemimpin Redaksi SCTV Rosiana Silalahi, Ketua Divisi Serikat Pekerja AJI Ulin Ni’am Nusron, Ketua AJI Jakarta Jajang Djamaludin.
Heru menjelaskan, kampanye antisuap ini adalah bagian dari sebuah proses untuk mendorong pemerintah memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi yang diberitakan terus menerus oleh media massa harus dimulai dari pekerja pers itu sendiri. caranya tidak menerima amplop dari nara sumber. Meskipun menurut Rosiana, antara pemberian amplop dan pemberitaan sama sekali tidak ada hubunganya. Karena sebuah berita sebelum ditayang atau diturunkan pasti melalui proses penggodokan di redaksi. Yang diperlukan adalah wartawan itu harus kerja profesional. “perlu kita beritahukepada nara sumber bahwa tidak ada kaitanya antara pemberian amplop dan pemberitaan atau promosi terhadap narasumber,” katanya.
Menurut survei Aji Jakarta 2005, 68 persen dari 400 responden yang tersebar di 117 kota di Indonesia berpendapat budaya amplop dari nara sumber mempengaruhi liputan seorang jurnalis. Kategori amplop menurut responden yang semua wartawan itu mulai dari dari pemberian uang, barang – barang bernilai souvenir, perjalanan peliputan dan akomodasi selama liputan, jamuan makan sampai fasilitas gratis.
Leo Batubara menambahkan, ada kesamaan agenda antara pemerintah dengan organisasi – organisai wartawan yaitu memberantas korupsi. Seperti juga dikemukakan Heru, pemberantasan korupsi itu mulai dari para pekerja pers dulu yaitu dengan menghapus budaya amplop untuk wartawan. Karena budaya itu mempertaruhkan kredibilitas wartawan itu sendiri.
Menjawab pertanyaan wartawan tentang kencangnya tuntutan penghapusan budaya amplop dikalangan wartawan sementara gaji wartawan sangat rendah, Ulin Ni’am menegaskan, wartawan harus berani membentuk organisasi karyawan di perusahaan masing – masing untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan para wartawan. Karena tanpa organisasi, perjuangan peningkatan kesejahteraan akan sia- sia.
Terkait dengan kesejahteraan wartawan, AJI Jakarta, sudah menetapkan gaji seorang wartawan fresh graduate Minimal RP. 3,1 juta perbulan. Tetapi perjuangan untuk itu, memang tidak mudah. Upaya pembrantasan budaya amplop ini harus perlahan – lahan mulai dari wartwan sampai tingkat pimpinan redaksi.(A-21)
Suara Pembaruan, 22 Juli 2006. Halaman 3
Comments